Selasa, Agustus 16, 2005

Aku Merinding

nurani luluh
anak bangsa tercabik
tak kuasa mengaduh
Isak telah lama sesak
ruang kalbu buntu
Iring-iringan keranda
mengibarkarkan bendera
bertuliskan busung lapar
umbul-umbul lumpuh layu
pengusungnya berjamaah
memakai bendana
bertuliskan ”tidak lulus“
Di gedung beratap hijau
secuil jelma minta kenaikan tunjangan
mengeluh dua puluh juta tak cukup
Padahal mereka dahulu
mengajukan diri
untuk jadi wakil
yang busung lapar,
yang lumpuh layu,
yang tidak lulus,
yang ...masih banyak
yang menggigil dan merinding
hingga kering
untuk raih sekeping
penyambung nafas hingga hening
Aku merinding menyaksikan semua
telanjang di depan mata

Nyanyian Sunyi

Mentari bisa menari
esok
ketika ayam berkokok
biarkan jendela terkatup
angin tak sepoi bertiup
Pergi adalah pasti
karena pengembara selalu sunyi

Tidurkan aku

Tuhan...
Dalam terjaga masih kusebut namaMu
Bila sayap mimpi membawaku
ingin kusebut pula namaMu
menunggu sebuah penantian
tiba utusanMu jemput aku
dalam keabadian yang Kau janjikan
Jangan panggil aku
ketika masih kusangsikan
damai berbaring di sisi-Mu
tanpa terganggu kenisbian waktu

Aku Yang Tak Membumi

Pada kenyataan
Yang mendasari aku berpikir
Mengolah segala logika
bermuara pada pemahaman
Bahwa aku mencintaimu
Tanpa kecuali sisi terluar dirimu
Utuh tak runtuh oleh waktu

Bias muram gambaran
nyata di awal
cerita dirajut atas rasa suka
tanpa alasan
Keinginan keutuhan
Kesungguhan sebenarnya
Atas nama cinta

Senin, Agustus 15, 2005

HIDANGAN TUBUH

Tayangan teve
menjual dada
Paha, payudara
kelamin busuk
dari jiwa dan tangan terkutuk

Sampah ini
terus meracuni
Setiap hari
Ruang ingatan
lubuk buaian
lenyap rentan

Aku yang memahat hari
Demi sekeping harapan
akan perbaikan
bukan racun yang terus jadi santapan

Perspektif Rasa

Perspektif Rasa

Kamis, Juli 07, 2005

SESAAT DALAM PEKAT


Memilih adalah wajib
bagi jiwa yang terpojok
pada dua atau lebih
ingin, jalan, cinta
tapi bukan takdir
menelantarkan rasa dalam
bulir harap terkilir
Mati dan akhirnya
Tersingkir

SEMBUNYI DARI CAHAYA LANGIT SIMPANG TIGA

Berpendar lampu benderang
Terang ditengah kota yang
Telah terang meradang

Luka tersembunyi telah hilang rasa nyeri
Dari nurani yang hampir mati

Aku disuguhi cahaya ini
menjual gemerlap untuk saling melahap
entah niat atau hakikat yang ingin didapat
Dari Papan membentang dungu
Memotong atap langit Simpang Tiga

Berlari aku,
Cahaya lebih cepat dariku
kupejam mataku,
Pupilku TAK merontak terima paparannya
aku masih tersadar
dan ingin tetap
Sembunyi dari cahaya langit simpang tiga


Meja kerja, 6 juli 05

Sejenak Merangkai Yang Terserak

Akhir minggu, akhir bulan
Kita sibuk mengitung hasil pencarian
sebulan
Ada syukur meluncur
Banyak pula pusing tergelincir
dari jiwa jiwa ringkih tertindih beban

Ah.. hidup
hanya sekelebat mentari
dari timur ke barat
ditelan bagaskara yang resah
hingga lelap dalam selimut malam

Adakah arti menjadi diri
dari sekedar materi
besar gaji
menghitung bunga bank
besar modal ditanam
atau diam diam
membuat rendezvous
dengan selingkuhan

Kita pungut satu satu
makna, hakikat, tujuan
Yang terserak dari rongga tenggorokan kita yang telah serak

Bersyukur ketika nikmat menjemput
Bersabar saat musibah merenggut

damarati,
meja kerja,suatu jum'at siang di akhir Juni 2005

Kamis, Juni 23, 2005

DUA RATUS RIBU

Oleh: Dinda Damarati

Tanggal dua puluh lima aku gajian. Setelah melewati sebulan masa penantian menjual tenaga di perusahaan ini. Sebagai seorang buruh kelas rendah menunggu tibanya tanggal dua puluh lima adalah masa penantian yang sangat berat. Karena gaji sebulan tak pernah cukup untuk menutup kebutuhan selama sebulan ke depan. Dipaksa dengan berhemat pun tak pernah pas menutup cukup menutup. Bahkan kadang jika ada kebutuhab mendadak semisal anak sakit, tak sampai satu minggu gaji sebulan tak bersisa. Terpaksa aku berhutang.
Sudah beberapa lubang hutang kubuat agar sampai menghidupi istri dan ketiga anakku hingga akhir bulan. Entah bagaimana nanti aku menutupnya. Yang jelas bagiku kebutuhan keluarga harus kupenuhi. Mereka adalah pengobar semangat hidup. Karena merekalah kuterima keberadaanku sampai sampai detik ini. Seorang buruh kasar.
Selepas bel pulang berbunyi, uang gajian dibagi. Di loket bagian administrasi para karyawan mengantri. Satu per satu karyawan menanti gilirannya maju ke depan loket. Walau tak rapi namun seperti ada kesepakatan untuk tidak saling dorong dan mendahului.
Loket berpembatas kaca itu tidak terlalu besar, kira-kira seukuran loket bioskop. Cuma ada lubang kecil yang menghubungkan antara kasir dan para karyawan. Dari balik kaca loket, kasir membagi hak karyawan bulan ini. Dan kini tiba giliranku menerima gaji.
“Pak Aksan?” kasir bertanya.
“Saya Bu”
“Ini gaji Bapak bulan ini, yang ini struk perhitungannya” Kasir menerangkan sambil menyerahkan amaplop dan selembar kecil kertas.
“Terima kasih Bu” Jawabku dengan mata berbinar, tanpa membaca stuk yang kuterima dan langsung kubuang. Apalah artinya kertas itu kubaca bila tak menambah nilai isi amplop yang kuterima.
Aku segera pulang karena ingin segera bertemu ketiga orang anak istriku. Kukayuh sepeda sepenuh semangat. Berharap cepat tiba di humaku. Ingin segera ketemui anak dan istriku untuk membagi sedikit kebahagiaan. Mengubur gundah yang menggantung di hati dengan uang gajian yang kupegang kini.
***
Malam ini setidaknya bisa teredam daftar tuntutan yang menggunung selama sebulan. Uang belanja yang tak cukup, listrik dan SPP si sulung yang telah menunggak sebulan lamanya, lubang hutang di warung sebelah yang membuatku tak nyenyak tidur, susu si bungsu yang tinggal satu seduhan dan badan anak keduaku yang panas semalam adalah tambahan tuntutan yang harus kutaklukan dengan uang di tangan ku kini.
“Ayah pulang, Ayah pulang” si bungsu berhambur menyambutku ketika aku sampai di rumah.
“Ayah, mana oleh-oleh buat adek?” tanya gadis keciku
“Iya, ayah bawa”
“Mana ayah? cepetan” rengek gadis kecilku tak sabar.
“Nanti di dalam ya”
Istriku telah menunggu di balik pintu. Dengan senyumnya yang teduh dan meneduhkan dia menyambutku. Seperti oase, menyejukan kala kerontang meradang.
Kuhempaskan tubuhku di kursi tamu yang telah mulai robek dan terkelupas di sana-sini. Kuberikan jeruk pesenan si bungsu. Aku puasa merokok hari ini, uangnya kubelikan jeruk itu.
”Capek Mas?“ sambil membawakan tas dan sepatu yanng telah kulepaskan.
”Lumayan dek, ya namanya kerja, mana ada yang ngak capek“ kulempar senyum termanis untuknya, kemudian kuminum seteguk teh pahit hangat yang telah dia sediakan untukku. Cukuplah untuk melepas dahagaku sesaat.
”Mas hari ini gajian kan?“
”Iya, Dek ini dibuka amplopnya?“
Kuserahkan amplop coklat masih bersegel itu pada istriku. Dirobek ujungnya. Dikeluarkan beberapa lembar uang dari dalam amplop tersebut. Lembar demi lembar dia hitung. Tiba di lembar terakhir, istriku tampat kurang yakin. Untuk menggenapkan keyakinannya dihitung ulang jumlah uang dalam amplop itu.
”Bulan ini mas pernah lembur ya?“
”Tidak tuh dek, memang kenapa?”
“Jumlah gajimu lebih dua ratus ribu dari biasanaya lho”
Aku ambil uang tersebut, kuhitung ulang dan memang benar jumlahnya lebih dua ratus ribu. Kucoba ingat darimana kelebihan itu. Bulan ini aku tidak pernah lembur, dalam hitunganku seharusnya gajiku pas, tidak lebih.
Aku tak tahu mesti bagaimana merasa senang atau gamang karena kelebihan gaji ini. Bagaimana tidak senang, uang dua ratus ribu bisa untuk menutup hutangku, menggores senyum di wajah si sulung karena tagihan SPP nya telah kulunasi. Alangkah senangnya.
Namun hati kecilku tak bisa kubohongi untuk sembunyikan rasa gamang dan tak tenang. Uang ini tidak jelas asal usulnya. Subhat kata pak ustad. Aku tak mau keluargaku makan barang yang tak jelas asalnya. Tidak berkah nantinya.
Kupandang wajah istriku. Seakan meminta pendapat, akan diapakan uang ini.
”Dek, bagaimana ini?“
”Ya dipakai mas, kebutuhan kita kan banyak, ini namanya rejeki“ jawab istriku pasti.
”Tapi mas merasa ngak tenang memakai uang yang tidak jelas ini“ aku mencoba membagi kegelisahanku.
”Coba Mas ingat-ingat lagi, mas pernah lembur tidak bulan ini“
”Kamu kan tahu, bulan ini mas selalu pulang tepat waktu karena orderan di pabrik lagi sepi, Mas ndak pernah lembur”
“Iya betul juga, terus rencana mas apa?”
“Duit ini dikembalikan”
“Jangan dikembalikan dulu sih Mas, kita pakai dulu, sekarang kita lagi butuh banyak uang” isriku merajuk.
“Tidak Dek, akan mas kembalikan uang ini, sebelumnya mas cari tahu dulu asal usulnya, siapa tahu ini kesalahan kasir, kasihan kan dia harus mengganti uang ini” jawabku tegas.
Istriku hanya diam lalu masuk kamar. Sepertinya dia marah. Ah wanita selalu disesak oleh perasaannya. Aku hanya bisa bersabar. Paling-paling nanti malam dia sudah minta baikan.
****
Siang seperti biasa selalu garang. Membakar bumi dengan panas yang memberkati. Menebar semangat kerja supaya manusia tak lupa akan fitrahnya. Khalifah di muka bumi.
Aku larut dalam debur peluh yang bukan lagi menganak sungai tapi telah menjadi selaksa samudra. Kubawa nikmatnya dalam setiap niat dan gerakku untuk bekerja.
Senin selalu menjadi hari tersibuk buatku. Apalagi hari senin di awal bulan. Ada saja mesin harus overhould setiap akhir bulan. Inilah rutinitas.
“Apa kabar Pak Aksan?” suara bariton terdengar akrab di belakangku.
Aku hentikan sejenak pekerjaanku. Kumenoleh ke belakang. Ah, menager safety rupanya.
“Alhamdulillah baik Pak, ada apa ya Pak? Ada yang salah dangan perlengkapan yang saya pakai?” tanyaku was-was.
Pria setengah baya ini tiba-tiba menyodorkan tangannya memintaku untuk bersalaman.
“Selamat Pak Aksan, saran anda Quesioner Safety Improvement tentang pemasangan tanda bahaya kebakaaran telah saya terima dan akan segera direalisasikan, semoga Pak Aksan sudah menerima hadiahnya bersama gajian bulan ini”
Aku terdiam. Mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Beberapa detik kemudian aku tersadar kakiku masih menginjak tanah. Seperti sebuah pencerahan, bianglala di siang yang garang.

*Untuk Mas Budi, sabar ya, kita belajar nrimo ing pandum*


Overhould: turun mesin, perbaikan total sebuah instalasi mesin
Safety: Keselamatan kerja
Quesioner Safety Improvement: Pooling saran untuk peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja

KOMEDI KEHIDUPAN


Lucu bila ku ingat jalan hidupku
Turun naik bak roda pedati
Mundur maju seperti torak mesin dua tak

Senang, bahagia, airmata
Cuma rona-rona
bak jerawat ketika masa kanak tlah lewat

Kusalahkan nasib bila tak mujur
kubenarkan langkah kala ku senang sekujur

TANAH YANG MERADANG

Tanah yang meradang
Hampar mata ku pandang hanya gersang
Tak pernah mengerti apa
tingkap masa selalu menyisakan dusta

Ada harap yang tak pernah tertangkap
di liang gendang telinga,
atau sedikit ngiang di relung jiwa
Sekap sebisa mungkin kau dekap

Hai para jiwa yang kan bergelut dalam kancah
Pegang kuasa warisan sultan tlah kehilangan trah
Terus bisakah kau lurus
Kembara mimpi negeri tak terurus

Retak, pecah, liang ranah
Meretas higga getas sampai kutemukan pantas
Di Sudut waktu kan kah terejawantah
mengerut sunggut menggigil lutut
Jadi patut

Cukuplah DIA Cintaku

-buat dinda

Berharap utuh dari mahluk
Adalah salah bila ku angap bahagia
kan ku reguk

Berharap cinta pada mahluk
mengantang asap mengukir langit
di sudut hati terpuruk

Dia telah menitipkan malaikat di kedua bahu
mambawa terbang dalam lautan penyatuan insan pada Khaliknya
Bebas dari kepentingan, keberpihakan, nafsu dan keinginan memiliki

Namun tiada pernah kita rasa
Padahal jika berjujur diri
lebih dekat bahasa Dia dibanding urat nadi

Hanya sedikit ku dapat
bila pada mahluk ku berharap

Cukuplah Dia cintaku
Cukuplah Dia cintaku
Cukuplah Dia cintaku

2005-05-23, damaratimeja kerja, setelah sukses hubungi dia

SEPI


Selisik angin delik hati
aura terwakili kesenyapam diri
kosong... Hampa...
dalam desah tak terkata

Episode tertunda
terkapar luka
daya tlah lama dirampas
bekas tinggal seutas

Persinggahan seperti istana pasir
indah dipandang ringkih dipegang

Interlude samar buatku takut
gamang dalam kalut


damarati, Mei 2005 Antara Rumah Dunia dan rumahku

MEMBACA MIMPI


Kegetiran menggelora
Rapuh ku punya sukma
Akal menggerang dalam paham ku dangkal

Penat berkuasa
Ragaku alpa

Malam aku terkekang
Dibawa arus jeram bawah sadar
Tamsil apa ini?
jauh terang dari lubuk kelam
Tersesat masuk pusaran
Geblek!!!

damarati, Mei 2005

Selasa, Juni 21, 2005

MERENTAS MIMPI

Sebuah jalan kini dilalui
Kanan kirinya
Tumbuh pohon ilmu pengetahuan, cinta
dan penghargaan pada sesama
Rimbun oleh ide, ejawantah karya
Hijau segar mewarna masa perlintasan
Kita kini tlah sampai di ujung jalan
Lima purnama berbilang
Kini waktunya untuk mengucap salam
Mungkin perpisahan, ode selamat tinggal
Hanya segelintir tersisa
Dari segumpal benih ingin dilatih
Dikayak waktu
Alam memilih kehendaknya
merentas mimpi nyata adanya
Benih kebajikan=20
Mulai semi tunasnya
Hanya dan hanya
Kerja keras dan kesabaran
Nanti kan lihat hasil nyata
Sungguh dan hanya sungguh
Seluruh rasa syukur
Akan luruh bersama hati kami yang tulus
Padamu Robbi yang mempertemukan jiwa-jiwa kami
Dalam ikatan Rumah Dunia ini

dari damarati, tulus dari hati
Meja kerja, 8:29 AM

Rabu, April 13, 2005

PRAHARA DI BUKIT TIDAR (Reload)

Oleh: Damarati

Matahari mulai mengintip dari timur. Merayap naik di antara sela pertemuan lereng Merapi dan Merbabu. Cahayanya kuning keemasan. Menghangatkan pagi yang masih basah oleh embun semalam.
Slamet belum terbangun dari peraduan. Sinar matahari tanpa permisi masuk dari jendela kamar Slamet yang telah terbuka. Hangatnya membuat Slamet terjaga. Pertanda bagi dia untuk segera pergi ke ladang. Tanaman palawija dan umbi-umbian yang dia tanam telah menunggu tangan telatennya.
Sementara di dapur, Ratmi sudah bergelut dengan asap dan jelaga. Wanita itu menyiapkan sarapan dan bekal bagi Slamet ke ladang. Rutinitas ini sudah mulai akrab dia lakon sebagai wujud bakti seorang istri.
“Mas Slamet, ayo bangun” sembil mengoncangkan perlahan tubuh Slamet yang mulai terjaga. Nyawanya masih setengah memasuki raga.
“Jam piro saiki?” tanya Slamet.
“Wis awan, ayo adus terus age-age budal menyang kebon”
Tanpa menjawab Slamet beranjak pergi meninggalkan kamar. Beberapa saat kemudian dia telah selesai dengan aktifitas paginya. Kini dia siap membuka hari dengan kerja.
Lereng Tidar yang membentang dari selatan ke utara. Sebagian lereng masih ditumbuhi pohon pinus dan cemara gunung. Jika naik ke atas lagi ada hutan kecil. Tempat taruna AKABRI berlatih perang perangan. Sisi utara lereng Tidar menyimpan mitos tersendiri. Dua makam tanpa nama di batu nisan. Penduduk sekitar menamakan tempat itu Petirasan Kyai Sepanjang. Menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, di dalam makam tertanam pusaka peninggalan kerajaan Mataram. Karena mitos pulalah banyak yang mencari tuah dengan tirakat di tempat itu.
Sementara di bagian lereng Selatan terlihat area pertanian. Ada juga petak pemeliharan ikan mas dan nila. Tampak pula rumpun padi tertanam baik di sengkedan. Menghampar laksana anak tangga berlapis karpet hijau.
Di lahan yang tidak terlalu luas Slamet menanam harapannya. Palawija dan kacang kacangan tumbuh dengan subur sebagian dari mimpi itu yang mulai terwujud.
Bagi Slamet tanah ini adalah karunia. Begitulah Tuhan merahmatinya. Permohonan untuk menyewa tanah negara ini dikabulkan oleh Perhutani. Mungkin karena krisis ekonomi yang begitu menjerat rakyat hingga akhirnya pemerintah sedikit bijak. Lahan ini disewakan dengan sistem bagi hasil. Slamet sangat terbantu dengan kebijakan ini.
Meskipun pendidikannya tidak tinggi Slamet sangat teguh dalam memegang pendiriannya. Terutama soal pilihan hidupnya sebagai petani. Bertani adalah warisan dari ayah yang tetap dipertahankan. Sementara banyak saudaranya memilih merantau ke Jakarta, Slamet tetap memilih tinggal di Magelang. Untuk bertani, pilihannya pasti.
Hari ini suasana hati Slamet pun sedang cerah. Ratmi istri yang baru dinikahinya dua bulan yang lalu telah memberikan kebahagian yang belum pernah dia rasakan dalam hidupnya. Lukisan tentang keluarga behagia yang dia bayangkan selama ini telah tertoreh dalam masa bulan madu ini. Ratmi istri yang cantik. Alam Kopeng yang sejuk memberi rahmat bagi rupa Ratmi. Wajah elok tanpa poles make up. Kulit putih mulus. Tubuh sekel berisi membangkitkan imaji liar kala mata kaum Adam memandang. Pantaslah jika dia menjadi bunga desa di kampungnya.
Sebuah anugrah lagi bagi slamet karena berhasil menyunting Ratmi. Bagi Ratmi sendiri sebuah tanda tanya besar mengapa berkenan menerima Slamet yang sederhana. Mungkin inilah anehnya cinta. Bermain di hati, membutakan pertimbangan akal dan nurani. Mungkin karena hanya rasa dan naluri yang bermain di sini. Cinta tak perlu alasan.
Seperti biasa, hari ini slamet mengarap lahannya. Peluh telah menggenangi tubuh Slamet ketiak matahari telah sampai sepenggalah. Dia berhenti sejenak. Kemudian dia berteduh di gubug gribig untuk melepas lelah. Dibukanya bekal yang disiapkan oleh istrinya tercinta.
“Ah indah betul hari ini” gumamnya.
“Sebentar lagi panen tiba. Tingggal menhitung hari saja. Semoga semuanya lancar” sambungnya.
Meski hitungan pasaran wetonku dan Ratmi kurang bagus menurut betal jemur. Senen legi bertemu sabtu paing. Alamat kisruh ketika memulai usaha. Namun hamparan ladang ini menghanguskan semua ramalan itu. Semoga hitungan itu salah. Semoga.



Manusia diciptakan Tuhan beragam watak dan tabiat. Ada manusia berbudi luhur dan ada pula yang bermoral hancur. Seperti Pak Ramon, pengusaha mebel dari Bandung. Lelaki bermata biru. Diwarisi dari ayahnya yang Belanda. Ibunya orang Sunda. Wajah blasteran ini memang terbukti berhasil menaklukan banyak wanita. Dia beristri satu namun tak terhitung berapa gundik dan istri simpanannya. Bisa jadi hal ini yang membuat dia terlihat muda di usianya yang menginjak lima puluh lima.
Di dunia perkayuan dia terkenal handal dalam memainkan trik dan siasat bisnis. Mungkin lebih dekat dengan intrik dan licik. Prinsip hidup Pak Ramon adalah berusahalah menjadi pemenang, bagaimana pun caranya..
Usaha Pak Ramon bisa dibilang sukses. Dia telah memiliki beberapa toko mebel di berbagai kota. Otak bisnisnya tidak pernah mengenal kata cukup dalam melebarkan sayap usaha. Tidak jauh dari bisnis kayu tentunya. Saat ini bisnis kayu olahan mulai dia lirik. Prospeknya cukup cerah, terutama kayu olahan sengon dan albasia. Dia telah melihat bukti keberhasilan beberapa perusahaan Salatiga yang sukses di bidang ini. Ingin sekali dia mengeruk rupiah dari bongkahan log kayu.
Magelang, kota dingin yang menjanjian, pikir Pak Ramon. Bukit Tidar adalah target salah satu lokasi yang diincarnya sejak dulu. Bukit Tidar bukan hanya subur menjajikan. Lebih dari itu mimpinya untuk menggali harta terpendam di tanah itu akan segera menjadi kenyataan.
Pak Ramon sedang menikmati suara burung perkutut kesayangannya. Sambil duduk di kursi malas di teras rumahnya yang luas. Tentu saja luas sebab rumah tersebut terletak di kawasan elit perumahan Kyai Langgeng.
“Narto!” Panggil Pak Ramon pada centengnya.
“Dalem Ndoro” Bergegas sang centeng menghapiri seruan majikannya.
“Ah, kamu ini lama sekali dipanggil! Dari mana saja kamu?”
“Anu Ndoro, anu, saya baru selesai mengerjakan tugas yang Ndoro suruh”
“Tugas yang mana? Masalah tanah maksudmu?” Pak Ramon menebak
“Leres Ndoro” jawab Narto Mantap
“Berarti bulan depan akau sudah bisa mulai membangun. Betul?”
“Maaf Ndoro. Masih ada satu orang yang belum bersedia menyerahkan tanahnya. Padahal dia cuma menyewa dari perhutani”
“Cepat urus dia. Cuma cerurut kecil saja kamu kewalahan.” Pak Ramon kesal
”Saya akan segera kerjakan seperti perintah Ndoro. Saya beri dia pelajaran. Biar kapok dan bersedia menjual sawahnya ke Ndoro“
“Bagus, bagus, biar jera dia. Berani sekali cerurut itu melawanku. Urus cerurut itu agar bersedia melepas tanahnya“
“Punten Ndoro, kalau dia masih ngeyel”
“Goblok kamu! Berarti kamu tidak becus menjalankan perintahku. Kalo tidak bisa maen kasar kamu main halus. Mengerti kamu?” Masih tak hilang roman marah di wajah Pak Ramon.
“Halus gimana Ndoro?”
“Sekarang dengarkan aku baik-baik. Ini Rencana halusnya. Ganggu istri Slamet. Buat dia tidak nyaman. Umpan Slamet dengan wanita. Bikin goncang keluarganya. Biar dia tidak tenang tinggal di lereng Tidar. Paham?” Tanya Ramon meminta jawab
“Baik Ndoro”
Narto pergi meninggalkan rumah mewah itu. Hatinya geram. Gara-gara Slamet dia kena damprat Pak Ramon. Narto geram. Ingin sekali dai menghajar Slamet jika bertemu nanti. Tapi hatinya masih gamang. Bagaimana pun dia harus berperan perlahan lahan, dengan cara halus. Itu yang dipesankan Pan Ramon. Dia menyungging senyum licik. Nampak pikiran lacur telah bermain di otak kerdil Narto.

∂∂
Arus sungai Elo mengalir dengan deras. Airnya berkejaran menuju muara di laut Selatan. Gemaricik suara air bertabrakan dengan bebatuan menambah syahdu suasana kali Elo. Air Sungai Elo masih cukup jernih, maka pantaslah jika banyak penduduk sepanjang pinggir kali memanfaatkannya untuk mandi dan mencuci. Ada pula yang sedang memandikan kerbau. Suasana ramai biasanya dijumpai ketika pagi dan sore hari.
Sore itu Ratmi berjalan menuju sungai Elo untuk mandi. Dia menyusuri jalan setapak yang masih licin karena hujan siang tadi. Ratmi harus berhati hati-hati melangkahkan kakinya agar tak terpeleset jatuh ke bawah karena jalan setapak yang menurun cukup curam. Suasana sepanjang jalan sudah sepi karena hari menjelang malam. Azan magrib sebentar lagi berkumandang.
Ratmi tidak menyadari dirinya sedang diawasi. Sepasang mata jalang mengikuti setiap geraknya. Dari gelagat yang mencurigakan nampak niat yang tidak baik pada Ratmi. Kurang beberapa meter lagi Ratmi sampai di kali. Tiba-tiba sosok yang mengendap-endap muncul menghadang Ratmi.
”Mau kemana wong ayu?“ Lelaki berambut gondrong dan bergigi tongos itu genit menggoda Ratmi.
”Sopo kowe? aku ra kenal kowe“ tanya Ratmi marah.
”Walah, walah, ayu ayu kok galak tapi tambah ayu loh“ tangannya mulai nakal mencolek tubuh Ratmi.
”Hei jangan kurang ajar kamu“ sambil menampik tangan jail orang itu.
”Ayo sini sama mas, mas temenin sore-sore mandi, he..he..“kini tangan jail itu mencoba memegang tangan Ratmi.
“Lepaskan, lepaskan atau aku berteriak”
”Silahkan berteriak tidak akan ada yang dengar“
”Tolong... tolong... tolong...“ Ratmi berteriak sekuatnya. Histeris.
Suasana Suara teriakan Ratmi nyaring terdengar. Slamet yang kebetulan sedang berjalan pulang mendengar teriakan itu. Dia sangat mengenali suara itu. Suasana hatinya tidak menentu, antara khawatir, cemas dan geram. Itu suara isteriku Slamet menduga dalam hati. Slamet berlari secepatnya menuju asal suara. Betapa terkejut Slamet ternyata dugaannya bernar.
“Hei lepaskan istriku” bentak Slamet
Tanpa ba bi bu orang berambut gonrong dan bergigi tongos itu lari tunggang langgang. Seperti pencuri yang ketahuan. Slamet tidak mencoba mengejar, dia lebih mengkhawatirkan keselamatan istrinya.
“Ratmi, kowe ra po po toh?” tanya Slamet cemas.
“Ndak po po Mas Cuma kaget wae”
“Ya sudah syukur kalau begitu. Sekarang pulang saja ya?”
“Nanti dulu Mas aku kan belum mandi”
“Ooo gitu mas tunggu sampai kamu selesai mandi” sambil tersenyum Slamet mengawasi Ratmi yang sedang mandi. Suara azan berkumandang, waktu kembali berputar. Seperti tali alam bergelora kentara di tatap mata mereka. Slamet dan Ratmi.
∂∂∂
Siang yang garang membakar bumi. Suara buldoser dan eskalator terdengar lantang meratakan lahan Slamet. Narto dengan pongah mengomandoi proses penggusuran tersebut. Meski tanpa seizin Slamet penggusuran itu mesti dilakukan. Soal Slamet urusan belakangan. Hal terpenting sekarang adalah bagaimana pabrik Pak Ramon segera berdiri secepatnya. Narto tidak mau lagi keholangan muka di hadapan Pak Ramon.
Dari kejauhan seseorang berlari menghampiri lahan yang sedang diratakan itu. Dia berlari secepat-cepatnya menghampiri kumpulan orang yang sedang meratakan lahannya. Dari wajahnya nampak sekam yang sedang tertahan, tinggal tunggu dimuntahkan. Dia adalah Slamet sang pemilik lahan.
Seharusnya hari ini Slamet menuai hasil ladangnya. Tanamannya telah siap panen. Tinggal menhitung untung saja. Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan yang membelalak mata. Lahannya telah rata, hancur bersama harapannya yang terkubur.
Kenyataan itu membuat Slamet murka. Senuan ini karena ulah Narto. Dihunusnya sabit yang sedianya untuk menyiangi rumput. Setan rupanya telah bertengger di benak dan pikirannya. Dirinya telah dikuasai amarah. Membara seperti lahar. Siap membakar semua yang dilaluinya.
“Hei To!” matanya tajam menatap Narto.
“Sekarang baru kutahu biang keladinya itu kamu, jangkrik!”hujat slamet menusuk
“Terus sekarang apa maumu, hah..” Jawab Narto meremehkan
“Kurang ajar, jangan disangka aku takut sama kamu To!”
“Tak perduli kamu punya banyak tukang pukul. Kamu telah menginjak injak martabatku” tak dinyana sabit yang sedari tadi digenggamnya kini menayambar dan berkelebat cepat mengarah ke leher Narto.
Menghadapi serangan tiba-tiba itu secara reflek Narto menghindar. Dengan membungkukan badannya serangan itu dapat dilekan. Sebagai mantan bromocorah yang cukup disegani dia telah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
Sambil berkelit dia pegang tangan Slamet untuk kemudian mengunci pergelangannya hingga sabit yang dipegang Slamet lepas. Gerakan yang praktis.
“Celaka kamu met!” tanpa babibu lagi anak buah Narto langsung menyambut samsak hidup yang telah dilumpuhkan majikannya.
Habislah badan Slamet menjadi bulan bulanan anak buah Narto. Pukulan dan tendangan mengarah tubuh Slamet. Tangannya mencoba melindungi kepala agar tak terkena pukulan yang bertubi-tubi itu.
“Cukup!!” teriak Narto menhentikan pesta anak buahnya
“Jangan dihabisi sekarang, pak Ramon masih perlu tanda tanagannya” Perintah itu langsung dilaksakan.
“Bos bagaimana kalo dia lapor polisi?” Tanya salah seorang anak buah Narto yang berambut gondrong dan bergigi tongos.
“Tidak mungkin! Dia lapor polisi, istrinya kita habisin. Ha…ha…ha...” Narto puas. Kini tabiat buasnya telah terlampiaskan.
Narto dan anak buahnya berlalu meninggalkan Slamet yang terkulai tak berdaya. Mereka kembali meneruskan pekerjaan meratakan tanah yang terhenti karena insiden kecil tadi.
Sambil merintih kesakitan Slamet mencoba bangkit berdiri. Namun luka di tubuhnya terlalu parah. Wajahnya lebam. Pelipisnya bengkak. Dia memegang dadanya yang membiru. Bibirnya robek. Tampak cairan merah keluar dari hidungnya.
Terus mencoba dia bangkit. Mencoba berjalan meski terhuyung. Baru beberapa langkah dia berjalan, tubuhnya roboh. Pingsan.

∂∂∂∂
Slamet tersadar dari pingsan. Pandangannya masih kabur. Dimana aku sekarang, gumamnya dalam hati. Samar-samar dilihat seraut wajah. Wanita. Ya wajah itu sangat akrab dalam memori otaknya. Ratmi istrinya.
“Sudah sadar toh mas?” sapa Ratmi hangat.
“Iya tapi masih pusing kepalaku Rat” jawab Slamet sambil mencoba untuk duduk.
“Jangan banyak bergerak dulu Mas”
”Aku sudah baikan Rat, pegel semua badan kalau terus-terusan tidur“
”Hampir seharian mas pingsan, aku sangat khawatir, takut Mas kenapa-napa“
”Mas ngerti, mas minta kamu juga ngerti keadaan kita saat ini, tentang tanah kita“
”Aku ga mau Mas kenapa napa, kita relakan saja ya mas tanah kita buat Pak Ramon, aku sudah capek diteror terus Mas “
”Tidak Rat, bagaimana pun juga tanah itu akan mas pertahankan, ya sampai masa sewa nya selesai, mas mau pindah bila Pak Ramon secara baik-baik meminta tanah kita”
”Ingat Mas, tanah kita sudah digusur, sudah ancur”
”Mas mau ke rumah Pak Ramon sekarang“
”Eling Mas, sampeyan belum sehat betul“
”Rat mas pengin cepet tuntas masalah ini, mas sudah capet mikirnya“
”Kenapa tidak lapor polisi saja“
“Ah percuma, biar aku tangani sendiri saja, sekarang aku pergi dulu”
Marni menatap suaminya yang telah beranjak pergi. Tinggal sepotong galau yang masih menggantung di sudut hatinya yang rapuh. Ada rasa tidak enak, entah kenapa. Sebuah firasat burukakah. Tiba-tiba di bawah kakinya seekor kucing telah menggeserkan tubuhnya ke kaki Ratmi.
”Eh tobil, eh tobil” Marni keluar latahnya
Terbang semua kegalauan tinggal jikrak dan sapu yang melayang untuk mengusir kucing itu keluar rumahnya.
∂∂∂∂∂
Matahari telah di atas kepala. Slamet telah berdiri di rumah Pak Ramon yang megah. Nuansa angkuh teranpancar dari rumah itu. Makin lengkap sudah rasa tidak nyaman buat Slamet ketika dia mendapat penerimaan yang tak hangat. Hingga sempat pula dia bersitegang dengan penjaga rumah. Jawaban yang dia dapat dari penjaga bahwa pak Ramon sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu. Akhirnya dengan terpaksa Slamet menunggu.
Pagi hari sebelum dia mendatangi rumah pak Ramon dia lebih dulu datang ke lokasi pabrik. Namun karena tidak puas dengan jawaban satpam pabrik akhirnya dia memutuskan untuk datang langsung ke rumah pak Ramon. Harapannya dia bisa bertemu pak Ramon dan segera menyelesaikan kemelut yang terjadi.
Tiga jam sudah Slamet duduk di pos jaga rumah Pak Ramon. Kering sudah tenggorokannya. Jika tidak karena masalah tanah itu sudah dari tadi dia pergi meninggalkan rumah itu. Dalam benaknya dia bertanya, apakah benar sudah disampaikan kedatangannya pada Pak Ramon.
“Maaf ya Pak, sebenarnya Pak Ramon ada tidak?”
“Kamu tidak percaya ya sama saya?” mata penjaga itu melotot seperti mau keluar.
“Saya bukan tidak percaya sama bapak, tapi sudah tiga jam lebih disini saya mununggu, tapi Pak Ramon tidak juga keluar, sebenarnya dia ada atau tidak pak?”
“Saya tidak pernah menyuruk kamu menunggu disini, itu kan mau kamu sendiri, kalo tidak mau menunggu ya sudah silahkan pergi”
“Baik, saya pergi, sebab percuma saya menghadapi orang seperti kalian” tanpa pamit Slamet bergegas meninggalkan rumah itu.
Penjaga memandang kepergian Slamet dengan tatapan penuh amarah.
Slamet sampai di pusat kota, tepatnya di pasar Gotong Royong ketika hari menjelang senja. Dengan gundah dihati dia susuri pasar.
Gotong Royong sudah lenggang. Keramaian telah digantikan kesenyapan. Kontras suasana di kala pagi dan senja. Waktu mengalir tanpa kuasa dikekang lajunya. Pagi, siang hingga petang adalah perputaran yang semestinya. Masa sujud pada kehendak Sang Kuasa.
Para pedagang telah mengemasi barang-barangnya, hanya tinggal satu dua penjual minuman masih menggelar dagangannya. Pembeli pun sudah mulai jarang. Tukang becak dan tukang ojek masih setia berharap menunggu rejeki yang datang menghampiri. Buruh panggul beristirahat melepas penat di depan kios yang telah ditutup pemiliknya. Memberi kesempatan pada tubuh untuk kembali dapatkan kesegaran yang telah tersita karena peluh telah tertumpah memandikan tubuh.
Memang masih ada satu dua pedangang yang masih mengais rejeki di senja yang telah sepi ini. Mereka adalah pedagang makanan dan minuman. Ada yang benar-benar berdagang makanan dan minuman, ada pula yang punya profesi sambilan. Melayani pembeli sekaligus menawarkan jasa kencan.
Salah satu penjual minuman yang berprofesi ganda tersebut adalah Saritem. Wanita berpakaian menantang setiap pandang mata lelaki yang memandang. Sesekali dia memanggil orang yang lewat di depan warungnya dengan kemayu. Mungkin lebih tepatnya menggoda dengan lirikan mata nakal. Mudah ditebak bahwa dia bukan wanita baik-baik.
“Monggo mampir Mas” sapa genit Saritem dengan kerlingan mata.
Lelaki muda itu tak acuh menanggapi penjual yang genit itu. Namun rasa lapar mengundang hasratnya untuk sekedar singgah. Sedari pagi perutnya belum diisi. Perjalanan yang jauh, cukup melelahkan membuat aku Slamet ingin beristirahat.
Slamet tidak tahu ada bahaya yang sedang mengincar. Dibalik keramahan saritem yang manis tersimpan bisa ular nan bengis. Saritem memberi pelayanan yang ekstra daripada pembeli lainnya. Warung sudah sepi, tinggal dia berdua dengan Slamet.
Tanpa sepengetahuan Slamet, Saritem menyimpan niat jahat untuk mencelakakan Slamet. Makanan dan minuman yang diberikan kepada Slamet telah dibubuhi racun. Meski tidak mematikan namun bisa membuat hialnag kesadaran.
Slamet makan dengan lahap. Namaun selang beberapa suap makanan masuk ke dalam mulutnya kepalanya mendadak pusing. Matanya berkunang kunang dan dalam hitungan detik tubuhnya jatuh tertelungkup di atas meja makan. Dia cuma bisa bergumama dan mendesis pelan.
“Kamu meracuniku.. eghh.. eggh”
“Kamu cuma korban Slamet”
Saritem melihat keadaan sekitar dengan waspada. Setelah dirasa cukup aman dipapah tubuh Slamet berjalan ke bagian belakang biliknya. Kemudian dia menutup warung agar tidak ada orang yang mengetahui rencan jahat yang dilakukan.
Dibaringkan tubuh itu di amben. Ditatapnya tubuh yang lemah tak berdaya.
”Huh.. sukses juga akhirnya rencanaku. Tinggal tunggu kang Narto. Semuanya beres.“ bibirnya menyunggingkan senyum sinis menyimpan dendam.
Pintu belakang warung Saritem diketuk orang. Saritem segera bergegas menuju pintu. Dia ragu untuk segera membuka pintu itu. Sejenak dia berdiri termangu untuk memastikan siapa gerangan di balik pintu.
”Yu, buka pintu yu..., cepat buka yu” suara berat laki laki memanggil di luar.
“Kang Narto ya?” Saritem langgsung menebak oorang dibalik pintu tersebut.
“Ya, cepet buka”
Narto masuk lewat pintu belakang. Mungkin agar lebih aman dan tidak terlihat kehadirannya oleh orang lain. Suasana petang yang mulai remang membuat Narto lebih nyaman menyembunyikan jati dirinya.
“Sudah beres toh semua toh yu?”
“Lihat sendiri kang siapa yang di dipan itu”
Senyum puas merekah dari bibir Narto yang hitam karena rokok.
“Tinggal selangkah lagi rencana kita sukses, yu. Roh adikmu akan segera tenang karena dendamnya akan segera terbalaskan” mata Narto menatap genit ke arah Saritem.
“Iya kang” sambil meraih tangan Narto untuk dibimbingnya masuk ke kamar. Entah apa nanti yang akan terjadi. Namun jika dua insan berlainan jenis telah terjerat oleh tali setan hanya buah dosa yang akan dipetik kemudian.
∂∂∂∂∂∂
Ratmi gundah menunggu suaminya datang. Sudah satu hari Slamet tidak pulang ke rumah. Mondar mandir dia di depan pintu. Banyak tak enak berkecamuk dalam benaknya. Ada kekhawatiran yang sangat akan keselamatan suaminya. Tiba tiba pintu diketuk membuyarkan kegundahannya.
Ratmi segera membuka pintu. Semoga tamu itu suaminya. sudah meluap rasa kangen. Tapi tak seperti biasanya, suaminya selalu mengucapkan salam sebelum masuk ke rumah.
“Pak RT” agak terkejut aku melihat lelaki ini di depan pintu.
“Ada berita kurang menyenangkan tentang suamimu Ratmi” sambil tangannya menyerahkan koran daerah edisi hari ini.
Magelang- Ramon Ramosta, warga Perumahan Taman Kyai Langgeng, Kota Magelang ditemukan tewas dengan tubuh tergantung diatap kamarnya, Selasa (22/3) sekitar pukul 16.00. Ironisnya kejadian ini baru dilporkan ke polisi pukul 20.00.
Dugaan sementara korban tewas karena dibunuh akibat sengketa tanah. Tersangaka utama dalam kasus ini adalah Sl (28), warga lereng tidar. Informasi yang diterima Suara Merdeka dari Narto, penjaga rumah Ramon, Sl telah lama berselisih dengan Ramon karena sengketa tanah....
Ratmi terduduk lemas di kursi. Dari matanya mengalir air menganak sungai. Bayangan kekhawatiran yang selama ini ada dalam pikiranya telah menjelma menjadi nyata. Entah bagaimana lagi kisah ini dibentangkan. Cukup doa yang dia panjatkan kepada yang kuasa. Semoga dia bisa tabah menghadapi ujian ini.

*******
damarati, awal Maret – tengah Juni 2005

Selasa, April 05, 2005

Seseorang Dari Masa Lalu

Seseorang dari masa lalu datang lagi. Dia seperti menawarkan harapanbuatku. Semoga anggapanku salah tentang ini. Sungguh aku ingin setiapada satu jiwa yang telah membumikan hatiku karena Nya. Ketika merahjambu yang telah redup kembali dibuatnya merona. Sanggupkah akau menolakpesonanya. Dan ketita kesempatan itu tiba hari ini, masih kuasa akumenolak. Dengan halus. Aku tetap tulus. Menempatkan sewajarnyakeberadaan kepentingan dan keinginan. Selalu berharap agar bisa adasetia meski seadanya.Adalah sebuah pembelajaran diri tentang berbuat tuk saling menghargai.Pada batas pengawasan yang begitu longgar. Atau sama sekali tanpa. Mamputidaknya diri berbuat terbaik. Karena keprcayaan adalah sebuahpenghargaan peda si pemberi. Menghianatinya berarti merusak keindahan,membakar kedamaian. Dan jangan pernah berharap banyak akan kembalinyakercayaan itu. Kebanyakan musnah menjadi abu, atau tetap ada meski arang saja.

damaratiNasihat buat diri sendiri

Jumat, Maret 18, 2005

SUATU KETIKA DI RUMAH DUNIA

SUATU KETIKA DI RUMAH DUNIA
Oleh Damarati

Dari tanah merah kami datang
Meneguk air ilmu
Menenun rasa ingi tahu
Menghamparkan pandang pada dunia

Kemana menti kami berlabuh
Jika haluan task pernah satu bersauh
Atau…
Dibiarkan arah angin bawa kami
Telanjang dalam tatap mata terawang

Di sebuah persinggahan
Perahu berlabuh
Kepada guru..., Sahabat..., yang tulus
Dituang ilmu pada bejana ras ingin tahu
Lukisan diri dia pampangkan

Beri kami arti, makna, hakikat
Pencapaian sesungguhnya
Berbagi dengan sesama

KEPADA BUNDA, ATAS NAMA CINTA

Dini hari ini kembali kuingat dirimu. Ingat tentang segala cinta tulus kau berikan untuk ku. Tanpa pamrih. Hanya kasih meski perih sering tertoreh di kulit, hati dan setiap penyadaranmu tuk bahagiakan aku. Kau wanita perkasa. Membesarkanku dalam genangan cinta yang tak pernah kering meski kemarau dan teriknya hidup telah menguapkan banyak cinta yang pernah kutemui. Cintamu abadi. Pantaslah Alloh nisbatkan bahwa surga ada di bawah telapak kakimu.

Bunda….
Masih kuingat dulu ketika kau ditinggal sendirian. Menjalini biduk kehidupan tanpa nahkoda. Sang nahkoda telah lupa akan janjinya. Bersandar dipelabuhan lain., ketika bidukmu diterpa badai di samudra bernama rumah tangga. Waktu itu aku hanya penumpang yang tak tahu kemana sebenarnya perahu ini berlayar. Sang nahkoda tak banyak bercerita tentang haluan yang ingin di singgahinya. Sampai suatu ketika kulihat dia pergi tinggalkan biduk. Melupakan dirimu. Sampai kini belum juga kumengerti jawabnya. Dan aku tak ingin tahu mengapa.

Sejak saat itu kau layari samudra kehidupan sendirian. Membawa aku dan adiku mengarunginya (sering kau sebut kami buah hatimu, buah cinta yang Alloh titipkan padamu). Bukan hanya badai yang kini kau temui. Batu karang pun tak membuatmu berpantang mengayuhkan sauh menuju pulau harapan. Karena sendiri, banyak perompak atau bajak laut yang mengganggu perjalanan kami. Dengan berbagai cara mereka coba memperdaya. Ada juga pangeran dan saudagar menawarkan diri tuk bersama mencapai haluan. Tapi bunda tak mudah percaya lagi. Takut tertipu kembali. Yang ada di benaknya waktu itu hanya bagaimana antarkan aku dan adikku agar bisa mandiri mengarungi samudra kehidupan. Bunda sadar tak selamanya beliau kan kuat berlayar. Maka dia bekali aku dengan ilmu dan pengetahuan. Cinta dan kasih sayang pada sesama. Karena itu modal untuk gapai bahagia sejati.

Perjalanan Bunda telah mengantarku ke pengembaraan ku sendiri. Di Tanah para sultan aku mencari arti kehidupan sesungguhnya. Mengamalkan semua ilmu hidup yang kau ajarkan. Menuai cinta dan kasih yang telah kau semaikan.
Satu pesan beliau yang sangat kuingat hingga kini.
“Laki-laki dihargai karena kata-katanya”
Kuartikan, besar harapanmu agar aku selalu memegang janji dan jujur dalam kehidupan. Karena apalah nilai seorang manusia jika tanpa kejujuran. Jika aku mengingkari setiap kata yang keluar dari mulutku berarti aku telah mengingkari penciptaanku. Mengingkari karunia Alloh yang telah menghembuskan ruhku dalam rahimnya. Ruhku berhutang pada tubuhnya.

Bunda aku rindu padamu. Kangen petuahmu. Aku ingin pulang. Barang sebentar ingin berjumpa denganmu. Mencium tanganmu. Karena kutemukan damai di situ.



Damarati, yang lagi kangen Bundanya

Jumat, Maret 11, 2005

Krenceng, Sunday Morning Posted by Hello

Whisper In The Wind

Antologi Keangkuhan

Hari ini
Ku cuma bisa duduk di luar
Tak bisa berdiri sejajar
Di strata mereka, coba unjukkan diri

Mungkin kini
Hanya sebelah mata mereka pandangi aku
Sarat angkuhmu busungkan dada
Merasa kuasa beli segala

Tapi nanti
Yakin ku pasti
Dengan telanjang mereka akan jilati diriku ini

Bukan sekedar ku berkoar
Atau sesumbar omong besar
Semua kan kubuktikan bila tiba saatku unjuk gigi
Kan kupatahkan tirai besi penghalang
Kan kuruntuhkan tembok penghadang

Sajak ini bukan elegi rasa iri
Menyumbat nurani, membakar hati
Tak pula kobarkan percik permusuhan
Antara dua dunia kita berbeda
Karena angkuhmu pisahkan kita
Disini


GOR Wisanggeni Tegal
21 Maret 1999

Di Suatu Jum'at 98

Jum'at semua berlalu begitu cepat
Ada kegetiran setelah hati ditinggal matahari sayang
Yang telah menumbuhkan diri anak-anaknya
Dengan butir keringat kenyangkan perut mereka

Bertahun air susunya kuminum, besar hariku dalam
Tertatih langkah tersendat. Berat! Mengalun
Lagu simponi gerimis antara kayu, asap rokok dan mendoan
Dari benua merah dia datang
Dan tak pernah kuijinkan orang mengoyak air putih itu

Seperti Laila dalam Saman
"Tak ada kemarahan yang dapat kuawetkan selain dendamku pada ayah.
Seperti cinta tak ada seawet manisan dalam botol selai
Semuanya laksana tomat menggemaskan hari ini
Layu beberapa hari kemudian"

Tapi tak berlaku pada matahari hidupku
Cinta abadi bukan mitos masa lalu
Seperti pragmatis
Tak ada kawan dan musuh abadi
Yang ada adalah kepentingan abadi

Senin, Maret 07, 2005

Surat Cinta Dari Hawa

SURAT CINTA DARI HAWA

Assalamu’alaikum wr wb
Segala puji hanya bagi Rabb yang mempertemukan hati kita
Dalam cinta kepadaNya…
Sholawat kepada Rasulullah SAW, teladan sebenarnya
Semoga kita bisa berkumpul bersama beliau di syurgaNya yang abadi …

Dear Adam...
Maafkan aku jika tulisan ini membuatmu tersinggung atau marah
Sesungguhnya aku adalah Hawa..
Teman yang kau pinta
semasa kesunyian di syurga dahulu

Wahai Adamku.....
Aku berasal dai tulang rusukmu yang bengkok
Membuatku mudah sekali berbuat salah
tergelincir dari landasan ilahi
Oleh karena itu adamku, aku butuh bimbinganmu...

Adam....
Maha Suci Alloh yang menakdirkan jumlah kaumku lebih banyak dari kaummu
ini adalah sebuah ketetapan Alloh
Bayangkan jika jumlah kaummu lebih banyak dari kaumku
Niscaya merahlah dunia, karna darah
Kaummu akan saling berperang karna hawa
Tentu adamku ingat peristiwa Habil dan Qobil
dan turun temurun sampai anak cucunya
Dan tentu saja, jika kaummu lebih banyak
Maka menjadi tidak selaraslah hukum Alloh
yang memperbolehkan kaummu beristri lebih dari satu tapi
tidak boleh lebih dari empat ...

Adam....
Bukan karena banyaknya kaumku
yang mengejar dirimu yang membuatku risau
atau bukan karena jumlahmu yang sedikit yang membuatku resah
bukan..
tapi...
aku risau, gundah menyaksikan perbuatan kaummu…..

Kaumku, sejak dulu...
memang harus patuh kepadamu ketika sudah menjadi istrimu…..
Namun...
terasa berat pula bagiku mengungkapkan isi hatiku saat ini…


Adamku yang dikasihi Alloh....
aku tahu bahwa dalam Al-Qur'an ada ayat
yang menyatakan bahwa kaummu adalah pemimpin bagi kaumku
Engkau diberi amanah untuk mendidikku, menjagaku
agar selalu dalam ridho Tuhan kita

Tapi adamku....
bukankah telah kau saksikan sendiri bagaimana kondisi kaumku saat ini?
Mungkin banyak dari kaumku yang sudah tidak lagi
menghormati tanggungjawabmu itu..
Dan entah sudah berapa banyak kasus kaumku lepas dari kodratnya...
Lihatlah Adam...
Banyak dari kaumku yang bertebaran di keramaian
dan membiarkan auratnya terbuka..
Membiarkan mata-mata jalang sebagian dari kaummu
memandangnya dengan penuh nafsu..
Naudzubillah..

Adam..
Mengapa kau biarkan kaumku seperti ini?
Betul, jika kaumku kelak, akan menjadi seorang ibu,
madrasah bagi anak-anakmu..
Tapi lihatlah...
pada saat yang sama kaumku tampil kedepan mengurus hal negara,
mencari nafkah, bahkan berada di hutan memanggul senjata
pergi pagi pulang entah kapan..
Madrasah bukankah tidak boleh tutup walau sejenak?
Agar anak-anakmu juga bisa belajar kapanpun dia mau...
Adam..
Apakah sekarang kau tidak seperti dulu?
Sudah hilangkah kasih sucimu terhadapku?

Adam...
jangan marah ya, jika kukatakan
seandainya kaumku tergelincir
maka engkaulah yang akan menanggungnya...
Kau tanya kenapa?
Ya, bukankah jika seorang anak berbuat jahat,
maka orangtuanyalah yang akan disalahkan..
Jika murid bodoh maka orang berkata
pasti gurunya yang tak pandai mengajar..
Kulihat kaummu balik menyalahkan kaumku...
Kau katakan hawa susah diatur, tidak mau mendengar perkataanmu
Tidak mudah menerima nasehat, keras kepala..

Adamku...
cobalah bertanya pada dirimu..
Apakah didikanmu kepada kaumku
seperti didikan Nabi Muhammad SAW terhadap istri-istrinya?
Apakah adam memperhatikan Hawa seperti psikologi Rasulullah
terhadap istri-istrinya?
Apakah akhlak dan pribadimu sudah pantas dijadikan contoh bagi kaumku?

Adam.........
Engkau adalah imam
dan aku adalah makmumnya
ya, aku adalah pengikutmu karna engkaulah pemimpinku
jika Adam benar, hawa pun benar...
Jika kau lalai, maka lalailah pula aku
Kau dilebihkan akal olehNya,
maka pergunakanlah untuk mendidikku..
Maka Adamku..
pimpinlah aku...
karna betapa seringnya aku khilaf
didorong oleh nafsu dan perasaanku

Bimbing aku menyelami firman-firman Tuhanku
agar aku menjadi pendampingmu yang sholehah
Perdengarkan kepadaku kalimah syahdu dari Tuhanku
agar cahayaNya senantiasa menerangi hidupku
Tiupkan ruh jihad ke dalam dadaku
agar aku menjadi mujahidah kekasih Alloh
Adam...
Jika engkau masih lalai dan khilaf
masih berbuat seenaknya
masih tak acuh dengan semua tanggung jawabmu
masih gentar mencegah kemungkaran
dan masih segan mengikuti langkah Rasul dan sahabat
maka tunggu dan lihatlah
dunia ini akan hancur karena kaumku yang akan memerintah
Dan bagimu, hanya rasa malu yang teramat besarlah
yang mampu kau tunjukkan
dihadapan kaumku dan Tuhanmu

Adamku...
Maafkan aku..
maafkan aku sekali lagi...
jika surat yang kusampaikan kepadamu ini
menimbulkan amarah didadamu
tapi percayalah...
Bukan emas, atau intan berlian yang kucari..
bukan...
hanya hati tulus ikhlas darimu adam..
tuk kembali merenungi peranmu diciptakanNYa
dan melaksanakan sebenar-benarnya tanggungjawabmu...

dengarkanlah...
suara hatiku untukmu

Wassalam

----- tulus dari hawa--------
dari hawa yang mencintaiku
damarati.blogspot.com

Senin, Februari 28, 2005

TOPENG, SEBUAH SIMBOL DENGAN DUA MAKNA

Mengunjungi Rumah Dunia kita akan merasa seperti berada di tempat penuh simbol. Kita suguhi berbagai macam benda dan ornamen yang tergantung di tiap ruangan. Lukisan karya anak-anak, caping, jaring ikan, centong nasi, topeng sampai sapu lidi pun tergantun . Apa maksudnya? Hanya Gola Gong, sang penguasa Pustaloka Rumah Dunia yang tahu maknanya.
Lewat tulisan ini saya ingin menelusuri dan sedikit mengupas tentang makna topeng yang terpasang di pintu masuk kiri Kedai Jawara. Ada hal yang menggelitik dan mengusik saya untuk menulis idiom topeng dalam tulisan ini. Mengapa topeng yang dipasang di pintu. Apakah ini sebuah simbol pesan yang ingi disampaikan oleh Gola Gong. Mencoba menerka tentu bukan hal yang salah tentunya.
Dalam kesustraan Cirebon menurut Jacob Sumardjo dalam buku Filosofi Topeng Cirebon, topeng adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.
Dalam makna keseharian topeng bisa diartikan diri yang ingin memperoleh citra lain atas dirinnya sendiri. Pencitraan yang dibuat biasanya mengunggulkan diri sendiri dihadapan publik. Baik yang terang terang-terangan maupun secara tersembunyi. Ada yang ingin dianggap sebagai ulama bertopenglah dia seperti ulama dengan kopiah dan jumbah religius serta sabda-sabda Tuhan yang diri sendiri belum tentu melaksanakan. Atau mereka yang ingin dinggap sebagai penderma menyumbang dengan pamrih tersirat dari setiap rupiah yang diberikan. Makin besar rupiah yang diberi ada hasrat untuk memiliki sesuatu ytang lebih besar pula.
Tinggal sekarang makna topeng mana yang akan kita pilih. Mencari simbol penciptaan itu sendiri atau untuk menutupi keburukan diri.(damarati)

K3N

Aku kenal dia lima tahun yang lalu, saat pengembaraan mencari jati diri yang tak kutemui di tanah kelahiranku. Kakekku yang mengenalkan keluarganya padaku, bahwasannya antara kami bersaudara. Perpisahan antara kedua orang tua ku membuat aku tak mengenal keluarga dari bapakku.

Sebenarnya keluarga dari bapakku memiliki sisilah trah yang panjang. Pernah kulihat buku trah yang sempat disusun salah seorang anggota keluargaku yang di Magelang, dan nama keluargaku tak tak tercantum di dalamnya). Kehilangan jejak dalam sejarah keluarga.

Ada bias kebebasan saat pertama kali melihatnya dengan kesan tomboi yang tersirat dari caranya berjalan, berpakaian dan berbicara meski masih tertutupi oleh bahasa jawanya yang lemah lembut khas wong wetan.
Pertemuan pertama hanya kesan itu yang kudapat, selebihnya hanya lupa yang tersisa dalam ingatan. Namun takdir mempertemukan kita lagi. Dua tahun berikutnya aku berjumpa dengan dia yang penuh antusias bertanya tentang agama dan hubungan dengan lawan jenis, entah itu perkawanan atau hal lainyang lebih pribadi. Semua dia tanyakan dengan terbuka tanpa kau tutupi, seakan ada kepercayaan bahwa aku bisa menjawabnya. Kucoba tanggapi semua pertanyaannya dengan sabar dan kujawab dengan hati-hati. Aku tahu dia masih hanif dan ingin memperbaiki diri namun masih ragu untuk tentukan pilihan. Aku hanya tahu kulit agama, salah menjawab fatal akibatnya. Tapi setidaknya ada ilmu yang tersampaikan. Bukankah ilmu agama adalah hak mereka yang tak tahu. Sampaikanlah meski hanya satu ayat. Saat itu k3n (katrin = ketika kutemukan keindahan namamu) sudah di semester tiga, sedang aku baru masuk salah satu pendidikan kejuruan lanjutan.

Dan hari ini kuterima sepucuk surat darimu. Kau bercerita banyak lewat tiap kata yang kau tulis. Ingin bebagi kebahagian katamu. Berbagi kebahagiaan? batinku bertanya gerangan rasa apakah yang sudi seorang dara bagikan bersamaku yang saat ini masih mengais arti bahagia itu sendiri.
Masalah busana muslimah. Agak surpraise juga aku mendengarnya. Katrin dah dapet hidayah, aku bersyukur atas kabar tersdebut. Sisi batin kecilku yang lain berteriak halus. Ah... ini cuma sensasi saja, mungkin dengan itu dia bisa mendapat banyak manfaat. Publikasi gratis karena teman-temannya banyak bergunjing tentangnya atau ada mahluk yan namanya lelaki ...(orang pengajian biasa memanggil ikhwan) yang ingin digaetnya. Bisa jadi.
Sisi batin keciku membuat aku semakin ingin menampik semua prasangka tersebut. Membiarkannya terus bermain akan semakin membuat seluruh jiwaku keruh dengan dugaan.

Dia berkisah, bahwasannya untuk merubah satu penampilan, memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari baju atas dan bawah, sepatu, tas, kaos kaki ditambah lagi kerudung plus pernik-perniknya. (Ngak pernah kebayang olehku yang gini-gini)
Aku bisa mereka-reka perubahan penampilanmu yang begitu drastis saat ini, harapanku semoga dia tidak merasa aneh atau malu dengan pilihannya itu. Semoga kau bisa istiqomah. Hey aku berdoa…. memungut harap agar Alloh berikan kekuatan agar dia selalu berada di jalan yang benar yang telah dia pilih.

Kau juga berkisah bahwa tentang betapa kemudahan akan Alloh berikan jika azzam tlah teguh di dada. (Azzam… kata palagi itu, kucari di google baru ngeh aku apa itu maknanya) Semua yang kita sangka sulit, jika Alloh berkehendak tiada sesuatu yang sulit bagi Nya.
Kau berhitung tentang jumlah kerudung yang kau punya, logikanya dengan uang sakumu tak kan cukup untuk memenuhinya. Dan datanglah pertolongan itu, ada seorang temanmu bercerita bahwasannya dia hanya punya baju muslimah tiga potong plus bawahannya. Untuk keperluan kuliah dia hanya menukar-nukar koleksi itu. Ternyata mudah dan sederhana tipsnya. Jika dihitung, masih banyakan koleksimu dibanding temannya. Maka bertambah kuatlah azzammu. Pasti bisa…. pekiknya.

Masih tentang kemudahan yang kau dapat. Pertama keluar dengan penampilan baru, dalam hati kau ada hal yang tak kau percaya, kau telah memakainya. Sebuah kewajiban telah ditunaikan, menutup aurat. Sebuah impian yang akhirnya jadi kenyataaan.

Minggu pertama masih terasa canggung kau mengenakannya, masih „wagu“ katamu. Tapi ternyata banyak yang mendukung dan banyak sambutan kebahagian dari teman-teman dekatmu, Ditengah kegundahan „diterima gak ya ma teman-teman“ bisik dalam hatimu.
Dan keajaiban itupun terjadi kembali, satu per satu temanmu memberi buah tangan kerudung untuk kau kenakan. Betapa pertolongan Allah begitu besar, jumlah kerudungmu yang dulu tiga potong, kini bertambah menjadi empat belas. Subhanallah, pertolongan Mu begitu besar dan dekat.

Yang lebih lebih membahagiakanmu adalah dakwah yang secara tak langsung kau sampaikan kepada keluagamu. Berdakwah lewat jilbab yang kau kenakan. Meski statusmu masih mua’alaf jilbab namun setidaknya kau telah memberi sebuah pemahaman yang baru tentang bagaimana Islam yang sesungguhnya.

Sungguh adalah sebuah perjuangan menegakkan kebenaran diantara lingkungan yang bebeda pemahaman. Aku sendiri tak bisa membayangkan bagaimana keislamanku jika aku dulu aku ditakdirkan ikut babakku. Tentu sangat berat Islam jika jauh dari lingkungan yang penuh dengan nuasa keislaman.

Ya, Rabbi semoga kau terus melimpah nikmat hidayahMu pada saudaraku, Katrin (K3N). Dan jadikan lah pengalamannya menjadi ibrah bagiku untuk tetap bersykur atas segala nikmatMu padaku, terutama nikmat Islam ini.
Nikmat yang terindah yang tlah Alloh berikan.

Berkaca pada katrin membuat aku membuka lembaran batin, mengais tiap baris dari gores cerita yang telah aku tulis. Memaknai bagian hidup mana yang telah aku rubah untuk menegakan agama Alloh. Tetap teguh pada ajaran agama, sampai dimana batas aku bertakwa. Padahal takwa hakekatnya tanpa batas. Dia berarti selagi nafas masih berdesah di raga. Selagi nadi masih berdenyut. Di sinilah amal kita dihitung berakhir nanti setelah kita masuk liang kubur.

Damarati, it’s dedicated to my self

Sabtu, Februari 26, 2005

DURJANA MENCARI CINTA (2)

Di pinggir kota berdebu
Lenggang kaki lelaki langkah pasti
menyungging senyum penuh serum
Mematikan tatap mata

Di tangan tergenggam parang
siap kibaskan semua penghalang
mandikan darah setiap nyawa tertumpah
kirinya seratkan pena
melukis kata hampakan makna
tentang kekecian, jiwa-jiwa terbudak,
menghamba dunia

Dirunut dari mata
titik hitam seperti jelaga
galap, pucat, kering, tanpa rasa
menggaharap dari sebuah nyawa terampuni
dapat kembali empati
insan tlah hilang
malikat enggan bersemayam

Durjan bukan petualang
sekeping batu
di jazirah kehidupan satu putaran waktu
masih butuh cinta
meski tak tau kepada siapa ditumpahkan

dedicated to separuh diri yang lagi hilang

DURJANA MENCARI CINTA

Di sudut kota berdebu
Langkah kaki lelaki kaku
mengayuhkan dendam didetiap injakan
menyuguhkan duka setiap tapaknya

Tangan kanan kibaskan parang
memetik tiap nyawa melayang
Di kirinya pena
tulis mantra penghembusan

Adakala ketika jiwa telah lelah
menuju puncak rentetan
khayal, nelangsa tak berkesudahan

Rongga mata sehitam jelaga
tengah tergambar peristiwa
mengharap
torehan luka tlah terbuat
sebuah jiwa disampingku menghambat
menanti
tuk dapat,...
layakah sang pendosa peroleh cinta
murni, tulus tanpa pewarna

Senin, Februari 21, 2005

Langit Gelap Krenceng

awal minggu tlah berdebu
beringaskan hari akan kuhadapi
tapi aku belum mau mati
atau tersunggkur di tanah kubur
mengais-ngais jatah umur

Setiap hari kugadaikan waktu
dengan menjual tenaga
hitungan masa hidupku
di sebuah jawatan orang berkulit dungu

Buka tutup tulisan kesaksian kerja
adalah rutinitas
merentas batas
sari tudung pagi hingga payung mentari ditutup malam

langit gelap tanda saat aku merayap
menyusuri jalan pulang setelah selesai masa gadai
Di lapangan krenceng
hanya hitam tertimpa redup bolam jalan
hanya hitam kepada diri suguhkan kepenatan

Langit gelap krenceng
lukisankan hidup makin melenceng


from desk of damarati

Minggu, Februari 20, 2005

Hatiku Terbakar!

Toolooong....toolooong!
Vibrator lidah , pita suara, dinding kerongkongan, gigi serta gusi
kompak menyenandungkannya
seperti virtuoso memainkan komposisi alternative
dijepit sulit, kenapun menggigit
matanya berkaca, melelehkan air telaga
atau anak sungai yang mengalir ke laut

Toolooong...toolooong!
ada yang terbakar
meski disiram anak sungai bidadari
belum padam orkestra sang virtuoso bersenandung
kini jiwa apa kabarnya
apa sama dengan kata dibaris pertama
berharap ada nyawa mengabulkan inginnya
ah........
hatiku terbakar
bidadari terkapar
aku terdampar


Ketika bidadari enggan berpisah dariku...

Cool Sunday Morning

When I open my eyes, my body feel vertigo
Why yah? I don't understand what happen with me
Why yah? My mind lose control
Why yah? The air is so fresh for all of human being
Why yah? My pocket is full...
Why yah? I believe God bless me today
Sure...sure...sure...
Cool sunday morning


Habis mabit..ngantuk banget!

Rabu, Februari 09, 2005

Sedikit Curhat Tentang Makan Siang Di Kantin PTSI Cilegon

Assalamu'alaikum Warohmatullohi wa Barokatuh

Semoga Berkat dan Rahmat Alloh senantiasa tercurah untuk kita semua

Makan adalah kebutuhan hakiki dari setiap mahluk ciptaan Tuhan. Kegiatan tersebut adalah sarana untuk menyambung kehidupan manusia sebagai utusan Tuhan di muka bumi.
Dikatakan oleh Kalam Nya bahwa kita pun harus mensyukuri setiap suap makanan yang masuk ke badan kita sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Menelan dengan legowo tanpa berkeluh apalagi sampai mencaci makanan yang kita dapatkan adalah tauladan yang diberikan Rosul pada kita. Karena itu adalah rizki yang wajib kita berterimaksih karena masih diberi, hingga hari ini.

Namun (ada paradoks ... mungkin kontradiktif dari apa yang akan saya tulis)....
Ketika kita dihadapkan pada selera terhadap makanan, tentu tiap orang akan berbeda jawabnya. Dalam mensikapinya akan muncul banyak reaksi. Ada yang suka, ada yang biasa hingga menghina dan memuntahkan makanan yang hampir ditelan. Semua berpulang pada yang namanya selera.
Jika kita makan di warung tentu tiap orang bisa memilih sesuai seleranya masing-masing. Tetapi saat kondisi makan yang telah dipatok harga per porsinya tentu ada standar selera yang pantas diterima. Rasa sebanding dengan harga. Ada nilai rasa disana, yang tentunya bisa dimaklumkan sebagai cita rasa bersama. Efeknya akan lebih banyak orang yang tidak berkomentar negatif tentang rasa makanan yang di sajikan, syukur komentar positif diberikan.

Kita ambil contoh kasus, ketika kita makan siang di kantin kita tercinta. Dari hari ke hari bukan makin baik pelayanan dan makanan yang disajikan. Baik dari jumlah maupun rasa. Saya tak tega berkata "buruk" karena berarti tidak mensyukuri rejeki yang saya makan hari ini. Hanya saja alangkah indah jika saat kita makan, lidah kita mengecap rasa yang mendorongnya bersyukur akan makanan dikunyahnya hari ini. Bukan "ngedumel" atau komplain pada rasa yang tak sesuai standar selera bersama.

Saya menulis ini untuk diri saya sendiri sebagai tumpahan unek-unek atau curhat yang ingin saya bagi. Ini bukan komplain, hanya sedikit sentilan tuk kebaikan bersama. Jika ada yang tak berkenan dari tulisan saya ini mohon kelapangan untuk memaafkannya. Kebaikan datangnya dari Sang Penggenggam kehidupan, luput dan salah adalah di diri saya selaku insan.

Setiawan Hadiswoyo (Sosok Lain Damarati

Tunggu

Dia titip pesan waktu itu
Tunggu....

di balik pintu,
di meja kerja,
Jelusi jendela berdebu

Setengah putaran berlalu

tunggu....
Terngiang kembali kata itu

Kini di lorong waktu
di ruang masa
Hingga kurasa jemu

From desk of damarati (13 Januari 2005)

Tengah Siang

Matahari
panasnya mendidihkan raga yang rapuh

Setelah hujan pergi tanpa pesan minggu lalu

Masih
tersisih di kubangan waktu memburu
aku tahu


Damarati
from my desk (12 Januari 2005)

KAMU

Dihangatnya kurasa dinginmu
Didinginmu kureguk panasnya

Kering Hati dibasahi kasihmu
Basah Jiwa Kering karenanya

Di remang subuh tangkap pendar bayangmu
Ada terang di balik sisi gelapmu

merayap... mengendap...
hingga aku bersimpuh
kaku


From desk of Damarati (11 Januari 2005

Senin, Februari 07, 2005

My Ilussion

Whisper hang out from my head
Evil practice dancing on the deepest of blood
Suck until my bone singing "kruck..!"

Angel screams loudly
But no ears can catch them
Gone....gone....gone....

In the middle of nowhere,
a couple of souls wait to re-incarnate
Whisper....scream will lead them to find
heaven or hell
in another chance


sambil belajar bahasa inggris... ngaco ya???

Orang Gila

suatu saat aku melihatnya
tepat didepan kelopak mataku
di lain waktu aku melihatnya
berjongkok di belakang pantatku
satu saat aku menunggunya
ingin kuludahi mukanya
mukanya yang penuh dengan senyum sinis
seolah ingin mencampakkanku ke tempat sampah
siapakah dia? siapakah aku?
aku bingung, kupegang pada batang yang rapuh
menari-nari dan tertawa-tawa
masih menunggu di batang yang rapuh
aku buka baju
jongkok di belakangnya, di belakang pantatnya
kini.......
aku berdiri
menatap kelopak matanya
entah sekarang siapa yang gila
aku atau dia...?
absurb.........naif.........migrain..........kolesterol!

inspirasi saat menunggu loading yahoo yang amat lambat! membuat sekarat!

Jumat, Februari 04, 2005

Dinda

Jiwa yang bersemyam dalam raganya
Tebalut tulus kasih untukku
Masih menanti utuh cinta darimu
Aku yakin itu
Percaya diriku untuk bisa selalu jadi pangeranmu
Temani dalam setiap denyut hidup yang Alloh gariskan buatmu
Dimana denting rindu selalu sesak di dada
Menggetarkan jiwa saat kau melewatinya
Aku pun sama....
Terpasung oleh jarak dan waktu (kutunggu)
Bayangkan malam ini aku hadir
Menemanimu tiada akhir
Cuma Subuh yang bisa kita berlabuh
Menepikan sampan di pantai kita bersauh
Pangeranmu...
Selalu coba jadi yang terbaik untukmu
Karena kau tlah beri yang terbaik buatku

Damarati
Selepas Jum'atan awal Februari 05

Kamis, Februari 03, 2005

KECAP

Menggelinding bongkahan ingin ku menyungging
Seringai senyum terpekur
di sudut bibirku yang coba terus bersyukur

Cap.. Kecap..
Basah mulut mengulum kata
semoga tak mubazir
lidah, luncur
rajut kata..
cari makna

Aksara kutulis..
Saat rasaku teriris

Cap... Kecap...
Banyak bibir kini
bersaut mencibir

Aku terpinggir

From desk of damarati
saat Asar tlah memanggil di awal February

Rabu, Februari 02, 2005


Harapan dari bunda mu Damar, Semoga kubisa selalu membumikan cintanya di hatiku
-My Lovely Gita-


Malam semakin larut, lingkungan kostku sudah sepi. Samar ku dengar suara gerobak dan piring didentingkan penjaja nasi goreng keliling atau suara langkah kaki terburu-buru, mungkin mahasiswa yang hendak mengerjakan tugas di kost-an temannya. Sekarang memang sedang musim tugas. Terasa begitu lelah mataku, badan dan jiwaku malam ini. Ingin semuanya kuistirahatkan sekarang juga. Tapi masih begitu sulitnya mata terpejam, seakan memaksaku mengenang kejadian sebulan yang lalu .

****
Malam sebulan yang lalu, sekitar pukul 22:00, kudengar bel kost-anku berbunyi. Segera kusambar jilbabku dan kukenakan secepatnya, aku pikir pastilah adik-adik kostku, baru pulang sehabis mengerjakan tugas pendahuluan praktikum. Tapi mereka kok tidak memberi salam seperti biasanya.
“Siapa? “ agak sedikit berteriak aku menanyakan siapa diluar.
Tidak ada jawaban, aku agak sedikit takut juga, masalahnya sudah malam, tapi aku beranikan juga membuka pintu itu. Dan masyaAlloh, gita ternyata, salah satu adik TPA ku. Tapi kok malam-malam begini? Gadis kecil, yang kira-kira berumur 5 tahun didepanku kini sedang tertunduk, membunyikan wajah polosnya, dan terdengar menangis sesenggukan. Dia lagsung menghambur ke arahku, aku coba menenangkan gita sebisaku, ku peluk dia, dan kubelai rambutnya, basah, di luar memang agak gerimis, bajunya juga agak basah. Dan, masyaAlloh…..keningnya berdarah. Segera ku bawa dia ke dalam, ku lap badan dan wajahnya dengan handuk, dan kuambilkan segelas air, aku berharap gita kecilku ini agak sedikit tenang. Segera kuperban luka dikeningnya. Dan ternyata bukan itu luka satu-satunya, pangkal tanganya biru seperti habis dipukuli, punggungnya juga. Aku semakin bertanya-tanya ada apa dengannya. Setelah minum, gita baru mulai mau berbicara:
“Mbak, gita boleh nginep di sini nggak?” lirih suaranya, dan masih tertunduk tidak mau melihat ke arahku.
“Boleh donk…..”jawabku mengiyakan.
“Tapi mbak boleh nanya ya…kening Gita kenapa? Badan Gita juga kok pada biru-biru?”
Pertanyaanku membuatnya menangis lagi, Tuhan..ada apa dengan gadis kecilku ini?
“Mbak, Gita dipukul sama bapak, soalnya Gita pake kertas yang ada di meja buat bikin kapal-kapalan trus gita taruh di selokan”suaranya terbata-bata karena isak tangisnya yang tak kunjung mereda.
“lho…kok Bapak marah? Memangnya kertas apa?”aku heran.
Gita hanya bisa menggeleng.
“Ya udah, Gita sekarang nginep di kamar mbak ya, besok mbak anterin pulang deh”
Tangis gita makin kencang “gita gak mau pulang, ntar dipukulin lagi sama bapak”
Kupeluk bidadari kecil didepanku itu. Segera aku mengajaknya ke kamarku, membaringkannya, dan menyuruhnya segera tidur karena hari sudah malam. Tapi bagaimana ini? Aku membolehkan seorang anak menginap di rumahku sedang orang tuanya kemungkinan besar tidak tahu. Apalagi dengan kondisinya yang seperti itu. Rasa khawatir mulai menyergapku, bisa-bisa para orang tua tidak percaya lagi menitipkan anaknya mengaji pada kami. Segera kutepis rasa khawatirku itu, dan tetap berpikir positif semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tetap harus berbicara dan mengabarkan kepada orang tuanya bahwa anaknya ada bersamaku malam ini. MasyaAlloh, tapi sekarang sudah jam 11 malem, pantaskan seorang akhwat berkeluyuran malam2 begini. It’s urgent …aku harap ada pemakluman untuk ini. Tapi tunggu, bagaimana dengan Gita? Masa aku tinggal dia sendirian? Klo ada apa-apa bagaimana? Minta tolong teman, kost mereka lumayan jauh, aku tidak tega malam-malam begini menyuruhnya datang ke kost-an ku apalagi jalan menuju ke kost-anku agak ‘rawan’.

Aku mencoba berfikir keras, hampir saja kutemukan jawabannya, tiba-tiba gita mengingau,”gita gak mau pulang, gak mau ketemu bapak”
Kuraba keningnya, masyaAlloh, panas sekali, suhu badannya naik drastis. Bisa aku katakan, jika saat itu, sungguh aku panik. Terburu-buru aku mencari kain untuk mengompresnya. Untunglah ada sapu tanganku yang agak tebal dan masih bersih. Setelah kukompres, dia sudah tidak mengigau lagi, hanya panas badannya masih tinggi. Ops, kenapa gak aku hubungi ikhwan saja, siapa tahu mereka bisa menolong.

Aku cek satu-persatu nomor ikhwan yang aku punya, sepertinya aku minta tolong akh handi saja, kebetulan kost-annya tidak jauh dengan rumah gita. Setelah kuceritakan semuanya, akhirnya akh handi bersedia ke rumah orangtua Gita untuk menanyakan hal ini dan atau setidaknya mengabarkan bahwa gita sekarang bersamaku. Sedikit lega aku dibuatnya. Setidaknya aku bisa konsentrasi menjaga gita manisku ini, besok baru aku bilang sekalian mengantarkannya.

Kupandangi gadis kecil didepanku, sesekali dia mengerang mungkin karena rasa sakit luka-luka itu, aku mencoba mengingat kapan pertama kali aku mengenalnya. Kira-kira setahun yang lalu, saat aku bertemu denganya di gang menuju ke kost-anku. Kami langsung akrab, suaranya yang renyah membuatku selalu tersenyum saat bersamanya. Lalu aku mengajaknya mengaji, dan Alhamdulillah Gita mau, dia begitu antusias menanyakan setiap hari apa ngajinya, dan apakah harus menggunakan kerudung? Dan aku begitu terkesan saat sebuah statement jujur dan polos dilontarkannya, kenapa aku berjilbab sedang kakak dan ibunya tidak. Gita gadis kecil yang cerdas. Aku ingat saat dia menjuarai lomba hapalan Al-Quran di masjid kampus pada acara Miladnya. Padahal dia baru satu minggu mengaji denganku. Dan apa yang dialami gita sekarang sungguh membuatku terkejut, kenapa hal seperti ini bisa terjadi padanya, seorang gadis kecil yang masih polos.

Bapak juga pernah memukulku,dulu waktu masih kecil, berapa kali aku juga masih ingat. Waktu kecil, kata mama, aku memang bandel, badung, susah diatur, dan keras kepala. Ya, aku ingat, dulu aku memang bandel. Kesukaanku adalah bermain, dan dulu, saat Bapak dan mama mencari nafkah di Jakarta, aku punya teman-teman(bolehlah aku sebut gank) yang semuanya laki-laki. Kata mama, aku tidak pernah memakai rok waktu kecil seperti lazimnya anak perempuan, aku juga tidak suka bermain boneka. Dulu aku lebih suka permainan yang ramai, seperti bentengan, atau engrang, maen kelereng, atau gasing, dan satu lagi memanjat pohon. Semuanya itu jika aku ingat sangat menyenangkan. Suatu waktu, saat musim rambutan, pohon rambutan di kebun dekat komplek rumah kami juga sedang berbuah lebat. Kami semua bermaksud mengambil semua buah rambutan yang sudah matang dan membaginya bersama-sama. Kami memanjat pohon rambutan itu dan memetiknya dengan semangat. Saat sedang asyik-asyiknya diatas pohon, kakiku digigit semut, reflek aku bergerak-gerak, dan walhasil hilanglah keseimbangan, dan brukkk….aku jatuh di semak-semak. Badanku lecet semua waktu itu. Temanku langsung berlari memanggil orangtuaku, sebenarnya ingin kucegah, tapi aku sendiri tak kuat berdiri. Tak lama, Bapak datang, dan tanpa meminta penjelasan Bapak memukulku. Aku diam saja, tidak menangis, tapi aku tidak terima apa yang Bapak lakukan waktu itu, aku jatuh, tapi kan aku tidak menginginkannya(ini yang aku pikirkna waktu itu). Kubiarkan Bapak memukul pantatku. Sakit badanku, tapi lebih sakit hatiku. Tapi sesudahnya bapak menggendongku ke rumah. Mama yang melihatku penuh luka-luka (bahkan sampai dikepala, karena sebelum jatuh sempat membentur batang pohon rambutan terlebih dahulu) langsung menangis. Segera lukaku dibersihkan, dan aku masih saja tetap diam, apa yang Bapak lakukan betul-betul ada diingatanku, begitu membekas. Malamnya aku demam, mama panik karena aku sering mengigau. Yang aku ingat, Bapak langsung menggendongku dan membawaku ke dokter waktu itu. Selain kejadian itu, Bapak sering memukulku karena seringnya aku pulang dalam keadaan lecet-lecet dan kotor sekali. Dan setiap kali begitu, aku selalu diam saja. Tapi semuanya aku ingat, dan kucatat dalam memoriku, menjadi sebuah tanda tanya besar kenapa harus begitu?

Hingga saat aku sudah kelas 2 SD, pulang sekolah, mukaku lebam, dan tanganku lecet, baju sekolahku sangat kotor dan saku bajuku robek. Sebenernya aku malas pulang tapi aku lapar sekali. Sampai rumah orang yang aku jumpai pertama kali adalah Bapak. Dan begitu melihatku seperti itu, bapak langsung marah-marah,”badung sekali kamu”, dan bersiap hendak kembali memukulku. Tapi entah kenapa, saat itu aku reflek menghindar. Aku ingat(dan bapak juga ingat) apa yang aku katakan waktu itu, “ Pak, kenapa jika lihat aku seperti ini Bapak langsung memukulku, kenapa tidak ditanyakan kenapa aku sampai seperti ini? Salah ya pak jika berkelahi bela teman yang benar?” Dan jika biasanya aku diam saja, maka saat itu aku menangis. Aku merasa bahwa saat itu aku sudah mengeluarkan semua yang terpendam dalam dadaku. Sejak saat itu Bapak tidak pernah lagi memukulku. Mengenang itu, aku merasa menjadi anak yang begitu merepotkan, setiap kali aku dipukul, maka malamnya aku pasti demam. Bapak dan mama selalu langsung membawaku ke dokter. Aku tahu mereka sayang aku dan tidak pernah bermaksud menyakitiku, tapi apa yang mereka, khususnya Bapak lakukan padaku sungguh membekas, membuatku berazzam tidak akan melakukan itu pada anakku kelak.

Dan hal seperti itu terjadi pada gadis kecil nan ayu yang sekarang sedang berbaring didepanku saat ini, bahkan lebih parah(Bapak hanya memukul pantatku, tidak pernah punggung apalagi kepala). Gita memang bukan satu-satunya anak yang mengalami hal seperti ini, sering aku baca dimedia masa penganiayaan anak baik oleh orang lain ataupun oleh keluarganya sendiri(bahkan ada yang sampai meninggal). Haruskah seorang anak diajari dengan cara seperti ini? Jika mereka salah, apakah sebuah pukulan adalah hukuman yang mutlak mereka terima? Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda:

“ Jangan sekali-kali kamu mengacungkan tanganmu kepada anak-anakmu agar mereka takut kepadamu, tapi ajarilah agar mereka takut kepada Alloh semata”

Bahkan untuk hanya sekedar mengacung-acungkan tangan kita kepada anak kecil saja itu tidak boleh, apalagi memukulnya. Pernah kubaca dalam satu kajian ilmiah tentang dampak sikap keras orang tua terhadap anaknya(secara personal psychology) menjabarkan jika anak yang terbiasa dimarahi apalagi dipukuli orang tua agar mentaati suatu peraturan atau karena melakukan kesalahan, maka kebanyakan perkembangan mental dan jiwanya labil, timbul rasa takut yang kadang diluar kewajaran, kesadaran mentaati peraturan yang justru rendah, dan sikap dendam ingin menerapkan hal yang sama kelak”.

Nah lo, serem deh…
Apa yang disabdakan Rasulullah diatas pastilah benar. Ajarkanlah kepada anak-anak bahwa Alloh melihat semua yang dilakukan manusia, dimanapun berada. Ajarkan kepada mereka agar mengetahui dan membedakan mana yang hak dan mana yang bathil. Tumbuhkan dalam jiwa mereke sikap-sikap peduli dan ksih sayang terhadap sekitar. Jadikan mereka pribadi yang peka sosial.

Ups, handphoneku berdering, menyadarkan aku dari lamunan panjang (hampir tertidur sih). Ternyata Akh handi yang menelpon, mengabarkan kalau dia baru saja menyelesaikan urusan itu(afwan merepotkanmu, sampai jam setengah 2 malem pula). Gita memang dipukul oleh Bapaknya, saat itu beliau sedang mabuk, Pulang mencari kertas penting itu (perjanjian dg bank, tak tahu aku masalah apa…), ternyata sudah rusak oleh gita. Tanpa pikir panjang langsung main pukul. Istrinya tidak berani mencegah jika sang suami sedang kolaps. Walhasil gitalah yang jadi korban atas sebuah kesalahan yang sebetulnya bukan sepenuhnya dia yang berbuat(kenapa meletakkan kertas penting disembarang tempat, seorang anak mungkin akan melihatnya sebagai kertas tidak tidak terpakai sehingga digunakannya untuk bermain). Menurut akh handi pula, keluarga Gita sedang berada dalam proses perceraian. Mungkin, kata istrinya 2 minggu lagi mereka resmi bercerai. Shock aku mendengarnya. Bagaimana nasib Gitaku nantinya? Pening kepalaku memikirkan ini semuanya.

Dua minggu kemudian, mereka memang resmi bercerai, sedang hak mengurus Gita diserahkan kepada ibunya. (Sebelumnya aku takut jika hak perwalian jatuh ke tangan Bapaknya). Yang membuatku semakin sedih, ternyata gita harus pindah dari rumah kontrakannya, ke rumah neneknya di Sukabumi. Aku harus berpisah dengan bidadari kecilku ini.

Perpisahan dengannya sungguh mengharukan. Sebelum mereka pergi (sambil membawa semua barang2 rumah tangganya, menggunakan mobile pick up), aku gendong Gita. Kubiarkan dia bertingkah sedikit manja. Saat neneknya juga hendak menggendongnya, Gita tidak mau, hampir saja menangis jika tidak kutenangkan secepatnya. Akhirnya setelah ibunya membujuknya, dia mau juga lepas dari gendonganku. Kuucapkan sedikt kata sebagai tanda berpisah (semoga suatus aat ada masa aku bisa kembali melihatnya):”gita jaga mama ya, truss, gita juga gak boleh manja. Disana gita ntar ngaji juga ya, sama teteh-teteh disana. Ok?” Dia mengangguk-angguk. Dia bahkan meminta neneknya memberintahu nomor telepon di sana dan memintaku sekali waktu menelponnya. Aku mengangguk mantap. Kukecup kening dan pipinya untuk yang terakhir.

******

Jam delapan tadi, aku baru saja menelpon Gita kecilku. Suaranya sudah kembali ceria. Gita kecilku mengabarkan jika dia hendak masuk madrasah. Katanya, mengaji itu asyik.
Gita, mbak doakan kamu, Semoga Alloh memilihmu menjadi mujahidah tangguh-Nya kelak. Amien.

----<--@ Buat mas Hadie, yang baru selesai membaca ini,
Be a good Dad ya buat anak-anak mu kelak J@-->---

Sabtu, Januari 22, 2005

Kisah Cinta

Waktu terus berjalan
membawaku di persimpangan
Antara harapan dan keinginan
Untuk ungkapkan
sayangku dan buaian rasa
Yang lama terpendam
dan kau tahu adanya
Meski ku tahu kau bukan milikku
Namun yakinku kaulah segalanya
Untuk ungkapkan
rasa cintaku

Dan adanya cinta saksi kita berdua
Hanyalah kasta semata dinding pemisahnya
Smoga kau mampu tuk tempuh jalanmu
Gapai mimpi kita

Buat diri di dini hari

Jumat, Januari 21, 2005

hanya manusia

Tenggelam di gugusan malam
Masih mencari nuraniku
Dalam damai bayang-Mu
Terungkap di samudra doaku
Masih mencari sejati-Mu
Dalam hidupku
Ku hanya bisa, coba salami makna
Akan hadir-Mu dalam duniaku
Tunjukan lurus jalan-Mu ho…ho…
Aku hanya manusia
Segalanya atas kehendak-Nya
Aku hanya manusia
Semua kuasa-Nya
Pintu adalah awal dimana kita memasuki ruang dan waktu yang kita inginkan, maka pilihlah pintu yang terindah, pintu yang membawamu pada perspektif rasa. Posted by Hello
Perenungan adalah awal pemahaman tentang diri, lingkungan dan alam semesta. Posted by Hello

Mein Leben

mein leben

Uber allen Gripfeln
Woll mit den Rosen
Mit der minnelichen solde lessen
Sprechen! Das wir iemer funde muesten westen
waz sol singen
waz sol tanzen
waz sol lielich sprechen
ich will dich lieben
ich dunke dir
bis mir das Herze brich
Den sonnenschein
Und der schalten erde
Kann nur derr freie sein
Singen! Frei will ich sein und singen
MEIN LEBEN!!!!!!!!!!!!!

kamar Kris

Relung

relung

Terpejam ku bertahan hadapi kenyataan
Jeruji tajam menikam menusuk rabuku tertahan
Menjelmakan semburat legam mengalirkan penyesalan
Adakah lagi seberkas sinar di hati
Mungkinkah berarti genangan duka ini
Disana kubentangkan harapan keindahan
Jalani hidup yang muram di antara nista cercaan
Menggemakan relung ku kelam menantikan pencerahan