Minggu, November 05, 2006

AL MUNAWAR

Kampung Yang Menggigil
Suatu siang saat bentang meteran
Mematok sisa sejarah manusia
masih terserak di genangan
kemajuan, membinatangkan manusia

Perubahan seperti memburu waktu
Atau waktu itu sendiri diburu perubahan
Membentang keinginan di antara
Keruh comberan nafsu, fitnahfitnah
serapah sinis pada telaga nurani yang keruh

Perjalanan Ke Palembang


Aku meninggalkan Cilegon setelah sholat jumát di awal bulan Syawal 1427. Menuju Palembang, tanah Tsi Lee Fo tse atau Ha Nun, pembangkang dari negeri cina membangun kerajaan bajak laut di tanah ini (menurut kisah dalam perjalanan Cheng Ho, laksamana masyur dari Cina). Ada beberapa tujuan aku berada di tempat ini, hadir di pernikahan wanja dan menemui Aisyah, jiwa yang entah kenapa begitu dahsyat telah membuat aku sedikit sembuh dari cerabut luka karena percaya dibalas khianat.

Bunda melepasku dengan penuh haru. Bu Budi tetangga belakang rumah yang sangat baik padaku ikut repot melepasku, bahkan dimintanya aku menunggu Pak Budi, suaminya pulang dari masjid agar dapat diantar sampai halte bis. Waktu memburu aku dan membuatku dengan halus menolak tawaran baik itu. Naik ojek pilihan yang logis dan tepat agar berkompromi dengan jadwal keberangkatan, 17.30.

Dari Cengkareng, Boing 737 200 milik Sriwijaya Air membawaku terbang di atas ketinggian 26000 m dari permukaan laut. Dengan no penerbangan 084 burung raksasa udara ini melaju kecepatan tak kepalang tanggung, lebih dari 800 km/jam, 10 kali kecepatan vegaku jika dapur mesinnya kupacu mentok. Rasa pekak di telinga akibat deru pesawat bagian yang mesti diterima karena perbedaan tekanan di dalam dan luar kabin.

Gugusan awan dan hamparan mega membentang seperti menempatkan aku di tengah padang kapas tak bertepi. Sore ini bagaskara begitu berbeda dengan merah bersemu jingga saat kulihat telanjang mata di balik jendela pesawat. Kaki langit hanya seperti garis horisontal lurus tak bertepi, saat ilmu pengetahuan belum terbuka sempat diduga itulah tepi dunia. Sesekali cahaya matahari masih masuk ke dalam kabin pesawat. Penerbangan yang aku majukan satu jam dari rencana penerbangan awal ini cukup lancar walau cuaca tak begitu mendukung karena kabut asap pembakaran hutan tak kuasa masih tak terbendung mengapung di udara nusantara.

Setelah berada 50 menit di udara akhirnya Kapten Imran Siregar, pilot penerbangan ini memacu mulus landing pesawat di landasan Bandara Sultan Baharudin 2 Palembang. Aku hubungi Riko, kaka Aisyah untuk dapat menjemputku. Tak lama menunggu Riko datang dengan motor (ternyata di Palembang boleh juga motor masuk di bandara untuk menjemput penumpang, di Jakarta mana ada?). Melihat Rico adalah gambaran dalam pikiranku yang jadi kenyataan tentang tipe para lelaki Bumi Sriwijaya ini. Tak mudah cair saat pertama kali kenal & berjumpa, tapi bisa jadi teman yang baik setelah kenal lebih dekat. (Asumsi ini tak berlaku untuk Mang Rohim).

Rumah pertama yang aku sambangi adalah rumah Aisyah tentunya. Tak sampai lima menit dari bandara aku telah disambut senyum manis itu. Adalah fakta bahwa senyum itu lebih manis dari fotonya. Wajah itu lebih indah dari yang kubayangkan. Yang jelas kehangatan penerimaan kental aku rasakan sebagai nilai positif darinya.

Nenek Aisyah menyambutku (jadi tak enak aku, karena kedatanganku beliau hentikan acara berbuka puasa syawalannya)

“Nenek tinggal dulu ya, sama Aisyah dulu, nenek mo nerusin berbuka” kata beliau.

Segelas air putih dalam kemasan dan satu teh kotak sudah di meja tamu. Sedikit Aisyah bertanya tentang kabar dan cerita perjalanan ke Palembang. Aku jawab singkat-singkat saja. Ada pertanyaan lain sesudah itu, mau mandi? aku memilih mengiyakan tergerak karena lengket dan bau badan sudah tak tertahan.

Setelah membersihkan diri, sholat dan makan, aku ditunggu di ruang tamu. Nenek dan bibi Aisyah dari pihak ibu memperkenalkan anggota keluarga. Kami berbincang tentang banyak hal. Tentang aku, keluargaku, pekerjaan dan kegiatanku di Cilegon. Ah betapa bangganya perempuan sepuh ini pada putrinya, Drs. Titi Muliawati, ibunya Aisyah yang telah berpulang ke rahmattulloh. Ditunjukan foto putrinya meunjukan kebanggaan dan betapa sayang beliau padanya. Atau ini bahasa agar aku pun mengenal yang telah berpulang dan menghormatinya layaknya beliau masih ada.

Pukul 7.45 keluarga Wanja, teman yang menggundangku ke pernikahannya datang. Starlet merah kusam BG 485 AM membawaku ke rumahnya di tiga ilir. Om Jamal duduk di kursi kemudi. Aisyah, Hanny dan Fanny di kursi belakang ikut mengantar.

Selanjutnya cerita mengalir mulai malam itu. Menemukan hal baru. Kebiasaan setempat, cita rasa makanan, budaya yang harus aku junjung sebagai sebuah hukum. Akan ada cerita menarik lain dalam kisah berikutnya yang akan aku tulis pada bagian lain tulisanku.

Senin, Oktober 23, 2006

LEBARAN dan PEMBEBASAN DIRI

30 Ramadhan 1427 H, tahun ini aku tak berlebaran di Tegal Waktu aku habiskan di tanah rantau Cilegon, Banten. Aku tak pulang ke Tegal bukan berarti aku telah lupa tanah leluhur, tanah dimana aku dilahirkan, cerita masa kecil diukir (yang senang dirasa yang sedih diterima) alasan itu sama sekali bukan menjadi pembenaran untuk tidak berlebaran bersama keluarga besar di Tegal. Semuanya semata-mata karena ada keinginan yang kuat untuk mencoba suasana lebaran baru di tanah orang. Menikmati nuansa yang hanya setahun sekali ada, dengan segala kelebihan, keterbatasan dan kekurangannya. Di samping itu aku ada rencana untuk mendatangi walimatul ursyi teman jiwaku di tanah Sri Wijaya, Andalas. Alasan lainnya, ada ketidaknyamanan jika aku memaksakan pulang sementara bunda bersikeras tetap berlebaran di Cilegon.
Lebaran dari tahun ke tahun semakin menunjukan bergesernya nilai makna yang aku rasakan berbeda. Sepertinya tiap tahun ada yang berkurang, greget semakin hilang. Dahulu saat masih anak-anak, lebaran menjadi waktu yang dinanti. Ada banyak makanan, kue-kue, angpao dari kerabat. Baju baru, minimal dua stel sudah bunda sedikan untuk kami. Manis sangat masa itu. Saudara dari luar kota berdatangan. Kebetulan kakek dan nenek adalah anak tertua dari mbah buyut, sehingga saudara yang lebih mudalah yang datang ke Tegal. Berkumpul dalam kehangatan membangun silaturahmi.
Selepas sholat ied biasanya aku tak langsung pulang ke rumah. Om Afie, adik lelaki ibu, mengajak aku untuk berziarah ke makam mbak buyut dan kerabat yang sudah mendahului berpulang ke Rahmatulloh. Hanya setahun sekali aku mendatangi pemakaman, saat Idul Fitri itu saja. Biasanya saat lebaran pemakaman menjadi ramai, banyak keluarga yang berziarah. Ada semacam kerinduan yang dibagi di waktu itu. Seakan ingatan dibangkitkan, tentang saudara telah berpulang, tak hadir lagi berlebaran bersama lagi.
Sekarang hari terakhir Ramadhan (menurut keyakinanku, karena adikku dan sebagian saudara muslimku sudah mengakhiri puasa dan berlebaran hari ini, ada perbedaan penentuan 1 Syawal antara pemerintah dan Muhammadiyah). Lebaran menjadi tak menarik lagi bagiku. Hanya untuk menetukan tanggal saja masihkah tak didapat kemufakatan. Ilmu dan pengetahuan yang selangit sepertinya sudah membuat hati semakin tinggi. Semua ingin diakui bahwa pendapatnya adalah benar. Jika memang semuanya benar, mengapa tidak diambil mufakat saja. Bukankah indah jika kebersamaan itu dijaga. Mungkin akan ada kompromi-kompromi, tapi anggaplah itu sebagai sebuah pengorbanan dan jalan untuk mencapai kebaikan yang lebih besar. Aku melihat sebagai orang yang awam agama, hal ini akan meningkatkan pencitraan kita sebagai Muslim. Mungkin.
Sengaja aku tak membeli baju baru tahun ini. Sudah sesak isi lemari pakaianku. Ada pemahaman baru bahwa lebaran tak mesti harus berpakaian baru. Menengok sebulan sebelumnya saat Ramadhan bukankah kesederhanaan yang seharusnya dikedepankan saat menyambut hari yang suci & fitri ini. Mencari nilai ketakwaan. Sebagian dari kita mungkin sudah lupa akan esensi sesungguhnya tentang tujuan puasa Ramadhan. Semua cenderung tersedot dalam ritual-ritual seremonial belaka. Kebutuhan penyucian jiwa telah terkotori dengan pesona ibadah berbau pesta. Buka puasa bersama seperti mengumbar liarnya nafsu perut, qiyamul lail dibalut nuansa pesta, Nuzulul Qurán mengalir dengan warna warni pesta tanpa esensi makna. Bahkan hingga lebaran nanti pesta belum berhenti, Halalbihalal menggenapkan pongahnya ritual berbingkai pesta pora. Aku ingin terbebas dari semua, bukankah ada yang lebih berguna untuk dibelanjakan selain menambah jumlah koleksi baju, membesarkan lambung, menari di bawah gemerlap lampu dan aneka seremoni itu. Ada tangan yang lebih punya hak atas harta itu.
Sepertinya diri belum terbebas dari tuhan-tuhan selain Dia. Ada tujuan lain yang tak kasat mata, melintas dalam hati dan seperti kerbau ditusuk hidungnya kita manut mengikuti. Nafsu kambing hitam yang jadi alasan semua yang dilakukan, padahal kita punya kendali untuk semua itu.
Sejenak aku menarik nafas panjang. Ingatan terbentang akan banyak kejadian tahun ini. Pribadi, keluarga, pekerjaan, komunitas dan bermasyarakat. Mencoba lewat tulisan ini aku mengorek diri sendiri. Apakah aku sudah memperoleh kemenangan Ramadhan sesungguhnya. Atau hanya penggemira dan sedang kebingungan menemukan keberadaan Alloh. Apakah aku sudah mengikuti Ibrahim ketika mencari tuhan. Kepada bintang, bulan dan matahari dia gantungkan keyakinan bahwa itulah tuhan. Semua bertepuk sebelah tangan, semuanya bisa hilang dan musnah digilas bergantinya waktu.
Di saat itulah Alloh menunjukan bahwa dialah sebenar-benarnya pencipta, “Kamu jangan menyembah matahari ataupu rembulan itu, tapi sembahlah Dia yang telah menciptakanmu.” (Q.S. Al-Fushilat ayat 37)
Sembari terpekur dalam renungan pencarian, masih aku mengharap dengan sangat agar dapat mengejawantahkan doa minimal lima kali sehari aku baca: “bahwasannya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Alloh, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya…” (Q.S. Al-Anám: 162-163)
Inilah sejatinya pembebasan diri sejati dari tuhan-tuhan palsu, pegangan diri dari liarnya rontaan nafsu. Ya Alloh pertemukan aku dengan Ramadhan tahun depan dalam iman, keyakinan dan diri yang telah telah mengenal utuh sejatinya diri-Mu.

DALAM GENANGAN NANAH

Secuil itu ada berkah melimpah
Menjadi bagian tak pernah kumengerti
Liar putarannya
Menyergap membuat tergagap
Memaling syukur dari amal terukur

Sebilah belati hujam menyanyikan nyeri
Sudah kulupa rasa sakit
walau koreng menggenangkan darah
setinggi lutut sebau busuk
Mimpiku hanyut, larut
tenggelam dalam genangan nanah

Temaram kembali direnda waktu
Penghianat sudah bebas menyanyikan madah
terdengar sendawa ganjil di penghujung sana
Entah bungah entah gundah
Yang pasti kutahu kini cuma resah

MELIHAT DIRI

Melihat diri
dari ujung rambut sampai kaki
menangkap isyarat
bahwa aku mati suri

Dalam seluruh sadar
Aku menyemai dosa
ditabur seringai iblis
manis, nikmat, menjuntai sungut
melepas antup
Redup lentera iman ditinggal
masa lalu kian menjauh

Menutup mata sembari melantun doa
Puja puji atas luka dan suka
jarak mati sedekat nadi
menjadi penanda ada saat berhenti

Sabtu, September 30, 2006

RAMADHAN HENING

Seminggu sudah Ramadhan 1425 H kulalui. Nuansa berbeda dari Ramadhan sebelumnya aku rasakan. Setiap tahun memberi arti yang berbeda bagiku, tahun ini pun demikian mencoba melepuhkan aku dari tebal dosa yang mendaki di sekujur diri. Ah.. betapa Alloh masih sayang denganku! dipertemukan Lagi aku dengan tamu agung ini. Masih diberinya kesempatan aku mereguk berkah, rahmat dan ampunannya.
Pada malam ketiga yang lalu aku merenung.. khusuk di sebuah kamar hotel. Memetakan apa rencana, apa yang sudah aku alpa. Di kamar 353 menjadi saksi kusutnya aku mengisi waktu lalu. Ya Rabbi luluskan aku Ramadhan tahun ini.

APA KABAR DIRI

Melahap dari bagian lelap
Dekap semua dalam gelam

Menenangkan..
menjura taksim pada takdir

menyusuri anak sungai kehidupan
gurat tangan pena Tuhan

Sahabat..
Aku ingin kita belajar
Pada udara pagi
Pada terang mentari

Pun tak usah kau risau gelap
Asa ketenangan di bersemayam
rebah mengamini penyerahan diri

Waktu cuma gugusan penantian
akhirnya lenyap menuju keabadian
Kemuliaan dan laknat
Dua sisi pertaruhan sejati

Selasa, Agustus 29, 2006

BUKU CINTA

Surga dijanjikan Pencipta
Pada hitungan ganjil keagungan kuasa

Mereka berseru memanggil waktu
atau bercerita tentang buku
Singkat pada lembar-lembar hangat
"Ada doa dalam rima sajak cinta"
"Ada puisi menjelma sunyi"
"Ada mengerti nyata wujudkan janji"

Sepasang sayap kini tlah lengkap
Bahwa derita bukanlah hina
Bahagia juga tak selamanya surga
damarati
buat kado pernikahan Wanja dan Khadem

Minggu, Agustus 27, 2006

DIA YANG RINDU MALAM ITU

Terjaga dari tidurku
keluar dari lumpur kepenatan...
tigapuluh purnama lalu aku mengukir mimpi
menjala cita memahat cinta

Hari ini kehilangan seperti penat menguap
hening zahrah debu terungkap.
Padang gembala kerontang
diperkosa kemarau panjang

Aku duduk panjatkan pujapuji
keluarkan aku dari kesesatan ini

MEMBACAMU

keindahan kasat mata
belantara inginriuh dalam gemuruh terkata lewat waktu
menunggu luruh seperti peluh
melepas hutang pada tubuh

Aku ingin jiwamu bersedia
menjurakan keseluruhan
atas nama KEAGUNGAN

Menjadi Bunda atas benih kasih sayang
Melengkapi keping dunia
telah berhenti sesaat lajunya
Meniti rel bahagia

Masaku sempit
empat purnama
damar nyala tak lama

Senin, Juli 24, 2006

Dintrogasi LAGI!

Adakah kepercayaan pada sebuah kisah mesti diputar balikan, hingga ditemukan lelah dan hap.. ditangkap, jadilah korban.
Seperti Jumat 21 Juli 2006. Aku dipanggil polisi sebagai saksi kehilangan material di tempatku bekerja. Sepucuk surat bernomor Spgl/41/VII/2006/res aku kantongi dari Polres Ciwandan. Dengan itikad baik aku datang kesana, sungguh. Membantu membongkar pencurian yang sering terjadi di tempatku bekerja.Namun apa yang dinyana akumerasa ada yang salah dari pertanyaan yang mereka (Polisi) lontarkan. Seperti menggiring aku untuk mencari salahku hanya karena namaku tertera pada tanda terima barang. Aku hanya sebatas menerima barang setelah selesai pengerjaannya di Subcontraktor. Hanya itu.
Dan yang bikin sangat tak nyaman, aku ditawari istirahat setelah sesi kedua introgasi (sesi pertama dari jam 9.00 - 11.30 & sesi kedua 14.15 - ?).
Mau tahu kenapa kutulis tanda tanya, begini ceritanya.
Kronologi proses pengiriman dan penerimaan besi steinless untuk pengerjaan komponen tersebut sudah aku urai, lengkap dengan data no surat jalan keluar masuknya. Masak polisi bilang begini"ini ga menyelesaikan masalah, kalo kamu tahu siapa yang nyuri itu baru penyelesaian". Segampang itukah komentar yang dilontarkan. Dan yang paling bikin enek mereka katakan kalo mereka bisa mengintrogasi aku selama 24 jam. Apa-apaan ini. Seperti maling saja aku ini. Aku datang sebagai saksi, niatnya membantu polisi, kok mereka kaya gitu ga ngerti aku.#$^^*&%^%&*!
Terakhir paling bikin aku mangkel, ditawarinya aku untuk istirahat 15.45 aku ambil karena telah kering leherku menjawab pertanyaan polisi yang itu-itu saja. Eh, ternyata aku ditinggal pergi oleh personel polisi yang mengintrogasiku itu. Mau tahu ditinggal kemana? ditinggal menghadiri undangan acara makan-makan. Gila ga tuh. Stres aku nungguin sampai jam 17.30, langit udah gelap, hampir magrib. Akhirnya kutanya petugas jaga no telpon personel polisi yang mengintrogasi aku itu. No hpnya ga aktif, kutanya lagi ada no lainnya? dikasih aku telpon rumah, dari suara dibalik gagang telpon itu kutahu no hp lain polisi itu. Kucoba hubungi ga aktif lagi. Sialan.
Akhirnya aku telpon kantor untuk minta dijemput mobil kantor. Sesampainya di kantor aku datang ke atasanku untuk berkonsultasi. Dia OK aja aku pulang. Sampai di ruang meja personalia aku bimbang, Pak Casman orang personalia bilang aku bisa dinggap melarikan diri. Aku jadi khawatir, maka balik lagilah aku ke Polsek, sang introgator belum juga nonggol.
HP ku berbunyi, dari atasanku rupanya. "Wan kamu pulang aja, udah dilanjut lain waktu aja, udah ga profesional gitu soalnya,tar saya dampingi"
Berbekal kalimat itu aku pulang.
Kejadian ini cukup bikin aku stress, menyesakan. Akhirnya aku seperti mengambil pembenaran sendiri.
"BENAR ATAU SALAH KAMU JANGAN SAMPAI BERURUSAN DAH AMA POLISI"
Kejadian ini kali kedua berurusan dengan polisi. Motor ditabrak, eh giliran dikeluarkan dari kantor polisi malah suruh bayar. Ga jelas, dah jadi korban malah dikorbanin. Agak khawatir juga aku ini akan terulang lagi. Tinggal keteguhan hati kalo aku tidak bersalah, aku bukan pencuri.
Semoga Alloh memberi pencerahan di hati para polisi.

Selasa, Mei 23, 2006

DIINTROGASI

Menyesakan dada selembar kisah hari ini. Aku terbawa dalam ruang tanya penyelidikan kehilangan barang di tempatku bekerja. Empat jam seperti duduk dalam dakwaan, walau istilahnya diperhalus menjadi DIINTROGASI!
Mengumpulkan data kata orang garda, perusahaan securty yang dikontrak siemen. Data yang mana, data yang akan dibuat sebagai bahan menunjukan jari, menduga, lebih halusnya mencurigai.

OK aku enek hari ini. Titik

Rabu, Mei 03, 2006

Enambelas Purnama di Rumah Dunia


Beberapa waktu yang lalu ketika hujan di penghujung Desember 2004 belum reda, aku temukan tempat ini. Seorang teman dari sebuah komunitas jaringan perpustakaan anak telah berjasa mengantarkan aku. Sebenarnya sudah lama kudengar dan aku ingin berkunjung ke tempat ini, namun karena secara letak geografis yang lumayan jauh dari kosku dan waktu itu motor belum kupanyai maka urunglah niatku untuk menyambangi tempat ini.
Tempat ini bernama Rumah Dunia, sebuah madrasah kebudayaan dimana kita akan mendapat sebuah arti pengabdian dan cinta kasih yang diberi tanpa diminta. Tempat dimana buku menjadi sebuah surga yang tak terkata untuk dinikmati.Bukan sekedar buku ternyata yang ada disini, aku juga disuguhi sebuah tawaran untuk belajar menulis tentang fiksi, jurnalisttik dan skenario TV selam tiga bulan, gratis.
Awal pertemuan itulah yang mengikatkan aku dengan Rumah Dunia. Awalnya mungkin ketertarikanku lebih pada sosok seorang Gola Gong dan kelas manulis yang dibimbingnya. Tetapi setelah tiga bulan aku bergumul dengan kelas menulis rumah dunia, kutemukan banyak pencerahan. Ada beraneka ragam teman yang kujumpai di saat kelas menulis baru dimulai. Seleksi alam membuktikan bahwa hanya yang bersungguh-sungguhlah yang akan sampai tiga bulan kelas menulis digelar.
Bicara manfaat yang kudapat, jangan ditanya lagi berapa jumlahnya, banyak! Ilmu tentang kepenulisan, bacaan yang bermutu, pertemanan yang menyenangkan, bertemu penulis terkenal atau sekedar mencari ketenangan setelah sepekan digagahi kepenatan pekerjaan. Ini hanya sebagian kecil manfaat yang aku sebutkan ada di Rumah Dunia. Dan manfaat yang terpenting aku menemukan sebuah kalimat sakti, begini bunyinya;

”Menjadi terkenal tidaklah penting, menjadi berguna jauh lebih penting“

Ya, menjadi berguna memang jauh lebih penting dari pada sekedar sebuah nama besar atau terkenal yang tak memberikan sumbangsih dalam kehidupan. Betapa kerdil pikiran jika kita hanya mementingkan popularitas, dikenal orang, banyak pengemar namun kosong manfaat yang telah diabdikan bagi masyarakat.
Kini rumah dunia kusetubuhi jiwa dan raga selama enambelas purnama. Aku telah memutuskan untuk tetap menjadikan tempat ini, komunitas ini sebagai sarana pengabdianku agar benar-benar berguna. Langsung diterima masyarakat, tanpa perantara ikut andil dalam sebuah perubahan generasi di tanah Banten ini. Atau kata seorang ustad sebagai ladang amal kelak di dunia sebelum aku bertemu rumah akheratku nanti, semoga sorga yang kudapat.

Berkegiatan di Rumah Dunia

Aku menikmati keberadaan Rumah Dunia sebagai wadah sosialisasi diri. Di pabrik tempat aku bekerja semua berjalan seperti robot, yang ada hanya ya atau tidak, tanpa reserve. Pada gilirannya kebosanan akan rutinitas membutuhkan tempat untuk bermuara. Sebagai manusia aku butuh sebuah penyaluran rasa kejenuhan tersebut dan Rumah Dunia adalah tempatnya. Aku bisa berekspresi sesuka hatiku, menumpahkan kejenuhan lewat tulisan, bekegiatan setiap akhir pekan baik di kelas menulis atau acara lain yang rumah dunia adakan.
Setelah kelas menulis angkatan ke usai, ada sebuah pertanyaan di hati. Akan kemana selajutnya kegiatanku di Rumah Dunia? Cukup sampai di sini saja atau akan mengukir sebuah cerita lain yang memberikan sebuah kemanfaatan. Aku memilih pilihan ke dua. Muncullah ide untuk membuat writing camp sebagai penutupan kelas menulis angkatan ke 5. Bertempat di Kemah Mobil Cotage, Carita para peserta writing camp menimba ilmu tentang kepenulisan. Bagaimana memvisualisasikan apa yang rasakan oleh panca indra untuk kemudian dituangkan dalam tulisan. Di malam harinya kita membakar jagung dan saling bercerita tentang pengalaman. Ada cerita bahagia dan tupahan air mata haru dari para peserta writing camp. Semua berjalan begitu menyenangkan.
Di Rumah Dunia aku menjadi pelayan. Membagi undangan, menyebar leaflet, memasang spanduk, mengakat-angkat kursi sebelum dan seusai sebuah kegiatan hingga menjadi nara sumber di siaran radio pernah aku lakukan untuk Rumah Dunia. Semua kulakukan tanpa dibayar dengan uang. Cukup Alloh saja yang nanti memberi ganjaran di hari akhir.
Gramedia Book Fair banten adalah salah satu acara yang pernah dipercayakan kepadaku untuk menjadi ketua pelaksana. Acara bertema Menuju Banten Membaca, Cerdas dan Kritis tersebut berlangsung dari tanggal 6 – 11 September 2005. Menjadi ketua pelaksana cukup menguras tenaga, pikiran dan banyak waktu yang harus kukorbankan. Dan itu adalah hal yang biasa menurutku. Tergantung bagaimana menikmatinya. Sebuah pencapaian tentu harus ada pengorbanan. Lalu tentu pembaca bertanya “apa pencapai yang penulis inginkan?”. Menemukan nilai kemanusiaan jawabku. Ya nilai kemausian sesungguhya. Bukan cuma slogan-slogan kosong. Lewat berbagai media yang tak pernah lelah mambual tentang perubahan. Semua begitu pandai main sulap dengan kata-kata tanpa tindakan nyata, semua itu omong kosong.
Sikap kritis terhadap persoalan adalah barang langka dalam kerangka pemikiran generasi muda bangsa ini. Dimana kita begitu dilenakan dengan kemajuan teknologi, sementara kenyataan disekitar kita banyak rakyat lapar, miskin ilmu, lemah dalam lembah kebodohan. Semua yang pernah berinteraksi dengan Rumah Dunia, baik relawan, siswa kelas menulis akan merakan bagaimana sikap kritis kita diasah. Kita bisa saling mengkritik tentang untuk perbaikan. Karena kritik yang membangun akan dapat melihat akar permasalahan yang ada dan akhirnya akan memberikan sebuah solusi bagaimana menyelesaikannya.
Ode Kampung sebuah acara temu sastrawan se-kampung nusantara digelar awal februari 2006. Acara ini menurutku lebih tepat disebut sebagai temu keprihatinan para sastrawan. Kampung sebagai tempat lahir, bermukim dan bertumbuh kini semakin terpinggirkan. Jalanan yang rusak, harga gabah yang rendah, sembako tak terbeli, lampu penerangan jalan yang jarang jika pun ada nyalanya byar pet, dan budaya baca yang kurang adalah sekelumit keprihatinan kita juga. Ode Kampung adalah refleksi diri agar kita bisa lebih kritis terhadap kampung kita sendiri.

Rumah Dunia akan Hancur

Pagi ini euphorbia di halaman depan rumahku berbungga. Pernah ada seorang teman yang menghakimi bahwa bunga delapan dewa ku itu akan mati membusuk karena sering tesiram air hujan. Tak pernah kusangka memang, aku akan melihat empat kelopak merahnya merkah diantar duri-duri sepanjang batangnya. Sungguh aku tak pernah menyangka.
Rumah Dunia saat ini seperti euphorbiaku, merekah dan banyak tangan yang ingin melihat, menyentuh dan menjamahnya. Mediasi yang dilakukan gencar selama empat tahun keberadaanya telah terlihat hasilnya. Ini adalah kerja keras dari hati yang paling ikhlas. Sebenar-benarnya keiklasan untuk perubahan dari jiwa-jiwa yang merindukan perubahan di tanah Banten. Pantaslah Alloh memberikan kemudahan jalan selama perjalanan setengah windu ini.
Rumah Dunia baru selesai mengadakan hajatan ulang tahun ke empat yang cukup sukses. Meski tanpa Gola Gong dan relawan yang terpecah konsentrasinya karena mengirimkan duta untuk mengikuti World Book Day di Istora. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Lalu sampailah pada suatu sore di akhir minggu sebelas bulan maret 2006. Rencananya hari ini para dewan penasehat Rumah Dunia dan para donatur tetap akan berkumpul untuk berdiskusi. Karena sesuatu yang tak kutahu sebabnya pertuan itu urung. Aku, para relawan dan anak kelas menulis angkatan 7 duduk melingkar. Kami berdiskusi. Mengasah daya kritis kita akan segala persoalan, berbagi unek-unek semua cair di sore itu.
Jika suatu ketika rumah dunia akan hancur, biarlah kehancuran itu terjadi. Karena setiap yang tercipta pasti akan menemukan tiada. Itu adalah kalam Alloh yang tak bisa dilawan. Namun seperti kata Toto ST Radik, biarlah kehancuran itu kita perlama kedatangannya. Teruslah berkarya, berkegiatan dan bersinergi dengan kehidupan. Jika pun harus hancur, paling tidak magnetik virus perubahan itu telah menjalar ke jiwa-jiwa manusia yang pernah datang ke Rumah Dunia.
Aku ingin terus melihat Rumah Dunia merekah seperti euphorbia di depan rumahku. Meski waktu kadang tak adil keberpihakannya pada keinginanku.

damarati
www.rumahdunia.net

Senin, Mei 01, 2006

BUTA


Serapah tiada guna
Jika hati telah buta
Umpatan seperti kembang gula
Di lidah manis terasa
Mungkin

Itulah kamu yang melihat dengan mata raga
Jelas kamu melihatnya
Sungguh tak perlu indra jiwa kau pahami

Tentang danau di tengah jalan
Tentang cadas yang merontokan kandungan
Tentang aneka bentuk lubang
Di sepanjang setapak marga menuju pulang
Ketika kerontang sudah penghujung uzur
Aku masih menunggu matamu terbuka

Mengharap melihat
Debu yang semakin akrab dengan hidung dan mata
Hingga langkah semakin berat
Karena rata tak kunjung tiba

Kepada kamu yang dulu pernah memberi aku janji
Kutagih suara lantangmu dulu
Sebelum kamu duduk di kursi itu
Secuil kenyataan tentang setapak yang tak kunjung datar

damarati
Cilegon, Maret 2006

TENTANG SEBUAH CERUK



Usah kau bangun mimpi
Di atas cerita indah
Permadani janji

Aku tak peduli lagi
Pada pagi menyapa
Atau siang menggelincirkan surya

Tentang semua itu
Aku sudah tahu
Apapun
Hingga ke sumsum

damaratiCilegon, Maret 2006

BUKU KEMATIANKU


Buku kematianku
Segera setelah pagi tiba kau menyapa
Menjuntai senyum simpul kepastian
Namun selalu kusambut pengingkaran

Mataku terpicing
segaris terang siluet
menuntun aku menemukan tanda
laron-laron bergelimpangan
disekitar lampu usang
seekor cicak gepeng
di ketiak pintu kamar mandi yang tergesa kubuka
rambut dan ketombe yang tanggal dari kulit kepala
ini adalah bahasa bijaksana
Buku kematianku

Selepas subuh sepenggal nama diumumkan telah berpulang
Sebuah kisah yang kudengar, perihnya laksana sayatan seribu pedang
Menyelami nurani
Aku menemukan tanya
Kapan buku kematianku dibuka?

damarati
Ciwaduk, Februari 2006

Kamis, April 27, 2006

TEMAN JIWA


untuk Khodijah

Seperti baru kemarin kita berpelukan
Dalam damai tak terkata
Menyatu tawa di taman rindu
Kita semai bersama

Tatap cakrawala
atas menara pemandu haluan
Hanya tuk mengungkap
Betapa gagu aku padamu
Tak setegas bagaskara itu

Semalam,
Seekor pari mengibaskan lecutnya
Membimbing aku menekan nomormu
Membangunkan jiwa dalam resah
Betapa gundah ini telah meluap
Mencuri ceruk untuk temukan muara

Ada doa tak terkata
Untukmu teman jiwa
Semoga tabah jalani kisahmu
Cukup disini saja (tanganku menunjuk dada)
kusimpan semua
Untukmu teman jiwaku

Cilegon, April 2006
damarati

PADA SESUNGGUHNYA

Kepada engkau yang menjauh
Tak tersentuh
Dalam mimpi atau rengkuh tubuh

Menutup, milihat gelap di balik
Kelopak mata sehabis menangis
Seusai terbang melintas di dunia
Dimana semua diam
Cuma desah terdengar
Entah iba, entah sesal

Kepada engkau yang menjauh
Tak tersentuh
Setelah berpeluh atau teriak mengaduh

Buta Cuma di mata lahir semata
Disingkap rimbun belukar cinta
Ada pesan setelah satu yang didamba tiada
Ketika relung hati bicara tentang kebenaran
Bukan nisbi, bukan mengagungkan diri
karena aku dan engkau pasti mati

Pada sesungguhnya
Hidup tak perlu disesali
Karena kita tak pernah memilih ini
sekedar dipaksa untuk menjalani

Cilegon, April, 2006
Damarati

Senin, April 24, 2006

kali ini yang terakhir

Sesepinya hati
tak sesepi malam ini
diantup tawon
pelipis sebelah kiri

Habis magrib
selepas berbuka puasa tadi

Ya sudahlah
rejekiku pada antupan tawon
masih untung jauh dari leher
Nyawa tak tinggal meleler

KETEMU

Aha.. aku seperti kembali dari perjalan buntu tak berujung.
Pass word blogger ku ketemu
Huah...