Rabu, April 13, 2005

PRAHARA DI BUKIT TIDAR (Reload)

Oleh: Damarati

Matahari mulai mengintip dari timur. Merayap naik di antara sela pertemuan lereng Merapi dan Merbabu. Cahayanya kuning keemasan. Menghangatkan pagi yang masih basah oleh embun semalam.
Slamet belum terbangun dari peraduan. Sinar matahari tanpa permisi masuk dari jendela kamar Slamet yang telah terbuka. Hangatnya membuat Slamet terjaga. Pertanda bagi dia untuk segera pergi ke ladang. Tanaman palawija dan umbi-umbian yang dia tanam telah menunggu tangan telatennya.
Sementara di dapur, Ratmi sudah bergelut dengan asap dan jelaga. Wanita itu menyiapkan sarapan dan bekal bagi Slamet ke ladang. Rutinitas ini sudah mulai akrab dia lakon sebagai wujud bakti seorang istri.
“Mas Slamet, ayo bangun” sembil mengoncangkan perlahan tubuh Slamet yang mulai terjaga. Nyawanya masih setengah memasuki raga.
“Jam piro saiki?” tanya Slamet.
“Wis awan, ayo adus terus age-age budal menyang kebon”
Tanpa menjawab Slamet beranjak pergi meninggalkan kamar. Beberapa saat kemudian dia telah selesai dengan aktifitas paginya. Kini dia siap membuka hari dengan kerja.
Lereng Tidar yang membentang dari selatan ke utara. Sebagian lereng masih ditumbuhi pohon pinus dan cemara gunung. Jika naik ke atas lagi ada hutan kecil. Tempat taruna AKABRI berlatih perang perangan. Sisi utara lereng Tidar menyimpan mitos tersendiri. Dua makam tanpa nama di batu nisan. Penduduk sekitar menamakan tempat itu Petirasan Kyai Sepanjang. Menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, di dalam makam tertanam pusaka peninggalan kerajaan Mataram. Karena mitos pulalah banyak yang mencari tuah dengan tirakat di tempat itu.
Sementara di bagian lereng Selatan terlihat area pertanian. Ada juga petak pemeliharan ikan mas dan nila. Tampak pula rumpun padi tertanam baik di sengkedan. Menghampar laksana anak tangga berlapis karpet hijau.
Di lahan yang tidak terlalu luas Slamet menanam harapannya. Palawija dan kacang kacangan tumbuh dengan subur sebagian dari mimpi itu yang mulai terwujud.
Bagi Slamet tanah ini adalah karunia. Begitulah Tuhan merahmatinya. Permohonan untuk menyewa tanah negara ini dikabulkan oleh Perhutani. Mungkin karena krisis ekonomi yang begitu menjerat rakyat hingga akhirnya pemerintah sedikit bijak. Lahan ini disewakan dengan sistem bagi hasil. Slamet sangat terbantu dengan kebijakan ini.
Meskipun pendidikannya tidak tinggi Slamet sangat teguh dalam memegang pendiriannya. Terutama soal pilihan hidupnya sebagai petani. Bertani adalah warisan dari ayah yang tetap dipertahankan. Sementara banyak saudaranya memilih merantau ke Jakarta, Slamet tetap memilih tinggal di Magelang. Untuk bertani, pilihannya pasti.
Hari ini suasana hati Slamet pun sedang cerah. Ratmi istri yang baru dinikahinya dua bulan yang lalu telah memberikan kebahagian yang belum pernah dia rasakan dalam hidupnya. Lukisan tentang keluarga behagia yang dia bayangkan selama ini telah tertoreh dalam masa bulan madu ini. Ratmi istri yang cantik. Alam Kopeng yang sejuk memberi rahmat bagi rupa Ratmi. Wajah elok tanpa poles make up. Kulit putih mulus. Tubuh sekel berisi membangkitkan imaji liar kala mata kaum Adam memandang. Pantaslah jika dia menjadi bunga desa di kampungnya.
Sebuah anugrah lagi bagi slamet karena berhasil menyunting Ratmi. Bagi Ratmi sendiri sebuah tanda tanya besar mengapa berkenan menerima Slamet yang sederhana. Mungkin inilah anehnya cinta. Bermain di hati, membutakan pertimbangan akal dan nurani. Mungkin karena hanya rasa dan naluri yang bermain di sini. Cinta tak perlu alasan.
Seperti biasa, hari ini slamet mengarap lahannya. Peluh telah menggenangi tubuh Slamet ketiak matahari telah sampai sepenggalah. Dia berhenti sejenak. Kemudian dia berteduh di gubug gribig untuk melepas lelah. Dibukanya bekal yang disiapkan oleh istrinya tercinta.
“Ah indah betul hari ini” gumamnya.
“Sebentar lagi panen tiba. Tingggal menhitung hari saja. Semoga semuanya lancar” sambungnya.
Meski hitungan pasaran wetonku dan Ratmi kurang bagus menurut betal jemur. Senen legi bertemu sabtu paing. Alamat kisruh ketika memulai usaha. Namun hamparan ladang ini menghanguskan semua ramalan itu. Semoga hitungan itu salah. Semoga.



Manusia diciptakan Tuhan beragam watak dan tabiat. Ada manusia berbudi luhur dan ada pula yang bermoral hancur. Seperti Pak Ramon, pengusaha mebel dari Bandung. Lelaki bermata biru. Diwarisi dari ayahnya yang Belanda. Ibunya orang Sunda. Wajah blasteran ini memang terbukti berhasil menaklukan banyak wanita. Dia beristri satu namun tak terhitung berapa gundik dan istri simpanannya. Bisa jadi hal ini yang membuat dia terlihat muda di usianya yang menginjak lima puluh lima.
Di dunia perkayuan dia terkenal handal dalam memainkan trik dan siasat bisnis. Mungkin lebih dekat dengan intrik dan licik. Prinsip hidup Pak Ramon adalah berusahalah menjadi pemenang, bagaimana pun caranya..
Usaha Pak Ramon bisa dibilang sukses. Dia telah memiliki beberapa toko mebel di berbagai kota. Otak bisnisnya tidak pernah mengenal kata cukup dalam melebarkan sayap usaha. Tidak jauh dari bisnis kayu tentunya. Saat ini bisnis kayu olahan mulai dia lirik. Prospeknya cukup cerah, terutama kayu olahan sengon dan albasia. Dia telah melihat bukti keberhasilan beberapa perusahaan Salatiga yang sukses di bidang ini. Ingin sekali dia mengeruk rupiah dari bongkahan log kayu.
Magelang, kota dingin yang menjanjian, pikir Pak Ramon. Bukit Tidar adalah target salah satu lokasi yang diincarnya sejak dulu. Bukit Tidar bukan hanya subur menjajikan. Lebih dari itu mimpinya untuk menggali harta terpendam di tanah itu akan segera menjadi kenyataan.
Pak Ramon sedang menikmati suara burung perkutut kesayangannya. Sambil duduk di kursi malas di teras rumahnya yang luas. Tentu saja luas sebab rumah tersebut terletak di kawasan elit perumahan Kyai Langgeng.
“Narto!” Panggil Pak Ramon pada centengnya.
“Dalem Ndoro” Bergegas sang centeng menghapiri seruan majikannya.
“Ah, kamu ini lama sekali dipanggil! Dari mana saja kamu?”
“Anu Ndoro, anu, saya baru selesai mengerjakan tugas yang Ndoro suruh”
“Tugas yang mana? Masalah tanah maksudmu?” Pak Ramon menebak
“Leres Ndoro” jawab Narto Mantap
“Berarti bulan depan akau sudah bisa mulai membangun. Betul?”
“Maaf Ndoro. Masih ada satu orang yang belum bersedia menyerahkan tanahnya. Padahal dia cuma menyewa dari perhutani”
“Cepat urus dia. Cuma cerurut kecil saja kamu kewalahan.” Pak Ramon kesal
”Saya akan segera kerjakan seperti perintah Ndoro. Saya beri dia pelajaran. Biar kapok dan bersedia menjual sawahnya ke Ndoro“
“Bagus, bagus, biar jera dia. Berani sekali cerurut itu melawanku. Urus cerurut itu agar bersedia melepas tanahnya“
“Punten Ndoro, kalau dia masih ngeyel”
“Goblok kamu! Berarti kamu tidak becus menjalankan perintahku. Kalo tidak bisa maen kasar kamu main halus. Mengerti kamu?” Masih tak hilang roman marah di wajah Pak Ramon.
“Halus gimana Ndoro?”
“Sekarang dengarkan aku baik-baik. Ini Rencana halusnya. Ganggu istri Slamet. Buat dia tidak nyaman. Umpan Slamet dengan wanita. Bikin goncang keluarganya. Biar dia tidak tenang tinggal di lereng Tidar. Paham?” Tanya Ramon meminta jawab
“Baik Ndoro”
Narto pergi meninggalkan rumah mewah itu. Hatinya geram. Gara-gara Slamet dia kena damprat Pak Ramon. Narto geram. Ingin sekali dai menghajar Slamet jika bertemu nanti. Tapi hatinya masih gamang. Bagaimana pun dia harus berperan perlahan lahan, dengan cara halus. Itu yang dipesankan Pan Ramon. Dia menyungging senyum licik. Nampak pikiran lacur telah bermain di otak kerdil Narto.

∂∂
Arus sungai Elo mengalir dengan deras. Airnya berkejaran menuju muara di laut Selatan. Gemaricik suara air bertabrakan dengan bebatuan menambah syahdu suasana kali Elo. Air Sungai Elo masih cukup jernih, maka pantaslah jika banyak penduduk sepanjang pinggir kali memanfaatkannya untuk mandi dan mencuci. Ada pula yang sedang memandikan kerbau. Suasana ramai biasanya dijumpai ketika pagi dan sore hari.
Sore itu Ratmi berjalan menuju sungai Elo untuk mandi. Dia menyusuri jalan setapak yang masih licin karena hujan siang tadi. Ratmi harus berhati hati-hati melangkahkan kakinya agar tak terpeleset jatuh ke bawah karena jalan setapak yang menurun cukup curam. Suasana sepanjang jalan sudah sepi karena hari menjelang malam. Azan magrib sebentar lagi berkumandang.
Ratmi tidak menyadari dirinya sedang diawasi. Sepasang mata jalang mengikuti setiap geraknya. Dari gelagat yang mencurigakan nampak niat yang tidak baik pada Ratmi. Kurang beberapa meter lagi Ratmi sampai di kali. Tiba-tiba sosok yang mengendap-endap muncul menghadang Ratmi.
”Mau kemana wong ayu?“ Lelaki berambut gondrong dan bergigi tongos itu genit menggoda Ratmi.
”Sopo kowe? aku ra kenal kowe“ tanya Ratmi marah.
”Walah, walah, ayu ayu kok galak tapi tambah ayu loh“ tangannya mulai nakal mencolek tubuh Ratmi.
”Hei jangan kurang ajar kamu“ sambil menampik tangan jail orang itu.
”Ayo sini sama mas, mas temenin sore-sore mandi, he..he..“kini tangan jail itu mencoba memegang tangan Ratmi.
“Lepaskan, lepaskan atau aku berteriak”
”Silahkan berteriak tidak akan ada yang dengar“
”Tolong... tolong... tolong...“ Ratmi berteriak sekuatnya. Histeris.
Suasana Suara teriakan Ratmi nyaring terdengar. Slamet yang kebetulan sedang berjalan pulang mendengar teriakan itu. Dia sangat mengenali suara itu. Suasana hatinya tidak menentu, antara khawatir, cemas dan geram. Itu suara isteriku Slamet menduga dalam hati. Slamet berlari secepatnya menuju asal suara. Betapa terkejut Slamet ternyata dugaannya bernar.
“Hei lepaskan istriku” bentak Slamet
Tanpa ba bi bu orang berambut gonrong dan bergigi tongos itu lari tunggang langgang. Seperti pencuri yang ketahuan. Slamet tidak mencoba mengejar, dia lebih mengkhawatirkan keselamatan istrinya.
“Ratmi, kowe ra po po toh?” tanya Slamet cemas.
“Ndak po po Mas Cuma kaget wae”
“Ya sudah syukur kalau begitu. Sekarang pulang saja ya?”
“Nanti dulu Mas aku kan belum mandi”
“Ooo gitu mas tunggu sampai kamu selesai mandi” sambil tersenyum Slamet mengawasi Ratmi yang sedang mandi. Suara azan berkumandang, waktu kembali berputar. Seperti tali alam bergelora kentara di tatap mata mereka. Slamet dan Ratmi.
∂∂∂
Siang yang garang membakar bumi. Suara buldoser dan eskalator terdengar lantang meratakan lahan Slamet. Narto dengan pongah mengomandoi proses penggusuran tersebut. Meski tanpa seizin Slamet penggusuran itu mesti dilakukan. Soal Slamet urusan belakangan. Hal terpenting sekarang adalah bagaimana pabrik Pak Ramon segera berdiri secepatnya. Narto tidak mau lagi keholangan muka di hadapan Pak Ramon.
Dari kejauhan seseorang berlari menghampiri lahan yang sedang diratakan itu. Dia berlari secepat-cepatnya menghampiri kumpulan orang yang sedang meratakan lahannya. Dari wajahnya nampak sekam yang sedang tertahan, tinggal tunggu dimuntahkan. Dia adalah Slamet sang pemilik lahan.
Seharusnya hari ini Slamet menuai hasil ladangnya. Tanamannya telah siap panen. Tinggal menhitung untung saja. Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan yang membelalak mata. Lahannya telah rata, hancur bersama harapannya yang terkubur.
Kenyataan itu membuat Slamet murka. Senuan ini karena ulah Narto. Dihunusnya sabit yang sedianya untuk menyiangi rumput. Setan rupanya telah bertengger di benak dan pikirannya. Dirinya telah dikuasai amarah. Membara seperti lahar. Siap membakar semua yang dilaluinya.
“Hei To!” matanya tajam menatap Narto.
“Sekarang baru kutahu biang keladinya itu kamu, jangkrik!”hujat slamet menusuk
“Terus sekarang apa maumu, hah..” Jawab Narto meremehkan
“Kurang ajar, jangan disangka aku takut sama kamu To!”
“Tak perduli kamu punya banyak tukang pukul. Kamu telah menginjak injak martabatku” tak dinyana sabit yang sedari tadi digenggamnya kini menayambar dan berkelebat cepat mengarah ke leher Narto.
Menghadapi serangan tiba-tiba itu secara reflek Narto menghindar. Dengan membungkukan badannya serangan itu dapat dilekan. Sebagai mantan bromocorah yang cukup disegani dia telah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
Sambil berkelit dia pegang tangan Slamet untuk kemudian mengunci pergelangannya hingga sabit yang dipegang Slamet lepas. Gerakan yang praktis.
“Celaka kamu met!” tanpa babibu lagi anak buah Narto langsung menyambut samsak hidup yang telah dilumpuhkan majikannya.
Habislah badan Slamet menjadi bulan bulanan anak buah Narto. Pukulan dan tendangan mengarah tubuh Slamet. Tangannya mencoba melindungi kepala agar tak terkena pukulan yang bertubi-tubi itu.
“Cukup!!” teriak Narto menhentikan pesta anak buahnya
“Jangan dihabisi sekarang, pak Ramon masih perlu tanda tanagannya” Perintah itu langsung dilaksakan.
“Bos bagaimana kalo dia lapor polisi?” Tanya salah seorang anak buah Narto yang berambut gondrong dan bergigi tongos.
“Tidak mungkin! Dia lapor polisi, istrinya kita habisin. Ha…ha…ha...” Narto puas. Kini tabiat buasnya telah terlampiaskan.
Narto dan anak buahnya berlalu meninggalkan Slamet yang terkulai tak berdaya. Mereka kembali meneruskan pekerjaan meratakan tanah yang terhenti karena insiden kecil tadi.
Sambil merintih kesakitan Slamet mencoba bangkit berdiri. Namun luka di tubuhnya terlalu parah. Wajahnya lebam. Pelipisnya bengkak. Dia memegang dadanya yang membiru. Bibirnya robek. Tampak cairan merah keluar dari hidungnya.
Terus mencoba dia bangkit. Mencoba berjalan meski terhuyung. Baru beberapa langkah dia berjalan, tubuhnya roboh. Pingsan.

∂∂∂∂
Slamet tersadar dari pingsan. Pandangannya masih kabur. Dimana aku sekarang, gumamnya dalam hati. Samar-samar dilihat seraut wajah. Wanita. Ya wajah itu sangat akrab dalam memori otaknya. Ratmi istrinya.
“Sudah sadar toh mas?” sapa Ratmi hangat.
“Iya tapi masih pusing kepalaku Rat” jawab Slamet sambil mencoba untuk duduk.
“Jangan banyak bergerak dulu Mas”
”Aku sudah baikan Rat, pegel semua badan kalau terus-terusan tidur“
”Hampir seharian mas pingsan, aku sangat khawatir, takut Mas kenapa-napa“
”Mas ngerti, mas minta kamu juga ngerti keadaan kita saat ini, tentang tanah kita“
”Aku ga mau Mas kenapa napa, kita relakan saja ya mas tanah kita buat Pak Ramon, aku sudah capek diteror terus Mas “
”Tidak Rat, bagaimana pun juga tanah itu akan mas pertahankan, ya sampai masa sewa nya selesai, mas mau pindah bila Pak Ramon secara baik-baik meminta tanah kita”
”Ingat Mas, tanah kita sudah digusur, sudah ancur”
”Mas mau ke rumah Pak Ramon sekarang“
”Eling Mas, sampeyan belum sehat betul“
”Rat mas pengin cepet tuntas masalah ini, mas sudah capet mikirnya“
”Kenapa tidak lapor polisi saja“
“Ah percuma, biar aku tangani sendiri saja, sekarang aku pergi dulu”
Marni menatap suaminya yang telah beranjak pergi. Tinggal sepotong galau yang masih menggantung di sudut hatinya yang rapuh. Ada rasa tidak enak, entah kenapa. Sebuah firasat burukakah. Tiba-tiba di bawah kakinya seekor kucing telah menggeserkan tubuhnya ke kaki Ratmi.
”Eh tobil, eh tobil” Marni keluar latahnya
Terbang semua kegalauan tinggal jikrak dan sapu yang melayang untuk mengusir kucing itu keluar rumahnya.
∂∂∂∂∂
Matahari telah di atas kepala. Slamet telah berdiri di rumah Pak Ramon yang megah. Nuansa angkuh teranpancar dari rumah itu. Makin lengkap sudah rasa tidak nyaman buat Slamet ketika dia mendapat penerimaan yang tak hangat. Hingga sempat pula dia bersitegang dengan penjaga rumah. Jawaban yang dia dapat dari penjaga bahwa pak Ramon sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu. Akhirnya dengan terpaksa Slamet menunggu.
Pagi hari sebelum dia mendatangi rumah pak Ramon dia lebih dulu datang ke lokasi pabrik. Namun karena tidak puas dengan jawaban satpam pabrik akhirnya dia memutuskan untuk datang langsung ke rumah pak Ramon. Harapannya dia bisa bertemu pak Ramon dan segera menyelesaikan kemelut yang terjadi.
Tiga jam sudah Slamet duduk di pos jaga rumah Pak Ramon. Kering sudah tenggorokannya. Jika tidak karena masalah tanah itu sudah dari tadi dia pergi meninggalkan rumah itu. Dalam benaknya dia bertanya, apakah benar sudah disampaikan kedatangannya pada Pak Ramon.
“Maaf ya Pak, sebenarnya Pak Ramon ada tidak?”
“Kamu tidak percaya ya sama saya?” mata penjaga itu melotot seperti mau keluar.
“Saya bukan tidak percaya sama bapak, tapi sudah tiga jam lebih disini saya mununggu, tapi Pak Ramon tidak juga keluar, sebenarnya dia ada atau tidak pak?”
“Saya tidak pernah menyuruk kamu menunggu disini, itu kan mau kamu sendiri, kalo tidak mau menunggu ya sudah silahkan pergi”
“Baik, saya pergi, sebab percuma saya menghadapi orang seperti kalian” tanpa pamit Slamet bergegas meninggalkan rumah itu.
Penjaga memandang kepergian Slamet dengan tatapan penuh amarah.
Slamet sampai di pusat kota, tepatnya di pasar Gotong Royong ketika hari menjelang senja. Dengan gundah dihati dia susuri pasar.
Gotong Royong sudah lenggang. Keramaian telah digantikan kesenyapan. Kontras suasana di kala pagi dan senja. Waktu mengalir tanpa kuasa dikekang lajunya. Pagi, siang hingga petang adalah perputaran yang semestinya. Masa sujud pada kehendak Sang Kuasa.
Para pedagang telah mengemasi barang-barangnya, hanya tinggal satu dua penjual minuman masih menggelar dagangannya. Pembeli pun sudah mulai jarang. Tukang becak dan tukang ojek masih setia berharap menunggu rejeki yang datang menghampiri. Buruh panggul beristirahat melepas penat di depan kios yang telah ditutup pemiliknya. Memberi kesempatan pada tubuh untuk kembali dapatkan kesegaran yang telah tersita karena peluh telah tertumpah memandikan tubuh.
Memang masih ada satu dua pedangang yang masih mengais rejeki di senja yang telah sepi ini. Mereka adalah pedagang makanan dan minuman. Ada yang benar-benar berdagang makanan dan minuman, ada pula yang punya profesi sambilan. Melayani pembeli sekaligus menawarkan jasa kencan.
Salah satu penjual minuman yang berprofesi ganda tersebut adalah Saritem. Wanita berpakaian menantang setiap pandang mata lelaki yang memandang. Sesekali dia memanggil orang yang lewat di depan warungnya dengan kemayu. Mungkin lebih tepatnya menggoda dengan lirikan mata nakal. Mudah ditebak bahwa dia bukan wanita baik-baik.
“Monggo mampir Mas” sapa genit Saritem dengan kerlingan mata.
Lelaki muda itu tak acuh menanggapi penjual yang genit itu. Namun rasa lapar mengundang hasratnya untuk sekedar singgah. Sedari pagi perutnya belum diisi. Perjalanan yang jauh, cukup melelahkan membuat aku Slamet ingin beristirahat.
Slamet tidak tahu ada bahaya yang sedang mengincar. Dibalik keramahan saritem yang manis tersimpan bisa ular nan bengis. Saritem memberi pelayanan yang ekstra daripada pembeli lainnya. Warung sudah sepi, tinggal dia berdua dengan Slamet.
Tanpa sepengetahuan Slamet, Saritem menyimpan niat jahat untuk mencelakakan Slamet. Makanan dan minuman yang diberikan kepada Slamet telah dibubuhi racun. Meski tidak mematikan namun bisa membuat hialnag kesadaran.
Slamet makan dengan lahap. Namaun selang beberapa suap makanan masuk ke dalam mulutnya kepalanya mendadak pusing. Matanya berkunang kunang dan dalam hitungan detik tubuhnya jatuh tertelungkup di atas meja makan. Dia cuma bisa bergumama dan mendesis pelan.
“Kamu meracuniku.. eghh.. eggh”
“Kamu cuma korban Slamet”
Saritem melihat keadaan sekitar dengan waspada. Setelah dirasa cukup aman dipapah tubuh Slamet berjalan ke bagian belakang biliknya. Kemudian dia menutup warung agar tidak ada orang yang mengetahui rencan jahat yang dilakukan.
Dibaringkan tubuh itu di amben. Ditatapnya tubuh yang lemah tak berdaya.
”Huh.. sukses juga akhirnya rencanaku. Tinggal tunggu kang Narto. Semuanya beres.“ bibirnya menyunggingkan senyum sinis menyimpan dendam.
Pintu belakang warung Saritem diketuk orang. Saritem segera bergegas menuju pintu. Dia ragu untuk segera membuka pintu itu. Sejenak dia berdiri termangu untuk memastikan siapa gerangan di balik pintu.
”Yu, buka pintu yu..., cepat buka yu” suara berat laki laki memanggil di luar.
“Kang Narto ya?” Saritem langgsung menebak oorang dibalik pintu tersebut.
“Ya, cepet buka”
Narto masuk lewat pintu belakang. Mungkin agar lebih aman dan tidak terlihat kehadirannya oleh orang lain. Suasana petang yang mulai remang membuat Narto lebih nyaman menyembunyikan jati dirinya.
“Sudah beres toh semua toh yu?”
“Lihat sendiri kang siapa yang di dipan itu”
Senyum puas merekah dari bibir Narto yang hitam karena rokok.
“Tinggal selangkah lagi rencana kita sukses, yu. Roh adikmu akan segera tenang karena dendamnya akan segera terbalaskan” mata Narto menatap genit ke arah Saritem.
“Iya kang” sambil meraih tangan Narto untuk dibimbingnya masuk ke kamar. Entah apa nanti yang akan terjadi. Namun jika dua insan berlainan jenis telah terjerat oleh tali setan hanya buah dosa yang akan dipetik kemudian.
∂∂∂∂∂∂
Ratmi gundah menunggu suaminya datang. Sudah satu hari Slamet tidak pulang ke rumah. Mondar mandir dia di depan pintu. Banyak tak enak berkecamuk dalam benaknya. Ada kekhawatiran yang sangat akan keselamatan suaminya. Tiba tiba pintu diketuk membuyarkan kegundahannya.
Ratmi segera membuka pintu. Semoga tamu itu suaminya. sudah meluap rasa kangen. Tapi tak seperti biasanya, suaminya selalu mengucapkan salam sebelum masuk ke rumah.
“Pak RT” agak terkejut aku melihat lelaki ini di depan pintu.
“Ada berita kurang menyenangkan tentang suamimu Ratmi” sambil tangannya menyerahkan koran daerah edisi hari ini.
Magelang- Ramon Ramosta, warga Perumahan Taman Kyai Langgeng, Kota Magelang ditemukan tewas dengan tubuh tergantung diatap kamarnya, Selasa (22/3) sekitar pukul 16.00. Ironisnya kejadian ini baru dilporkan ke polisi pukul 20.00.
Dugaan sementara korban tewas karena dibunuh akibat sengketa tanah. Tersangaka utama dalam kasus ini adalah Sl (28), warga lereng tidar. Informasi yang diterima Suara Merdeka dari Narto, penjaga rumah Ramon, Sl telah lama berselisih dengan Ramon karena sengketa tanah....
Ratmi terduduk lemas di kursi. Dari matanya mengalir air menganak sungai. Bayangan kekhawatiran yang selama ini ada dalam pikiranya telah menjelma menjadi nyata. Entah bagaimana lagi kisah ini dibentangkan. Cukup doa yang dia panjatkan kepada yang kuasa. Semoga dia bisa tabah menghadapi ujian ini.

*******
damarati, awal Maret – tengah Juni 2005

Selasa, April 05, 2005

Seseorang Dari Masa Lalu

Seseorang dari masa lalu datang lagi. Dia seperti menawarkan harapanbuatku. Semoga anggapanku salah tentang ini. Sungguh aku ingin setiapada satu jiwa yang telah membumikan hatiku karena Nya. Ketika merahjambu yang telah redup kembali dibuatnya merona. Sanggupkah akau menolakpesonanya. Dan ketita kesempatan itu tiba hari ini, masih kuasa akumenolak. Dengan halus. Aku tetap tulus. Menempatkan sewajarnyakeberadaan kepentingan dan keinginan. Selalu berharap agar bisa adasetia meski seadanya.Adalah sebuah pembelajaran diri tentang berbuat tuk saling menghargai.Pada batas pengawasan yang begitu longgar. Atau sama sekali tanpa. Mamputidaknya diri berbuat terbaik. Karena keprcayaan adalah sebuahpenghargaan peda si pemberi. Menghianatinya berarti merusak keindahan,membakar kedamaian. Dan jangan pernah berharap banyak akan kembalinyakercayaan itu. Kebanyakan musnah menjadi abu, atau tetap ada meski arang saja.

damaratiNasihat buat diri sendiri