Senin, Oktober 23, 2006

LEBARAN dan PEMBEBASAN DIRI

30 Ramadhan 1427 H, tahun ini aku tak berlebaran di Tegal Waktu aku habiskan di tanah rantau Cilegon, Banten. Aku tak pulang ke Tegal bukan berarti aku telah lupa tanah leluhur, tanah dimana aku dilahirkan, cerita masa kecil diukir (yang senang dirasa yang sedih diterima) alasan itu sama sekali bukan menjadi pembenaran untuk tidak berlebaran bersama keluarga besar di Tegal. Semuanya semata-mata karena ada keinginan yang kuat untuk mencoba suasana lebaran baru di tanah orang. Menikmati nuansa yang hanya setahun sekali ada, dengan segala kelebihan, keterbatasan dan kekurangannya. Di samping itu aku ada rencana untuk mendatangi walimatul ursyi teman jiwaku di tanah Sri Wijaya, Andalas. Alasan lainnya, ada ketidaknyamanan jika aku memaksakan pulang sementara bunda bersikeras tetap berlebaran di Cilegon.
Lebaran dari tahun ke tahun semakin menunjukan bergesernya nilai makna yang aku rasakan berbeda. Sepertinya tiap tahun ada yang berkurang, greget semakin hilang. Dahulu saat masih anak-anak, lebaran menjadi waktu yang dinanti. Ada banyak makanan, kue-kue, angpao dari kerabat. Baju baru, minimal dua stel sudah bunda sedikan untuk kami. Manis sangat masa itu. Saudara dari luar kota berdatangan. Kebetulan kakek dan nenek adalah anak tertua dari mbah buyut, sehingga saudara yang lebih mudalah yang datang ke Tegal. Berkumpul dalam kehangatan membangun silaturahmi.
Selepas sholat ied biasanya aku tak langsung pulang ke rumah. Om Afie, adik lelaki ibu, mengajak aku untuk berziarah ke makam mbak buyut dan kerabat yang sudah mendahului berpulang ke Rahmatulloh. Hanya setahun sekali aku mendatangi pemakaman, saat Idul Fitri itu saja. Biasanya saat lebaran pemakaman menjadi ramai, banyak keluarga yang berziarah. Ada semacam kerinduan yang dibagi di waktu itu. Seakan ingatan dibangkitkan, tentang saudara telah berpulang, tak hadir lagi berlebaran bersama lagi.
Sekarang hari terakhir Ramadhan (menurut keyakinanku, karena adikku dan sebagian saudara muslimku sudah mengakhiri puasa dan berlebaran hari ini, ada perbedaan penentuan 1 Syawal antara pemerintah dan Muhammadiyah). Lebaran menjadi tak menarik lagi bagiku. Hanya untuk menetukan tanggal saja masihkah tak didapat kemufakatan. Ilmu dan pengetahuan yang selangit sepertinya sudah membuat hati semakin tinggi. Semua ingin diakui bahwa pendapatnya adalah benar. Jika memang semuanya benar, mengapa tidak diambil mufakat saja. Bukankah indah jika kebersamaan itu dijaga. Mungkin akan ada kompromi-kompromi, tapi anggaplah itu sebagai sebuah pengorbanan dan jalan untuk mencapai kebaikan yang lebih besar. Aku melihat sebagai orang yang awam agama, hal ini akan meningkatkan pencitraan kita sebagai Muslim. Mungkin.
Sengaja aku tak membeli baju baru tahun ini. Sudah sesak isi lemari pakaianku. Ada pemahaman baru bahwa lebaran tak mesti harus berpakaian baru. Menengok sebulan sebelumnya saat Ramadhan bukankah kesederhanaan yang seharusnya dikedepankan saat menyambut hari yang suci & fitri ini. Mencari nilai ketakwaan. Sebagian dari kita mungkin sudah lupa akan esensi sesungguhnya tentang tujuan puasa Ramadhan. Semua cenderung tersedot dalam ritual-ritual seremonial belaka. Kebutuhan penyucian jiwa telah terkotori dengan pesona ibadah berbau pesta. Buka puasa bersama seperti mengumbar liarnya nafsu perut, qiyamul lail dibalut nuansa pesta, Nuzulul Qurán mengalir dengan warna warni pesta tanpa esensi makna. Bahkan hingga lebaran nanti pesta belum berhenti, Halalbihalal menggenapkan pongahnya ritual berbingkai pesta pora. Aku ingin terbebas dari semua, bukankah ada yang lebih berguna untuk dibelanjakan selain menambah jumlah koleksi baju, membesarkan lambung, menari di bawah gemerlap lampu dan aneka seremoni itu. Ada tangan yang lebih punya hak atas harta itu.
Sepertinya diri belum terbebas dari tuhan-tuhan selain Dia. Ada tujuan lain yang tak kasat mata, melintas dalam hati dan seperti kerbau ditusuk hidungnya kita manut mengikuti. Nafsu kambing hitam yang jadi alasan semua yang dilakukan, padahal kita punya kendali untuk semua itu.
Sejenak aku menarik nafas panjang. Ingatan terbentang akan banyak kejadian tahun ini. Pribadi, keluarga, pekerjaan, komunitas dan bermasyarakat. Mencoba lewat tulisan ini aku mengorek diri sendiri. Apakah aku sudah memperoleh kemenangan Ramadhan sesungguhnya. Atau hanya penggemira dan sedang kebingungan menemukan keberadaan Alloh. Apakah aku sudah mengikuti Ibrahim ketika mencari tuhan. Kepada bintang, bulan dan matahari dia gantungkan keyakinan bahwa itulah tuhan. Semua bertepuk sebelah tangan, semuanya bisa hilang dan musnah digilas bergantinya waktu.
Di saat itulah Alloh menunjukan bahwa dialah sebenar-benarnya pencipta, “Kamu jangan menyembah matahari ataupu rembulan itu, tapi sembahlah Dia yang telah menciptakanmu.” (Q.S. Al-Fushilat ayat 37)
Sembari terpekur dalam renungan pencarian, masih aku mengharap dengan sangat agar dapat mengejawantahkan doa minimal lima kali sehari aku baca: “bahwasannya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Alloh, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya…” (Q.S. Al-Anám: 162-163)
Inilah sejatinya pembebasan diri sejati dari tuhan-tuhan palsu, pegangan diri dari liarnya rontaan nafsu. Ya Alloh pertemukan aku dengan Ramadhan tahun depan dalam iman, keyakinan dan diri yang telah telah mengenal utuh sejatinya diri-Mu.

DALAM GENANGAN NANAH

Secuil itu ada berkah melimpah
Menjadi bagian tak pernah kumengerti
Liar putarannya
Menyergap membuat tergagap
Memaling syukur dari amal terukur

Sebilah belati hujam menyanyikan nyeri
Sudah kulupa rasa sakit
walau koreng menggenangkan darah
setinggi lutut sebau busuk
Mimpiku hanyut, larut
tenggelam dalam genangan nanah

Temaram kembali direnda waktu
Penghianat sudah bebas menyanyikan madah
terdengar sendawa ganjil di penghujung sana
Entah bungah entah gundah
Yang pasti kutahu kini cuma resah

MELIHAT DIRI

Melihat diri
dari ujung rambut sampai kaki
menangkap isyarat
bahwa aku mati suri

Dalam seluruh sadar
Aku menyemai dosa
ditabur seringai iblis
manis, nikmat, menjuntai sungut
melepas antup
Redup lentera iman ditinggal
masa lalu kian menjauh

Menutup mata sembari melantun doa
Puja puji atas luka dan suka
jarak mati sedekat nadi
menjadi penanda ada saat berhenti