Kamis, Juni 23, 2005

DUA RATUS RIBU

Oleh: Dinda Damarati

Tanggal dua puluh lima aku gajian. Setelah melewati sebulan masa penantian menjual tenaga di perusahaan ini. Sebagai seorang buruh kelas rendah menunggu tibanya tanggal dua puluh lima adalah masa penantian yang sangat berat. Karena gaji sebulan tak pernah cukup untuk menutup kebutuhan selama sebulan ke depan. Dipaksa dengan berhemat pun tak pernah pas menutup cukup menutup. Bahkan kadang jika ada kebutuhab mendadak semisal anak sakit, tak sampai satu minggu gaji sebulan tak bersisa. Terpaksa aku berhutang.
Sudah beberapa lubang hutang kubuat agar sampai menghidupi istri dan ketiga anakku hingga akhir bulan. Entah bagaimana nanti aku menutupnya. Yang jelas bagiku kebutuhan keluarga harus kupenuhi. Mereka adalah pengobar semangat hidup. Karena merekalah kuterima keberadaanku sampai sampai detik ini. Seorang buruh kasar.
Selepas bel pulang berbunyi, uang gajian dibagi. Di loket bagian administrasi para karyawan mengantri. Satu per satu karyawan menanti gilirannya maju ke depan loket. Walau tak rapi namun seperti ada kesepakatan untuk tidak saling dorong dan mendahului.
Loket berpembatas kaca itu tidak terlalu besar, kira-kira seukuran loket bioskop. Cuma ada lubang kecil yang menghubungkan antara kasir dan para karyawan. Dari balik kaca loket, kasir membagi hak karyawan bulan ini. Dan kini tiba giliranku menerima gaji.
“Pak Aksan?” kasir bertanya.
“Saya Bu”
“Ini gaji Bapak bulan ini, yang ini struk perhitungannya” Kasir menerangkan sambil menyerahkan amaplop dan selembar kecil kertas.
“Terima kasih Bu” Jawabku dengan mata berbinar, tanpa membaca stuk yang kuterima dan langsung kubuang. Apalah artinya kertas itu kubaca bila tak menambah nilai isi amplop yang kuterima.
Aku segera pulang karena ingin segera bertemu ketiga orang anak istriku. Kukayuh sepeda sepenuh semangat. Berharap cepat tiba di humaku. Ingin segera ketemui anak dan istriku untuk membagi sedikit kebahagiaan. Mengubur gundah yang menggantung di hati dengan uang gajian yang kupegang kini.
***
Malam ini setidaknya bisa teredam daftar tuntutan yang menggunung selama sebulan. Uang belanja yang tak cukup, listrik dan SPP si sulung yang telah menunggak sebulan lamanya, lubang hutang di warung sebelah yang membuatku tak nyenyak tidur, susu si bungsu yang tinggal satu seduhan dan badan anak keduaku yang panas semalam adalah tambahan tuntutan yang harus kutaklukan dengan uang di tangan ku kini.
“Ayah pulang, Ayah pulang” si bungsu berhambur menyambutku ketika aku sampai di rumah.
“Ayah, mana oleh-oleh buat adek?” tanya gadis keciku
“Iya, ayah bawa”
“Mana ayah? cepetan” rengek gadis kecilku tak sabar.
“Nanti di dalam ya”
Istriku telah menunggu di balik pintu. Dengan senyumnya yang teduh dan meneduhkan dia menyambutku. Seperti oase, menyejukan kala kerontang meradang.
Kuhempaskan tubuhku di kursi tamu yang telah mulai robek dan terkelupas di sana-sini. Kuberikan jeruk pesenan si bungsu. Aku puasa merokok hari ini, uangnya kubelikan jeruk itu.
”Capek Mas?“ sambil membawakan tas dan sepatu yanng telah kulepaskan.
”Lumayan dek, ya namanya kerja, mana ada yang ngak capek“ kulempar senyum termanis untuknya, kemudian kuminum seteguk teh pahit hangat yang telah dia sediakan untukku. Cukuplah untuk melepas dahagaku sesaat.
”Mas hari ini gajian kan?“
”Iya, Dek ini dibuka amplopnya?“
Kuserahkan amplop coklat masih bersegel itu pada istriku. Dirobek ujungnya. Dikeluarkan beberapa lembar uang dari dalam amplop tersebut. Lembar demi lembar dia hitung. Tiba di lembar terakhir, istriku tampat kurang yakin. Untuk menggenapkan keyakinannya dihitung ulang jumlah uang dalam amplop itu.
”Bulan ini mas pernah lembur ya?“
”Tidak tuh dek, memang kenapa?”
“Jumlah gajimu lebih dua ratus ribu dari biasanaya lho”
Aku ambil uang tersebut, kuhitung ulang dan memang benar jumlahnya lebih dua ratus ribu. Kucoba ingat darimana kelebihan itu. Bulan ini aku tidak pernah lembur, dalam hitunganku seharusnya gajiku pas, tidak lebih.
Aku tak tahu mesti bagaimana merasa senang atau gamang karena kelebihan gaji ini. Bagaimana tidak senang, uang dua ratus ribu bisa untuk menutup hutangku, menggores senyum di wajah si sulung karena tagihan SPP nya telah kulunasi. Alangkah senangnya.
Namun hati kecilku tak bisa kubohongi untuk sembunyikan rasa gamang dan tak tenang. Uang ini tidak jelas asal usulnya. Subhat kata pak ustad. Aku tak mau keluargaku makan barang yang tak jelas asalnya. Tidak berkah nantinya.
Kupandang wajah istriku. Seakan meminta pendapat, akan diapakan uang ini.
”Dek, bagaimana ini?“
”Ya dipakai mas, kebutuhan kita kan banyak, ini namanya rejeki“ jawab istriku pasti.
”Tapi mas merasa ngak tenang memakai uang yang tidak jelas ini“ aku mencoba membagi kegelisahanku.
”Coba Mas ingat-ingat lagi, mas pernah lembur tidak bulan ini“
”Kamu kan tahu, bulan ini mas selalu pulang tepat waktu karena orderan di pabrik lagi sepi, Mas ndak pernah lembur”
“Iya betul juga, terus rencana mas apa?”
“Duit ini dikembalikan”
“Jangan dikembalikan dulu sih Mas, kita pakai dulu, sekarang kita lagi butuh banyak uang” isriku merajuk.
“Tidak Dek, akan mas kembalikan uang ini, sebelumnya mas cari tahu dulu asal usulnya, siapa tahu ini kesalahan kasir, kasihan kan dia harus mengganti uang ini” jawabku tegas.
Istriku hanya diam lalu masuk kamar. Sepertinya dia marah. Ah wanita selalu disesak oleh perasaannya. Aku hanya bisa bersabar. Paling-paling nanti malam dia sudah minta baikan.
****
Siang seperti biasa selalu garang. Membakar bumi dengan panas yang memberkati. Menebar semangat kerja supaya manusia tak lupa akan fitrahnya. Khalifah di muka bumi.
Aku larut dalam debur peluh yang bukan lagi menganak sungai tapi telah menjadi selaksa samudra. Kubawa nikmatnya dalam setiap niat dan gerakku untuk bekerja.
Senin selalu menjadi hari tersibuk buatku. Apalagi hari senin di awal bulan. Ada saja mesin harus overhould setiap akhir bulan. Inilah rutinitas.
“Apa kabar Pak Aksan?” suara bariton terdengar akrab di belakangku.
Aku hentikan sejenak pekerjaanku. Kumenoleh ke belakang. Ah, menager safety rupanya.
“Alhamdulillah baik Pak, ada apa ya Pak? Ada yang salah dangan perlengkapan yang saya pakai?” tanyaku was-was.
Pria setengah baya ini tiba-tiba menyodorkan tangannya memintaku untuk bersalaman.
“Selamat Pak Aksan, saran anda Quesioner Safety Improvement tentang pemasangan tanda bahaya kebakaaran telah saya terima dan akan segera direalisasikan, semoga Pak Aksan sudah menerima hadiahnya bersama gajian bulan ini”
Aku terdiam. Mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Beberapa detik kemudian aku tersadar kakiku masih menginjak tanah. Seperti sebuah pencerahan, bianglala di siang yang garang.

*Untuk Mas Budi, sabar ya, kita belajar nrimo ing pandum*


Overhould: turun mesin, perbaikan total sebuah instalasi mesin
Safety: Keselamatan kerja
Quesioner Safety Improvement: Pooling saran untuk peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja

KOMEDI KEHIDUPAN


Lucu bila ku ingat jalan hidupku
Turun naik bak roda pedati
Mundur maju seperti torak mesin dua tak

Senang, bahagia, airmata
Cuma rona-rona
bak jerawat ketika masa kanak tlah lewat

Kusalahkan nasib bila tak mujur
kubenarkan langkah kala ku senang sekujur

TANAH YANG MERADANG

Tanah yang meradang
Hampar mata ku pandang hanya gersang
Tak pernah mengerti apa
tingkap masa selalu menyisakan dusta

Ada harap yang tak pernah tertangkap
di liang gendang telinga,
atau sedikit ngiang di relung jiwa
Sekap sebisa mungkin kau dekap

Hai para jiwa yang kan bergelut dalam kancah
Pegang kuasa warisan sultan tlah kehilangan trah
Terus bisakah kau lurus
Kembara mimpi negeri tak terurus

Retak, pecah, liang ranah
Meretas higga getas sampai kutemukan pantas
Di Sudut waktu kan kah terejawantah
mengerut sunggut menggigil lutut
Jadi patut

Cukuplah DIA Cintaku

-buat dinda

Berharap utuh dari mahluk
Adalah salah bila ku angap bahagia
kan ku reguk

Berharap cinta pada mahluk
mengantang asap mengukir langit
di sudut hati terpuruk

Dia telah menitipkan malaikat di kedua bahu
mambawa terbang dalam lautan penyatuan insan pada Khaliknya
Bebas dari kepentingan, keberpihakan, nafsu dan keinginan memiliki

Namun tiada pernah kita rasa
Padahal jika berjujur diri
lebih dekat bahasa Dia dibanding urat nadi

Hanya sedikit ku dapat
bila pada mahluk ku berharap

Cukuplah Dia cintaku
Cukuplah Dia cintaku
Cukuplah Dia cintaku

2005-05-23, damaratimeja kerja, setelah sukses hubungi dia

SEPI


Selisik angin delik hati
aura terwakili kesenyapam diri
kosong... Hampa...
dalam desah tak terkata

Episode tertunda
terkapar luka
daya tlah lama dirampas
bekas tinggal seutas

Persinggahan seperti istana pasir
indah dipandang ringkih dipegang

Interlude samar buatku takut
gamang dalam kalut


damarati, Mei 2005 Antara Rumah Dunia dan rumahku

MEMBACA MIMPI


Kegetiran menggelora
Rapuh ku punya sukma
Akal menggerang dalam paham ku dangkal

Penat berkuasa
Ragaku alpa

Malam aku terkekang
Dibawa arus jeram bawah sadar
Tamsil apa ini?
jauh terang dari lubuk kelam
Tersesat masuk pusaran
Geblek!!!

damarati, Mei 2005

Selasa, Juni 21, 2005

MERENTAS MIMPI

Sebuah jalan kini dilalui
Kanan kirinya
Tumbuh pohon ilmu pengetahuan, cinta
dan penghargaan pada sesama
Rimbun oleh ide, ejawantah karya
Hijau segar mewarna masa perlintasan
Kita kini tlah sampai di ujung jalan
Lima purnama berbilang
Kini waktunya untuk mengucap salam
Mungkin perpisahan, ode selamat tinggal
Hanya segelintir tersisa
Dari segumpal benih ingin dilatih
Dikayak waktu
Alam memilih kehendaknya
merentas mimpi nyata adanya
Benih kebajikan=20
Mulai semi tunasnya
Hanya dan hanya
Kerja keras dan kesabaran
Nanti kan lihat hasil nyata
Sungguh dan hanya sungguh
Seluruh rasa syukur
Akan luruh bersama hati kami yang tulus
Padamu Robbi yang mempertemukan jiwa-jiwa kami
Dalam ikatan Rumah Dunia ini

dari damarati, tulus dari hati
Meja kerja, 8:29 AM