Senin, Februari 28, 2005

TOPENG, SEBUAH SIMBOL DENGAN DUA MAKNA

Mengunjungi Rumah Dunia kita akan merasa seperti berada di tempat penuh simbol. Kita suguhi berbagai macam benda dan ornamen yang tergantung di tiap ruangan. Lukisan karya anak-anak, caping, jaring ikan, centong nasi, topeng sampai sapu lidi pun tergantun . Apa maksudnya? Hanya Gola Gong, sang penguasa Pustaloka Rumah Dunia yang tahu maknanya.
Lewat tulisan ini saya ingin menelusuri dan sedikit mengupas tentang makna topeng yang terpasang di pintu masuk kiri Kedai Jawara. Ada hal yang menggelitik dan mengusik saya untuk menulis idiom topeng dalam tulisan ini. Mengapa topeng yang dipasang di pintu. Apakah ini sebuah simbol pesan yang ingi disampaikan oleh Gola Gong. Mencoba menerka tentu bukan hal yang salah tentunya.
Dalam kesustraan Cirebon menurut Jacob Sumardjo dalam buku Filosofi Topeng Cirebon, topeng adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.
Dalam makna keseharian topeng bisa diartikan diri yang ingin memperoleh citra lain atas dirinnya sendiri. Pencitraan yang dibuat biasanya mengunggulkan diri sendiri dihadapan publik. Baik yang terang terang-terangan maupun secara tersembunyi. Ada yang ingin dianggap sebagai ulama bertopenglah dia seperti ulama dengan kopiah dan jumbah religius serta sabda-sabda Tuhan yang diri sendiri belum tentu melaksanakan. Atau mereka yang ingin dinggap sebagai penderma menyumbang dengan pamrih tersirat dari setiap rupiah yang diberikan. Makin besar rupiah yang diberi ada hasrat untuk memiliki sesuatu ytang lebih besar pula.
Tinggal sekarang makna topeng mana yang akan kita pilih. Mencari simbol penciptaan itu sendiri atau untuk menutupi keburukan diri.(damarati)

K3N

Aku kenal dia lima tahun yang lalu, saat pengembaraan mencari jati diri yang tak kutemui di tanah kelahiranku. Kakekku yang mengenalkan keluarganya padaku, bahwasannya antara kami bersaudara. Perpisahan antara kedua orang tua ku membuat aku tak mengenal keluarga dari bapakku.

Sebenarnya keluarga dari bapakku memiliki sisilah trah yang panjang. Pernah kulihat buku trah yang sempat disusun salah seorang anggota keluargaku yang di Magelang, dan nama keluargaku tak tak tercantum di dalamnya). Kehilangan jejak dalam sejarah keluarga.

Ada bias kebebasan saat pertama kali melihatnya dengan kesan tomboi yang tersirat dari caranya berjalan, berpakaian dan berbicara meski masih tertutupi oleh bahasa jawanya yang lemah lembut khas wong wetan.
Pertemuan pertama hanya kesan itu yang kudapat, selebihnya hanya lupa yang tersisa dalam ingatan. Namun takdir mempertemukan kita lagi. Dua tahun berikutnya aku berjumpa dengan dia yang penuh antusias bertanya tentang agama dan hubungan dengan lawan jenis, entah itu perkawanan atau hal lainyang lebih pribadi. Semua dia tanyakan dengan terbuka tanpa kau tutupi, seakan ada kepercayaan bahwa aku bisa menjawabnya. Kucoba tanggapi semua pertanyaannya dengan sabar dan kujawab dengan hati-hati. Aku tahu dia masih hanif dan ingin memperbaiki diri namun masih ragu untuk tentukan pilihan. Aku hanya tahu kulit agama, salah menjawab fatal akibatnya. Tapi setidaknya ada ilmu yang tersampaikan. Bukankah ilmu agama adalah hak mereka yang tak tahu. Sampaikanlah meski hanya satu ayat. Saat itu k3n (katrin = ketika kutemukan keindahan namamu) sudah di semester tiga, sedang aku baru masuk salah satu pendidikan kejuruan lanjutan.

Dan hari ini kuterima sepucuk surat darimu. Kau bercerita banyak lewat tiap kata yang kau tulis. Ingin bebagi kebahagian katamu. Berbagi kebahagiaan? batinku bertanya gerangan rasa apakah yang sudi seorang dara bagikan bersamaku yang saat ini masih mengais arti bahagia itu sendiri.
Masalah busana muslimah. Agak surpraise juga aku mendengarnya. Katrin dah dapet hidayah, aku bersyukur atas kabar tersdebut. Sisi batin kecilku yang lain berteriak halus. Ah... ini cuma sensasi saja, mungkin dengan itu dia bisa mendapat banyak manfaat. Publikasi gratis karena teman-temannya banyak bergunjing tentangnya atau ada mahluk yan namanya lelaki ...(orang pengajian biasa memanggil ikhwan) yang ingin digaetnya. Bisa jadi.
Sisi batin keciku membuat aku semakin ingin menampik semua prasangka tersebut. Membiarkannya terus bermain akan semakin membuat seluruh jiwaku keruh dengan dugaan.

Dia berkisah, bahwasannya untuk merubah satu penampilan, memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari baju atas dan bawah, sepatu, tas, kaos kaki ditambah lagi kerudung plus pernik-perniknya. (Ngak pernah kebayang olehku yang gini-gini)
Aku bisa mereka-reka perubahan penampilanmu yang begitu drastis saat ini, harapanku semoga dia tidak merasa aneh atau malu dengan pilihannya itu. Semoga kau bisa istiqomah. Hey aku berdoa…. memungut harap agar Alloh berikan kekuatan agar dia selalu berada di jalan yang benar yang telah dia pilih.

Kau juga berkisah bahwa tentang betapa kemudahan akan Alloh berikan jika azzam tlah teguh di dada. (Azzam… kata palagi itu, kucari di google baru ngeh aku apa itu maknanya) Semua yang kita sangka sulit, jika Alloh berkehendak tiada sesuatu yang sulit bagi Nya.
Kau berhitung tentang jumlah kerudung yang kau punya, logikanya dengan uang sakumu tak kan cukup untuk memenuhinya. Dan datanglah pertolongan itu, ada seorang temanmu bercerita bahwasannya dia hanya punya baju muslimah tiga potong plus bawahannya. Untuk keperluan kuliah dia hanya menukar-nukar koleksi itu. Ternyata mudah dan sederhana tipsnya. Jika dihitung, masih banyakan koleksimu dibanding temannya. Maka bertambah kuatlah azzammu. Pasti bisa…. pekiknya.

Masih tentang kemudahan yang kau dapat. Pertama keluar dengan penampilan baru, dalam hati kau ada hal yang tak kau percaya, kau telah memakainya. Sebuah kewajiban telah ditunaikan, menutup aurat. Sebuah impian yang akhirnya jadi kenyataaan.

Minggu pertama masih terasa canggung kau mengenakannya, masih „wagu“ katamu. Tapi ternyata banyak yang mendukung dan banyak sambutan kebahagian dari teman-teman dekatmu, Ditengah kegundahan „diterima gak ya ma teman-teman“ bisik dalam hatimu.
Dan keajaiban itupun terjadi kembali, satu per satu temanmu memberi buah tangan kerudung untuk kau kenakan. Betapa pertolongan Allah begitu besar, jumlah kerudungmu yang dulu tiga potong, kini bertambah menjadi empat belas. Subhanallah, pertolongan Mu begitu besar dan dekat.

Yang lebih lebih membahagiakanmu adalah dakwah yang secara tak langsung kau sampaikan kepada keluagamu. Berdakwah lewat jilbab yang kau kenakan. Meski statusmu masih mua’alaf jilbab namun setidaknya kau telah memberi sebuah pemahaman yang baru tentang bagaimana Islam yang sesungguhnya.

Sungguh adalah sebuah perjuangan menegakkan kebenaran diantara lingkungan yang bebeda pemahaman. Aku sendiri tak bisa membayangkan bagaimana keislamanku jika aku dulu aku ditakdirkan ikut babakku. Tentu sangat berat Islam jika jauh dari lingkungan yang penuh dengan nuasa keislaman.

Ya, Rabbi semoga kau terus melimpah nikmat hidayahMu pada saudaraku, Katrin (K3N). Dan jadikan lah pengalamannya menjadi ibrah bagiku untuk tetap bersykur atas segala nikmatMu padaku, terutama nikmat Islam ini.
Nikmat yang terindah yang tlah Alloh berikan.

Berkaca pada katrin membuat aku membuka lembaran batin, mengais tiap baris dari gores cerita yang telah aku tulis. Memaknai bagian hidup mana yang telah aku rubah untuk menegakan agama Alloh. Tetap teguh pada ajaran agama, sampai dimana batas aku bertakwa. Padahal takwa hakekatnya tanpa batas. Dia berarti selagi nafas masih berdesah di raga. Selagi nadi masih berdenyut. Di sinilah amal kita dihitung berakhir nanti setelah kita masuk liang kubur.

Damarati, it’s dedicated to my self

Sabtu, Februari 26, 2005

DURJANA MENCARI CINTA (2)

Di pinggir kota berdebu
Lenggang kaki lelaki langkah pasti
menyungging senyum penuh serum
Mematikan tatap mata

Di tangan tergenggam parang
siap kibaskan semua penghalang
mandikan darah setiap nyawa tertumpah
kirinya seratkan pena
melukis kata hampakan makna
tentang kekecian, jiwa-jiwa terbudak,
menghamba dunia

Dirunut dari mata
titik hitam seperti jelaga
galap, pucat, kering, tanpa rasa
menggaharap dari sebuah nyawa terampuni
dapat kembali empati
insan tlah hilang
malikat enggan bersemayam

Durjan bukan petualang
sekeping batu
di jazirah kehidupan satu putaran waktu
masih butuh cinta
meski tak tau kepada siapa ditumpahkan

dedicated to separuh diri yang lagi hilang

DURJANA MENCARI CINTA

Di sudut kota berdebu
Langkah kaki lelaki kaku
mengayuhkan dendam didetiap injakan
menyuguhkan duka setiap tapaknya

Tangan kanan kibaskan parang
memetik tiap nyawa melayang
Di kirinya pena
tulis mantra penghembusan

Adakala ketika jiwa telah lelah
menuju puncak rentetan
khayal, nelangsa tak berkesudahan

Rongga mata sehitam jelaga
tengah tergambar peristiwa
mengharap
torehan luka tlah terbuat
sebuah jiwa disampingku menghambat
menanti
tuk dapat,...
layakah sang pendosa peroleh cinta
murni, tulus tanpa pewarna

Senin, Februari 21, 2005

Langit Gelap Krenceng

awal minggu tlah berdebu
beringaskan hari akan kuhadapi
tapi aku belum mau mati
atau tersunggkur di tanah kubur
mengais-ngais jatah umur

Setiap hari kugadaikan waktu
dengan menjual tenaga
hitungan masa hidupku
di sebuah jawatan orang berkulit dungu

Buka tutup tulisan kesaksian kerja
adalah rutinitas
merentas batas
sari tudung pagi hingga payung mentari ditutup malam

langit gelap tanda saat aku merayap
menyusuri jalan pulang setelah selesai masa gadai
Di lapangan krenceng
hanya hitam tertimpa redup bolam jalan
hanya hitam kepada diri suguhkan kepenatan

Langit gelap krenceng
lukisankan hidup makin melenceng


from desk of damarati

Minggu, Februari 20, 2005

Hatiku Terbakar!

Toolooong....toolooong!
Vibrator lidah , pita suara, dinding kerongkongan, gigi serta gusi
kompak menyenandungkannya
seperti virtuoso memainkan komposisi alternative
dijepit sulit, kenapun menggigit
matanya berkaca, melelehkan air telaga
atau anak sungai yang mengalir ke laut

Toolooong...toolooong!
ada yang terbakar
meski disiram anak sungai bidadari
belum padam orkestra sang virtuoso bersenandung
kini jiwa apa kabarnya
apa sama dengan kata dibaris pertama
berharap ada nyawa mengabulkan inginnya
ah........
hatiku terbakar
bidadari terkapar
aku terdampar


Ketika bidadari enggan berpisah dariku...

Cool Sunday Morning

When I open my eyes, my body feel vertigo
Why yah? I don't understand what happen with me
Why yah? My mind lose control
Why yah? The air is so fresh for all of human being
Why yah? My pocket is full...
Why yah? I believe God bless me today
Sure...sure...sure...
Cool sunday morning


Habis mabit..ngantuk banget!

Rabu, Februari 09, 2005

Sedikit Curhat Tentang Makan Siang Di Kantin PTSI Cilegon

Assalamu'alaikum Warohmatullohi wa Barokatuh

Semoga Berkat dan Rahmat Alloh senantiasa tercurah untuk kita semua

Makan adalah kebutuhan hakiki dari setiap mahluk ciptaan Tuhan. Kegiatan tersebut adalah sarana untuk menyambung kehidupan manusia sebagai utusan Tuhan di muka bumi.
Dikatakan oleh Kalam Nya bahwa kita pun harus mensyukuri setiap suap makanan yang masuk ke badan kita sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Menelan dengan legowo tanpa berkeluh apalagi sampai mencaci makanan yang kita dapatkan adalah tauladan yang diberikan Rosul pada kita. Karena itu adalah rizki yang wajib kita berterimaksih karena masih diberi, hingga hari ini.

Namun (ada paradoks ... mungkin kontradiktif dari apa yang akan saya tulis)....
Ketika kita dihadapkan pada selera terhadap makanan, tentu tiap orang akan berbeda jawabnya. Dalam mensikapinya akan muncul banyak reaksi. Ada yang suka, ada yang biasa hingga menghina dan memuntahkan makanan yang hampir ditelan. Semua berpulang pada yang namanya selera.
Jika kita makan di warung tentu tiap orang bisa memilih sesuai seleranya masing-masing. Tetapi saat kondisi makan yang telah dipatok harga per porsinya tentu ada standar selera yang pantas diterima. Rasa sebanding dengan harga. Ada nilai rasa disana, yang tentunya bisa dimaklumkan sebagai cita rasa bersama. Efeknya akan lebih banyak orang yang tidak berkomentar negatif tentang rasa makanan yang di sajikan, syukur komentar positif diberikan.

Kita ambil contoh kasus, ketika kita makan siang di kantin kita tercinta. Dari hari ke hari bukan makin baik pelayanan dan makanan yang disajikan. Baik dari jumlah maupun rasa. Saya tak tega berkata "buruk" karena berarti tidak mensyukuri rejeki yang saya makan hari ini. Hanya saja alangkah indah jika saat kita makan, lidah kita mengecap rasa yang mendorongnya bersyukur akan makanan dikunyahnya hari ini. Bukan "ngedumel" atau komplain pada rasa yang tak sesuai standar selera bersama.

Saya menulis ini untuk diri saya sendiri sebagai tumpahan unek-unek atau curhat yang ingin saya bagi. Ini bukan komplain, hanya sedikit sentilan tuk kebaikan bersama. Jika ada yang tak berkenan dari tulisan saya ini mohon kelapangan untuk memaafkannya. Kebaikan datangnya dari Sang Penggenggam kehidupan, luput dan salah adalah di diri saya selaku insan.

Setiawan Hadiswoyo (Sosok Lain Damarati

Tunggu

Dia titip pesan waktu itu
Tunggu....

di balik pintu,
di meja kerja,
Jelusi jendela berdebu

Setengah putaran berlalu

tunggu....
Terngiang kembali kata itu

Kini di lorong waktu
di ruang masa
Hingga kurasa jemu

From desk of damarati (13 Januari 2005)

Tengah Siang

Matahari
panasnya mendidihkan raga yang rapuh

Setelah hujan pergi tanpa pesan minggu lalu

Masih
tersisih di kubangan waktu memburu
aku tahu


Damarati
from my desk (12 Januari 2005)

KAMU

Dihangatnya kurasa dinginmu
Didinginmu kureguk panasnya

Kering Hati dibasahi kasihmu
Basah Jiwa Kering karenanya

Di remang subuh tangkap pendar bayangmu
Ada terang di balik sisi gelapmu

merayap... mengendap...
hingga aku bersimpuh
kaku


From desk of Damarati (11 Januari 2005

Senin, Februari 07, 2005

My Ilussion

Whisper hang out from my head
Evil practice dancing on the deepest of blood
Suck until my bone singing "kruck..!"

Angel screams loudly
But no ears can catch them
Gone....gone....gone....

In the middle of nowhere,
a couple of souls wait to re-incarnate
Whisper....scream will lead them to find
heaven or hell
in another chance


sambil belajar bahasa inggris... ngaco ya???

Orang Gila

suatu saat aku melihatnya
tepat didepan kelopak mataku
di lain waktu aku melihatnya
berjongkok di belakang pantatku
satu saat aku menunggunya
ingin kuludahi mukanya
mukanya yang penuh dengan senyum sinis
seolah ingin mencampakkanku ke tempat sampah
siapakah dia? siapakah aku?
aku bingung, kupegang pada batang yang rapuh
menari-nari dan tertawa-tawa
masih menunggu di batang yang rapuh
aku buka baju
jongkok di belakangnya, di belakang pantatnya
kini.......
aku berdiri
menatap kelopak matanya
entah sekarang siapa yang gila
aku atau dia...?
absurb.........naif.........migrain..........kolesterol!

inspirasi saat menunggu loading yahoo yang amat lambat! membuat sekarat!

Jumat, Februari 04, 2005

Dinda

Jiwa yang bersemyam dalam raganya
Tebalut tulus kasih untukku
Masih menanti utuh cinta darimu
Aku yakin itu
Percaya diriku untuk bisa selalu jadi pangeranmu
Temani dalam setiap denyut hidup yang Alloh gariskan buatmu
Dimana denting rindu selalu sesak di dada
Menggetarkan jiwa saat kau melewatinya
Aku pun sama....
Terpasung oleh jarak dan waktu (kutunggu)
Bayangkan malam ini aku hadir
Menemanimu tiada akhir
Cuma Subuh yang bisa kita berlabuh
Menepikan sampan di pantai kita bersauh
Pangeranmu...
Selalu coba jadi yang terbaik untukmu
Karena kau tlah beri yang terbaik buatku

Damarati
Selepas Jum'atan awal Februari 05

Kamis, Februari 03, 2005

KECAP

Menggelinding bongkahan ingin ku menyungging
Seringai senyum terpekur
di sudut bibirku yang coba terus bersyukur

Cap.. Kecap..
Basah mulut mengulum kata
semoga tak mubazir
lidah, luncur
rajut kata..
cari makna

Aksara kutulis..
Saat rasaku teriris

Cap... Kecap...
Banyak bibir kini
bersaut mencibir

Aku terpinggir

From desk of damarati
saat Asar tlah memanggil di awal February

Rabu, Februari 02, 2005


Harapan dari bunda mu Damar, Semoga kubisa selalu membumikan cintanya di hatiku
-My Lovely Gita-


Malam semakin larut, lingkungan kostku sudah sepi. Samar ku dengar suara gerobak dan piring didentingkan penjaja nasi goreng keliling atau suara langkah kaki terburu-buru, mungkin mahasiswa yang hendak mengerjakan tugas di kost-an temannya. Sekarang memang sedang musim tugas. Terasa begitu lelah mataku, badan dan jiwaku malam ini. Ingin semuanya kuistirahatkan sekarang juga. Tapi masih begitu sulitnya mata terpejam, seakan memaksaku mengenang kejadian sebulan yang lalu .

****
Malam sebulan yang lalu, sekitar pukul 22:00, kudengar bel kost-anku berbunyi. Segera kusambar jilbabku dan kukenakan secepatnya, aku pikir pastilah adik-adik kostku, baru pulang sehabis mengerjakan tugas pendahuluan praktikum. Tapi mereka kok tidak memberi salam seperti biasanya.
“Siapa? “ agak sedikit berteriak aku menanyakan siapa diluar.
Tidak ada jawaban, aku agak sedikit takut juga, masalahnya sudah malam, tapi aku beranikan juga membuka pintu itu. Dan masyaAlloh, gita ternyata, salah satu adik TPA ku. Tapi kok malam-malam begini? Gadis kecil, yang kira-kira berumur 5 tahun didepanku kini sedang tertunduk, membunyikan wajah polosnya, dan terdengar menangis sesenggukan. Dia lagsung menghambur ke arahku, aku coba menenangkan gita sebisaku, ku peluk dia, dan kubelai rambutnya, basah, di luar memang agak gerimis, bajunya juga agak basah. Dan, masyaAlloh…..keningnya berdarah. Segera ku bawa dia ke dalam, ku lap badan dan wajahnya dengan handuk, dan kuambilkan segelas air, aku berharap gita kecilku ini agak sedikit tenang. Segera kuperban luka dikeningnya. Dan ternyata bukan itu luka satu-satunya, pangkal tanganya biru seperti habis dipukuli, punggungnya juga. Aku semakin bertanya-tanya ada apa dengannya. Setelah minum, gita baru mulai mau berbicara:
“Mbak, gita boleh nginep di sini nggak?” lirih suaranya, dan masih tertunduk tidak mau melihat ke arahku.
“Boleh donk…..”jawabku mengiyakan.
“Tapi mbak boleh nanya ya…kening Gita kenapa? Badan Gita juga kok pada biru-biru?”
Pertanyaanku membuatnya menangis lagi, Tuhan..ada apa dengan gadis kecilku ini?
“Mbak, Gita dipukul sama bapak, soalnya Gita pake kertas yang ada di meja buat bikin kapal-kapalan trus gita taruh di selokan”suaranya terbata-bata karena isak tangisnya yang tak kunjung mereda.
“lho…kok Bapak marah? Memangnya kertas apa?”aku heran.
Gita hanya bisa menggeleng.
“Ya udah, Gita sekarang nginep di kamar mbak ya, besok mbak anterin pulang deh”
Tangis gita makin kencang “gita gak mau pulang, ntar dipukulin lagi sama bapak”
Kupeluk bidadari kecil didepanku itu. Segera aku mengajaknya ke kamarku, membaringkannya, dan menyuruhnya segera tidur karena hari sudah malam. Tapi bagaimana ini? Aku membolehkan seorang anak menginap di rumahku sedang orang tuanya kemungkinan besar tidak tahu. Apalagi dengan kondisinya yang seperti itu. Rasa khawatir mulai menyergapku, bisa-bisa para orang tua tidak percaya lagi menitipkan anaknya mengaji pada kami. Segera kutepis rasa khawatirku itu, dan tetap berpikir positif semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tetap harus berbicara dan mengabarkan kepada orang tuanya bahwa anaknya ada bersamaku malam ini. MasyaAlloh, tapi sekarang sudah jam 11 malem, pantaskan seorang akhwat berkeluyuran malam2 begini. It’s urgent …aku harap ada pemakluman untuk ini. Tapi tunggu, bagaimana dengan Gita? Masa aku tinggal dia sendirian? Klo ada apa-apa bagaimana? Minta tolong teman, kost mereka lumayan jauh, aku tidak tega malam-malam begini menyuruhnya datang ke kost-an ku apalagi jalan menuju ke kost-anku agak ‘rawan’.

Aku mencoba berfikir keras, hampir saja kutemukan jawabannya, tiba-tiba gita mengingau,”gita gak mau pulang, gak mau ketemu bapak”
Kuraba keningnya, masyaAlloh, panas sekali, suhu badannya naik drastis. Bisa aku katakan, jika saat itu, sungguh aku panik. Terburu-buru aku mencari kain untuk mengompresnya. Untunglah ada sapu tanganku yang agak tebal dan masih bersih. Setelah kukompres, dia sudah tidak mengigau lagi, hanya panas badannya masih tinggi. Ops, kenapa gak aku hubungi ikhwan saja, siapa tahu mereka bisa menolong.

Aku cek satu-persatu nomor ikhwan yang aku punya, sepertinya aku minta tolong akh handi saja, kebetulan kost-annya tidak jauh dengan rumah gita. Setelah kuceritakan semuanya, akhirnya akh handi bersedia ke rumah orangtua Gita untuk menanyakan hal ini dan atau setidaknya mengabarkan bahwa gita sekarang bersamaku. Sedikit lega aku dibuatnya. Setidaknya aku bisa konsentrasi menjaga gita manisku ini, besok baru aku bilang sekalian mengantarkannya.

Kupandangi gadis kecil didepanku, sesekali dia mengerang mungkin karena rasa sakit luka-luka itu, aku mencoba mengingat kapan pertama kali aku mengenalnya. Kira-kira setahun yang lalu, saat aku bertemu denganya di gang menuju ke kost-anku. Kami langsung akrab, suaranya yang renyah membuatku selalu tersenyum saat bersamanya. Lalu aku mengajaknya mengaji, dan Alhamdulillah Gita mau, dia begitu antusias menanyakan setiap hari apa ngajinya, dan apakah harus menggunakan kerudung? Dan aku begitu terkesan saat sebuah statement jujur dan polos dilontarkannya, kenapa aku berjilbab sedang kakak dan ibunya tidak. Gita gadis kecil yang cerdas. Aku ingat saat dia menjuarai lomba hapalan Al-Quran di masjid kampus pada acara Miladnya. Padahal dia baru satu minggu mengaji denganku. Dan apa yang dialami gita sekarang sungguh membuatku terkejut, kenapa hal seperti ini bisa terjadi padanya, seorang gadis kecil yang masih polos.

Bapak juga pernah memukulku,dulu waktu masih kecil, berapa kali aku juga masih ingat. Waktu kecil, kata mama, aku memang bandel, badung, susah diatur, dan keras kepala. Ya, aku ingat, dulu aku memang bandel. Kesukaanku adalah bermain, dan dulu, saat Bapak dan mama mencari nafkah di Jakarta, aku punya teman-teman(bolehlah aku sebut gank) yang semuanya laki-laki. Kata mama, aku tidak pernah memakai rok waktu kecil seperti lazimnya anak perempuan, aku juga tidak suka bermain boneka. Dulu aku lebih suka permainan yang ramai, seperti bentengan, atau engrang, maen kelereng, atau gasing, dan satu lagi memanjat pohon. Semuanya itu jika aku ingat sangat menyenangkan. Suatu waktu, saat musim rambutan, pohon rambutan di kebun dekat komplek rumah kami juga sedang berbuah lebat. Kami semua bermaksud mengambil semua buah rambutan yang sudah matang dan membaginya bersama-sama. Kami memanjat pohon rambutan itu dan memetiknya dengan semangat. Saat sedang asyik-asyiknya diatas pohon, kakiku digigit semut, reflek aku bergerak-gerak, dan walhasil hilanglah keseimbangan, dan brukkk….aku jatuh di semak-semak. Badanku lecet semua waktu itu. Temanku langsung berlari memanggil orangtuaku, sebenarnya ingin kucegah, tapi aku sendiri tak kuat berdiri. Tak lama, Bapak datang, dan tanpa meminta penjelasan Bapak memukulku. Aku diam saja, tidak menangis, tapi aku tidak terima apa yang Bapak lakukan waktu itu, aku jatuh, tapi kan aku tidak menginginkannya(ini yang aku pikirkna waktu itu). Kubiarkan Bapak memukul pantatku. Sakit badanku, tapi lebih sakit hatiku. Tapi sesudahnya bapak menggendongku ke rumah. Mama yang melihatku penuh luka-luka (bahkan sampai dikepala, karena sebelum jatuh sempat membentur batang pohon rambutan terlebih dahulu) langsung menangis. Segera lukaku dibersihkan, dan aku masih saja tetap diam, apa yang Bapak lakukan betul-betul ada diingatanku, begitu membekas. Malamnya aku demam, mama panik karena aku sering mengigau. Yang aku ingat, Bapak langsung menggendongku dan membawaku ke dokter waktu itu. Selain kejadian itu, Bapak sering memukulku karena seringnya aku pulang dalam keadaan lecet-lecet dan kotor sekali. Dan setiap kali begitu, aku selalu diam saja. Tapi semuanya aku ingat, dan kucatat dalam memoriku, menjadi sebuah tanda tanya besar kenapa harus begitu?

Hingga saat aku sudah kelas 2 SD, pulang sekolah, mukaku lebam, dan tanganku lecet, baju sekolahku sangat kotor dan saku bajuku robek. Sebenernya aku malas pulang tapi aku lapar sekali. Sampai rumah orang yang aku jumpai pertama kali adalah Bapak. Dan begitu melihatku seperti itu, bapak langsung marah-marah,”badung sekali kamu”, dan bersiap hendak kembali memukulku. Tapi entah kenapa, saat itu aku reflek menghindar. Aku ingat(dan bapak juga ingat) apa yang aku katakan waktu itu, “ Pak, kenapa jika lihat aku seperti ini Bapak langsung memukulku, kenapa tidak ditanyakan kenapa aku sampai seperti ini? Salah ya pak jika berkelahi bela teman yang benar?” Dan jika biasanya aku diam saja, maka saat itu aku menangis. Aku merasa bahwa saat itu aku sudah mengeluarkan semua yang terpendam dalam dadaku. Sejak saat itu Bapak tidak pernah lagi memukulku. Mengenang itu, aku merasa menjadi anak yang begitu merepotkan, setiap kali aku dipukul, maka malamnya aku pasti demam. Bapak dan mama selalu langsung membawaku ke dokter. Aku tahu mereka sayang aku dan tidak pernah bermaksud menyakitiku, tapi apa yang mereka, khususnya Bapak lakukan padaku sungguh membekas, membuatku berazzam tidak akan melakukan itu pada anakku kelak.

Dan hal seperti itu terjadi pada gadis kecil nan ayu yang sekarang sedang berbaring didepanku saat ini, bahkan lebih parah(Bapak hanya memukul pantatku, tidak pernah punggung apalagi kepala). Gita memang bukan satu-satunya anak yang mengalami hal seperti ini, sering aku baca dimedia masa penganiayaan anak baik oleh orang lain ataupun oleh keluarganya sendiri(bahkan ada yang sampai meninggal). Haruskah seorang anak diajari dengan cara seperti ini? Jika mereka salah, apakah sebuah pukulan adalah hukuman yang mutlak mereka terima? Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda:

“ Jangan sekali-kali kamu mengacungkan tanganmu kepada anak-anakmu agar mereka takut kepadamu, tapi ajarilah agar mereka takut kepada Alloh semata”

Bahkan untuk hanya sekedar mengacung-acungkan tangan kita kepada anak kecil saja itu tidak boleh, apalagi memukulnya. Pernah kubaca dalam satu kajian ilmiah tentang dampak sikap keras orang tua terhadap anaknya(secara personal psychology) menjabarkan jika anak yang terbiasa dimarahi apalagi dipukuli orang tua agar mentaati suatu peraturan atau karena melakukan kesalahan, maka kebanyakan perkembangan mental dan jiwanya labil, timbul rasa takut yang kadang diluar kewajaran, kesadaran mentaati peraturan yang justru rendah, dan sikap dendam ingin menerapkan hal yang sama kelak”.

Nah lo, serem deh…
Apa yang disabdakan Rasulullah diatas pastilah benar. Ajarkanlah kepada anak-anak bahwa Alloh melihat semua yang dilakukan manusia, dimanapun berada. Ajarkan kepada mereka agar mengetahui dan membedakan mana yang hak dan mana yang bathil. Tumbuhkan dalam jiwa mereke sikap-sikap peduli dan ksih sayang terhadap sekitar. Jadikan mereka pribadi yang peka sosial.

Ups, handphoneku berdering, menyadarkan aku dari lamunan panjang (hampir tertidur sih). Ternyata Akh handi yang menelpon, mengabarkan kalau dia baru saja menyelesaikan urusan itu(afwan merepotkanmu, sampai jam setengah 2 malem pula). Gita memang dipukul oleh Bapaknya, saat itu beliau sedang mabuk, Pulang mencari kertas penting itu (perjanjian dg bank, tak tahu aku masalah apa…), ternyata sudah rusak oleh gita. Tanpa pikir panjang langsung main pukul. Istrinya tidak berani mencegah jika sang suami sedang kolaps. Walhasil gitalah yang jadi korban atas sebuah kesalahan yang sebetulnya bukan sepenuhnya dia yang berbuat(kenapa meletakkan kertas penting disembarang tempat, seorang anak mungkin akan melihatnya sebagai kertas tidak tidak terpakai sehingga digunakannya untuk bermain). Menurut akh handi pula, keluarga Gita sedang berada dalam proses perceraian. Mungkin, kata istrinya 2 minggu lagi mereka resmi bercerai. Shock aku mendengarnya. Bagaimana nasib Gitaku nantinya? Pening kepalaku memikirkan ini semuanya.

Dua minggu kemudian, mereka memang resmi bercerai, sedang hak mengurus Gita diserahkan kepada ibunya. (Sebelumnya aku takut jika hak perwalian jatuh ke tangan Bapaknya). Yang membuatku semakin sedih, ternyata gita harus pindah dari rumah kontrakannya, ke rumah neneknya di Sukabumi. Aku harus berpisah dengan bidadari kecilku ini.

Perpisahan dengannya sungguh mengharukan. Sebelum mereka pergi (sambil membawa semua barang2 rumah tangganya, menggunakan mobile pick up), aku gendong Gita. Kubiarkan dia bertingkah sedikit manja. Saat neneknya juga hendak menggendongnya, Gita tidak mau, hampir saja menangis jika tidak kutenangkan secepatnya. Akhirnya setelah ibunya membujuknya, dia mau juga lepas dari gendonganku. Kuucapkan sedikt kata sebagai tanda berpisah (semoga suatus aat ada masa aku bisa kembali melihatnya):”gita jaga mama ya, truss, gita juga gak boleh manja. Disana gita ntar ngaji juga ya, sama teteh-teteh disana. Ok?” Dia mengangguk-angguk. Dia bahkan meminta neneknya memberintahu nomor telepon di sana dan memintaku sekali waktu menelponnya. Aku mengangguk mantap. Kukecup kening dan pipinya untuk yang terakhir.

******

Jam delapan tadi, aku baru saja menelpon Gita kecilku. Suaranya sudah kembali ceria. Gita kecilku mengabarkan jika dia hendak masuk madrasah. Katanya, mengaji itu asyik.
Gita, mbak doakan kamu, Semoga Alloh memilihmu menjadi mujahidah tangguh-Nya kelak. Amien.

----<--@ Buat mas Hadie, yang baru selesai membaca ini,
Be a good Dad ya buat anak-anak mu kelak J@-->---