Minggu, November 05, 2006

AL MUNAWAR

Kampung Yang Menggigil
Suatu siang saat bentang meteran
Mematok sisa sejarah manusia
masih terserak di genangan
kemajuan, membinatangkan manusia

Perubahan seperti memburu waktu
Atau waktu itu sendiri diburu perubahan
Membentang keinginan di antara
Keruh comberan nafsu, fitnahfitnah
serapah sinis pada telaga nurani yang keruh

Perjalanan Ke Palembang


Aku meninggalkan Cilegon setelah sholat jumát di awal bulan Syawal 1427. Menuju Palembang, tanah Tsi Lee Fo tse atau Ha Nun, pembangkang dari negeri cina membangun kerajaan bajak laut di tanah ini (menurut kisah dalam perjalanan Cheng Ho, laksamana masyur dari Cina). Ada beberapa tujuan aku berada di tempat ini, hadir di pernikahan wanja dan menemui Aisyah, jiwa yang entah kenapa begitu dahsyat telah membuat aku sedikit sembuh dari cerabut luka karena percaya dibalas khianat.

Bunda melepasku dengan penuh haru. Bu Budi tetangga belakang rumah yang sangat baik padaku ikut repot melepasku, bahkan dimintanya aku menunggu Pak Budi, suaminya pulang dari masjid agar dapat diantar sampai halte bis. Waktu memburu aku dan membuatku dengan halus menolak tawaran baik itu. Naik ojek pilihan yang logis dan tepat agar berkompromi dengan jadwal keberangkatan, 17.30.

Dari Cengkareng, Boing 737 200 milik Sriwijaya Air membawaku terbang di atas ketinggian 26000 m dari permukaan laut. Dengan no penerbangan 084 burung raksasa udara ini melaju kecepatan tak kepalang tanggung, lebih dari 800 km/jam, 10 kali kecepatan vegaku jika dapur mesinnya kupacu mentok. Rasa pekak di telinga akibat deru pesawat bagian yang mesti diterima karena perbedaan tekanan di dalam dan luar kabin.

Gugusan awan dan hamparan mega membentang seperti menempatkan aku di tengah padang kapas tak bertepi. Sore ini bagaskara begitu berbeda dengan merah bersemu jingga saat kulihat telanjang mata di balik jendela pesawat. Kaki langit hanya seperti garis horisontal lurus tak bertepi, saat ilmu pengetahuan belum terbuka sempat diduga itulah tepi dunia. Sesekali cahaya matahari masih masuk ke dalam kabin pesawat. Penerbangan yang aku majukan satu jam dari rencana penerbangan awal ini cukup lancar walau cuaca tak begitu mendukung karena kabut asap pembakaran hutan tak kuasa masih tak terbendung mengapung di udara nusantara.

Setelah berada 50 menit di udara akhirnya Kapten Imran Siregar, pilot penerbangan ini memacu mulus landing pesawat di landasan Bandara Sultan Baharudin 2 Palembang. Aku hubungi Riko, kaka Aisyah untuk dapat menjemputku. Tak lama menunggu Riko datang dengan motor (ternyata di Palembang boleh juga motor masuk di bandara untuk menjemput penumpang, di Jakarta mana ada?). Melihat Rico adalah gambaran dalam pikiranku yang jadi kenyataan tentang tipe para lelaki Bumi Sriwijaya ini. Tak mudah cair saat pertama kali kenal & berjumpa, tapi bisa jadi teman yang baik setelah kenal lebih dekat. (Asumsi ini tak berlaku untuk Mang Rohim).

Rumah pertama yang aku sambangi adalah rumah Aisyah tentunya. Tak sampai lima menit dari bandara aku telah disambut senyum manis itu. Adalah fakta bahwa senyum itu lebih manis dari fotonya. Wajah itu lebih indah dari yang kubayangkan. Yang jelas kehangatan penerimaan kental aku rasakan sebagai nilai positif darinya.

Nenek Aisyah menyambutku (jadi tak enak aku, karena kedatanganku beliau hentikan acara berbuka puasa syawalannya)

“Nenek tinggal dulu ya, sama Aisyah dulu, nenek mo nerusin berbuka” kata beliau.

Segelas air putih dalam kemasan dan satu teh kotak sudah di meja tamu. Sedikit Aisyah bertanya tentang kabar dan cerita perjalanan ke Palembang. Aku jawab singkat-singkat saja. Ada pertanyaan lain sesudah itu, mau mandi? aku memilih mengiyakan tergerak karena lengket dan bau badan sudah tak tertahan.

Setelah membersihkan diri, sholat dan makan, aku ditunggu di ruang tamu. Nenek dan bibi Aisyah dari pihak ibu memperkenalkan anggota keluarga. Kami berbincang tentang banyak hal. Tentang aku, keluargaku, pekerjaan dan kegiatanku di Cilegon. Ah betapa bangganya perempuan sepuh ini pada putrinya, Drs. Titi Muliawati, ibunya Aisyah yang telah berpulang ke rahmattulloh. Ditunjukan foto putrinya meunjukan kebanggaan dan betapa sayang beliau padanya. Atau ini bahasa agar aku pun mengenal yang telah berpulang dan menghormatinya layaknya beliau masih ada.

Pukul 7.45 keluarga Wanja, teman yang menggundangku ke pernikahannya datang. Starlet merah kusam BG 485 AM membawaku ke rumahnya di tiga ilir. Om Jamal duduk di kursi kemudi. Aisyah, Hanny dan Fanny di kursi belakang ikut mengantar.

Selanjutnya cerita mengalir mulai malam itu. Menemukan hal baru. Kebiasaan setempat, cita rasa makanan, budaya yang harus aku junjung sebagai sebuah hukum. Akan ada cerita menarik lain dalam kisah berikutnya yang akan aku tulis pada bagian lain tulisanku.