Minggu, November 05, 2006
AL MUNAWAR
Suatu siang saat bentang meteran
Mematok sisa sejarah manusia
masih terserak di genangan
kemajuan, membinatangkan manusia
Perubahan seperti memburu waktu
Atau waktu itu sendiri diburu perubahan
Membentang keinginan di antara
Keruh comberan nafsu, fitnahfitnah
serapah sinis pada telaga nurani yang keruh
Perjalanan Ke Palembang
Aku meninggalkan Cilegon setelah sholat jumát di awal bulan Syawal 1427. Menuju Palembang, tanah Tsi Lee Fo tse atau Ha Nun, pembangkang dari negeri cina membangun kerajaan bajak laut di tanah ini (menurut kisah dalam perjalanan Cheng Ho, laksamana masyur dari Cina).
Bunda melepasku dengan penuh haru. Bu Budi tetangga belakang rumah yang sangat baik padaku ikut repot melepasku, bahkan dimintanya aku menunggu Pak Budi, suaminya pulang dari masjid agar dapat diantar sampai halte bis. Waktu memburu aku dan membuatku dengan halus menolak tawaran baik itu. Naik ojek pilihan yang logis dan tepat agar berkompromi dengan jadwal keberangkatan, 17.30.
Gugusan awan dan hamparan mega membentang seperti menempatkan aku di tengah padang kapas tak bertepi. Sore ini bagaskara begitu berbeda dengan merah bersemu jingga saat kulihat telanjang mata di balik jendela pesawat. Kaki langit hanya seperti garis horisontal lurus tak bertepi, saat ilmu pengetahuan belum terbuka sempat diduga itulah tepi dunia. Sesekali cahaya matahari masih masuk ke dalam kabin pesawat. Penerbangan yang aku majukan satu jam dari rencana penerbangan awal ini cukup lancar walau cuaca tak begitu mendukung karena kabut asap pembakaran hutan tak kuasa masih tak terbendung mengapung di udara nusantara.
Setelah berada 50 menit di udara akhirnya
Rumah pertama yang aku sambangi adalah rumah Aisyah tentunya. Tak sampai lima menit dari bandara aku telah disambut senyum manis itu. Adalah fakta bahwa senyum itu lebih manis dari fotonya. Wajah itu lebih indah dari yang kubayangkan. Yang jelas kehangatan penerimaan kental aku rasakan sebagai nilai positif darinya.
Nenek Aisyah menyambutku (jadi tak enak aku, karena kedatanganku beliau hentikan acara berbuka puasa syawalannya)
“Nenek tinggal dulu ya, sama Aisyah dulu, nenek mo nerusin berbuka” kata beliau.
Segelas air putih dalam kemasan dan satu teh kotak sudah di meja tamu. Sedikit Aisyah bertanya tentang kabar dan cerita perjalanan ke Palembang. Aku jawab singkat-singkat saja. Ada pertanyaan lain sesudah itu, mau mandi? aku memilih mengiyakan tergerak karena lengket dan bau badan sudah tak tertahan.
Setelah membersihkan diri, sholat dan makan, aku ditunggu di ruang tamu. Nenek dan bibi Aisyah dari pihak ibu memperkenalkan anggota keluarga. Kami berbincang tentang banyak hal. Tentang aku, keluargaku, pekerjaan dan kegiatanku
Pukul 7.45 keluarga Wanja, teman yang menggundangku ke pernikahannya datang. Starlet merah kusam BG 485 AM membawaku ke rumahnya di tiga ilir. Om Jamal duduk di kursi kemudi. Aisyah, Hanny dan
Selanjutnya cerita mengalir mulai malam itu. Menemukan hal baru. Kebiasaan setempat, cita rasa makanan, budaya yang harus aku junjung sebagai sebuah hukum. Akan ada cerita menarik lain dalam kisah berikutnya yang akan aku tulis pada bagian lain tulisanku.