Selasa, Mei 23, 2006

DIINTROGASI

Menyesakan dada selembar kisah hari ini. Aku terbawa dalam ruang tanya penyelidikan kehilangan barang di tempatku bekerja. Empat jam seperti duduk dalam dakwaan, walau istilahnya diperhalus menjadi DIINTROGASI!
Mengumpulkan data kata orang garda, perusahaan securty yang dikontrak siemen. Data yang mana, data yang akan dibuat sebagai bahan menunjukan jari, menduga, lebih halusnya mencurigai.

OK aku enek hari ini. Titik

Rabu, Mei 03, 2006

Enambelas Purnama di Rumah Dunia


Beberapa waktu yang lalu ketika hujan di penghujung Desember 2004 belum reda, aku temukan tempat ini. Seorang teman dari sebuah komunitas jaringan perpustakaan anak telah berjasa mengantarkan aku. Sebenarnya sudah lama kudengar dan aku ingin berkunjung ke tempat ini, namun karena secara letak geografis yang lumayan jauh dari kosku dan waktu itu motor belum kupanyai maka urunglah niatku untuk menyambangi tempat ini.
Tempat ini bernama Rumah Dunia, sebuah madrasah kebudayaan dimana kita akan mendapat sebuah arti pengabdian dan cinta kasih yang diberi tanpa diminta. Tempat dimana buku menjadi sebuah surga yang tak terkata untuk dinikmati.Bukan sekedar buku ternyata yang ada disini, aku juga disuguhi sebuah tawaran untuk belajar menulis tentang fiksi, jurnalisttik dan skenario TV selam tiga bulan, gratis.
Awal pertemuan itulah yang mengikatkan aku dengan Rumah Dunia. Awalnya mungkin ketertarikanku lebih pada sosok seorang Gola Gong dan kelas manulis yang dibimbingnya. Tetapi setelah tiga bulan aku bergumul dengan kelas menulis rumah dunia, kutemukan banyak pencerahan. Ada beraneka ragam teman yang kujumpai di saat kelas menulis baru dimulai. Seleksi alam membuktikan bahwa hanya yang bersungguh-sungguhlah yang akan sampai tiga bulan kelas menulis digelar.
Bicara manfaat yang kudapat, jangan ditanya lagi berapa jumlahnya, banyak! Ilmu tentang kepenulisan, bacaan yang bermutu, pertemanan yang menyenangkan, bertemu penulis terkenal atau sekedar mencari ketenangan setelah sepekan digagahi kepenatan pekerjaan. Ini hanya sebagian kecil manfaat yang aku sebutkan ada di Rumah Dunia. Dan manfaat yang terpenting aku menemukan sebuah kalimat sakti, begini bunyinya;

”Menjadi terkenal tidaklah penting, menjadi berguna jauh lebih penting“

Ya, menjadi berguna memang jauh lebih penting dari pada sekedar sebuah nama besar atau terkenal yang tak memberikan sumbangsih dalam kehidupan. Betapa kerdil pikiran jika kita hanya mementingkan popularitas, dikenal orang, banyak pengemar namun kosong manfaat yang telah diabdikan bagi masyarakat.
Kini rumah dunia kusetubuhi jiwa dan raga selama enambelas purnama. Aku telah memutuskan untuk tetap menjadikan tempat ini, komunitas ini sebagai sarana pengabdianku agar benar-benar berguna. Langsung diterima masyarakat, tanpa perantara ikut andil dalam sebuah perubahan generasi di tanah Banten ini. Atau kata seorang ustad sebagai ladang amal kelak di dunia sebelum aku bertemu rumah akheratku nanti, semoga sorga yang kudapat.

Berkegiatan di Rumah Dunia

Aku menikmati keberadaan Rumah Dunia sebagai wadah sosialisasi diri. Di pabrik tempat aku bekerja semua berjalan seperti robot, yang ada hanya ya atau tidak, tanpa reserve. Pada gilirannya kebosanan akan rutinitas membutuhkan tempat untuk bermuara. Sebagai manusia aku butuh sebuah penyaluran rasa kejenuhan tersebut dan Rumah Dunia adalah tempatnya. Aku bisa berekspresi sesuka hatiku, menumpahkan kejenuhan lewat tulisan, bekegiatan setiap akhir pekan baik di kelas menulis atau acara lain yang rumah dunia adakan.
Setelah kelas menulis angkatan ke usai, ada sebuah pertanyaan di hati. Akan kemana selajutnya kegiatanku di Rumah Dunia? Cukup sampai di sini saja atau akan mengukir sebuah cerita lain yang memberikan sebuah kemanfaatan. Aku memilih pilihan ke dua. Muncullah ide untuk membuat writing camp sebagai penutupan kelas menulis angkatan ke 5. Bertempat di Kemah Mobil Cotage, Carita para peserta writing camp menimba ilmu tentang kepenulisan. Bagaimana memvisualisasikan apa yang rasakan oleh panca indra untuk kemudian dituangkan dalam tulisan. Di malam harinya kita membakar jagung dan saling bercerita tentang pengalaman. Ada cerita bahagia dan tupahan air mata haru dari para peserta writing camp. Semua berjalan begitu menyenangkan.
Di Rumah Dunia aku menjadi pelayan. Membagi undangan, menyebar leaflet, memasang spanduk, mengakat-angkat kursi sebelum dan seusai sebuah kegiatan hingga menjadi nara sumber di siaran radio pernah aku lakukan untuk Rumah Dunia. Semua kulakukan tanpa dibayar dengan uang. Cukup Alloh saja yang nanti memberi ganjaran di hari akhir.
Gramedia Book Fair banten adalah salah satu acara yang pernah dipercayakan kepadaku untuk menjadi ketua pelaksana. Acara bertema Menuju Banten Membaca, Cerdas dan Kritis tersebut berlangsung dari tanggal 6 – 11 September 2005. Menjadi ketua pelaksana cukup menguras tenaga, pikiran dan banyak waktu yang harus kukorbankan. Dan itu adalah hal yang biasa menurutku. Tergantung bagaimana menikmatinya. Sebuah pencapaian tentu harus ada pengorbanan. Lalu tentu pembaca bertanya “apa pencapai yang penulis inginkan?”. Menemukan nilai kemanusiaan jawabku. Ya nilai kemausian sesungguhya. Bukan cuma slogan-slogan kosong. Lewat berbagai media yang tak pernah lelah mambual tentang perubahan. Semua begitu pandai main sulap dengan kata-kata tanpa tindakan nyata, semua itu omong kosong.
Sikap kritis terhadap persoalan adalah barang langka dalam kerangka pemikiran generasi muda bangsa ini. Dimana kita begitu dilenakan dengan kemajuan teknologi, sementara kenyataan disekitar kita banyak rakyat lapar, miskin ilmu, lemah dalam lembah kebodohan. Semua yang pernah berinteraksi dengan Rumah Dunia, baik relawan, siswa kelas menulis akan merakan bagaimana sikap kritis kita diasah. Kita bisa saling mengkritik tentang untuk perbaikan. Karena kritik yang membangun akan dapat melihat akar permasalahan yang ada dan akhirnya akan memberikan sebuah solusi bagaimana menyelesaikannya.
Ode Kampung sebuah acara temu sastrawan se-kampung nusantara digelar awal februari 2006. Acara ini menurutku lebih tepat disebut sebagai temu keprihatinan para sastrawan. Kampung sebagai tempat lahir, bermukim dan bertumbuh kini semakin terpinggirkan. Jalanan yang rusak, harga gabah yang rendah, sembako tak terbeli, lampu penerangan jalan yang jarang jika pun ada nyalanya byar pet, dan budaya baca yang kurang adalah sekelumit keprihatinan kita juga. Ode Kampung adalah refleksi diri agar kita bisa lebih kritis terhadap kampung kita sendiri.

Rumah Dunia akan Hancur

Pagi ini euphorbia di halaman depan rumahku berbungga. Pernah ada seorang teman yang menghakimi bahwa bunga delapan dewa ku itu akan mati membusuk karena sering tesiram air hujan. Tak pernah kusangka memang, aku akan melihat empat kelopak merahnya merkah diantar duri-duri sepanjang batangnya. Sungguh aku tak pernah menyangka.
Rumah Dunia saat ini seperti euphorbiaku, merekah dan banyak tangan yang ingin melihat, menyentuh dan menjamahnya. Mediasi yang dilakukan gencar selama empat tahun keberadaanya telah terlihat hasilnya. Ini adalah kerja keras dari hati yang paling ikhlas. Sebenar-benarnya keiklasan untuk perubahan dari jiwa-jiwa yang merindukan perubahan di tanah Banten. Pantaslah Alloh memberikan kemudahan jalan selama perjalanan setengah windu ini.
Rumah Dunia baru selesai mengadakan hajatan ulang tahun ke empat yang cukup sukses. Meski tanpa Gola Gong dan relawan yang terpecah konsentrasinya karena mengirimkan duta untuk mengikuti World Book Day di Istora. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Lalu sampailah pada suatu sore di akhir minggu sebelas bulan maret 2006. Rencananya hari ini para dewan penasehat Rumah Dunia dan para donatur tetap akan berkumpul untuk berdiskusi. Karena sesuatu yang tak kutahu sebabnya pertuan itu urung. Aku, para relawan dan anak kelas menulis angkatan 7 duduk melingkar. Kami berdiskusi. Mengasah daya kritis kita akan segala persoalan, berbagi unek-unek semua cair di sore itu.
Jika suatu ketika rumah dunia akan hancur, biarlah kehancuran itu terjadi. Karena setiap yang tercipta pasti akan menemukan tiada. Itu adalah kalam Alloh yang tak bisa dilawan. Namun seperti kata Toto ST Radik, biarlah kehancuran itu kita perlama kedatangannya. Teruslah berkarya, berkegiatan dan bersinergi dengan kehidupan. Jika pun harus hancur, paling tidak magnetik virus perubahan itu telah menjalar ke jiwa-jiwa manusia yang pernah datang ke Rumah Dunia.
Aku ingin terus melihat Rumah Dunia merekah seperti euphorbia di depan rumahku. Meski waktu kadang tak adil keberpihakannya pada keinginanku.

damarati
www.rumahdunia.net

Senin, Mei 01, 2006

BUTA


Serapah tiada guna
Jika hati telah buta
Umpatan seperti kembang gula
Di lidah manis terasa
Mungkin

Itulah kamu yang melihat dengan mata raga
Jelas kamu melihatnya
Sungguh tak perlu indra jiwa kau pahami

Tentang danau di tengah jalan
Tentang cadas yang merontokan kandungan
Tentang aneka bentuk lubang
Di sepanjang setapak marga menuju pulang
Ketika kerontang sudah penghujung uzur
Aku masih menunggu matamu terbuka

Mengharap melihat
Debu yang semakin akrab dengan hidung dan mata
Hingga langkah semakin berat
Karena rata tak kunjung tiba

Kepada kamu yang dulu pernah memberi aku janji
Kutagih suara lantangmu dulu
Sebelum kamu duduk di kursi itu
Secuil kenyataan tentang setapak yang tak kunjung datar

damarati
Cilegon, Maret 2006

TENTANG SEBUAH CERUK



Usah kau bangun mimpi
Di atas cerita indah
Permadani janji

Aku tak peduli lagi
Pada pagi menyapa
Atau siang menggelincirkan surya

Tentang semua itu
Aku sudah tahu
Apapun
Hingga ke sumsum

damaratiCilegon, Maret 2006

BUKU KEMATIANKU


Buku kematianku
Segera setelah pagi tiba kau menyapa
Menjuntai senyum simpul kepastian
Namun selalu kusambut pengingkaran

Mataku terpicing
segaris terang siluet
menuntun aku menemukan tanda
laron-laron bergelimpangan
disekitar lampu usang
seekor cicak gepeng
di ketiak pintu kamar mandi yang tergesa kubuka
rambut dan ketombe yang tanggal dari kulit kepala
ini adalah bahasa bijaksana
Buku kematianku

Selepas subuh sepenggal nama diumumkan telah berpulang
Sebuah kisah yang kudengar, perihnya laksana sayatan seribu pedang
Menyelami nurani
Aku menemukan tanya
Kapan buku kematianku dibuka?

damarati
Ciwaduk, Februari 2006