Rabu, Februari 02, 2005


Harapan dari bunda mu Damar, Semoga kubisa selalu membumikan cintanya di hatiku
-My Lovely Gita-


Malam semakin larut, lingkungan kostku sudah sepi. Samar ku dengar suara gerobak dan piring didentingkan penjaja nasi goreng keliling atau suara langkah kaki terburu-buru, mungkin mahasiswa yang hendak mengerjakan tugas di kost-an temannya. Sekarang memang sedang musim tugas. Terasa begitu lelah mataku, badan dan jiwaku malam ini. Ingin semuanya kuistirahatkan sekarang juga. Tapi masih begitu sulitnya mata terpejam, seakan memaksaku mengenang kejadian sebulan yang lalu .

****
Malam sebulan yang lalu, sekitar pukul 22:00, kudengar bel kost-anku berbunyi. Segera kusambar jilbabku dan kukenakan secepatnya, aku pikir pastilah adik-adik kostku, baru pulang sehabis mengerjakan tugas pendahuluan praktikum. Tapi mereka kok tidak memberi salam seperti biasanya.
“Siapa? “ agak sedikit berteriak aku menanyakan siapa diluar.
Tidak ada jawaban, aku agak sedikit takut juga, masalahnya sudah malam, tapi aku beranikan juga membuka pintu itu. Dan masyaAlloh, gita ternyata, salah satu adik TPA ku. Tapi kok malam-malam begini? Gadis kecil, yang kira-kira berumur 5 tahun didepanku kini sedang tertunduk, membunyikan wajah polosnya, dan terdengar menangis sesenggukan. Dia lagsung menghambur ke arahku, aku coba menenangkan gita sebisaku, ku peluk dia, dan kubelai rambutnya, basah, di luar memang agak gerimis, bajunya juga agak basah. Dan, masyaAlloh…..keningnya berdarah. Segera ku bawa dia ke dalam, ku lap badan dan wajahnya dengan handuk, dan kuambilkan segelas air, aku berharap gita kecilku ini agak sedikit tenang. Segera kuperban luka dikeningnya. Dan ternyata bukan itu luka satu-satunya, pangkal tanganya biru seperti habis dipukuli, punggungnya juga. Aku semakin bertanya-tanya ada apa dengannya. Setelah minum, gita baru mulai mau berbicara:
“Mbak, gita boleh nginep di sini nggak?” lirih suaranya, dan masih tertunduk tidak mau melihat ke arahku.
“Boleh donk…..”jawabku mengiyakan.
“Tapi mbak boleh nanya ya…kening Gita kenapa? Badan Gita juga kok pada biru-biru?”
Pertanyaanku membuatnya menangis lagi, Tuhan..ada apa dengan gadis kecilku ini?
“Mbak, Gita dipukul sama bapak, soalnya Gita pake kertas yang ada di meja buat bikin kapal-kapalan trus gita taruh di selokan”suaranya terbata-bata karena isak tangisnya yang tak kunjung mereda.
“lho…kok Bapak marah? Memangnya kertas apa?”aku heran.
Gita hanya bisa menggeleng.
“Ya udah, Gita sekarang nginep di kamar mbak ya, besok mbak anterin pulang deh”
Tangis gita makin kencang “gita gak mau pulang, ntar dipukulin lagi sama bapak”
Kupeluk bidadari kecil didepanku itu. Segera aku mengajaknya ke kamarku, membaringkannya, dan menyuruhnya segera tidur karena hari sudah malam. Tapi bagaimana ini? Aku membolehkan seorang anak menginap di rumahku sedang orang tuanya kemungkinan besar tidak tahu. Apalagi dengan kondisinya yang seperti itu. Rasa khawatir mulai menyergapku, bisa-bisa para orang tua tidak percaya lagi menitipkan anaknya mengaji pada kami. Segera kutepis rasa khawatirku itu, dan tetap berpikir positif semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tetap harus berbicara dan mengabarkan kepada orang tuanya bahwa anaknya ada bersamaku malam ini. MasyaAlloh, tapi sekarang sudah jam 11 malem, pantaskan seorang akhwat berkeluyuran malam2 begini. It’s urgent …aku harap ada pemakluman untuk ini. Tapi tunggu, bagaimana dengan Gita? Masa aku tinggal dia sendirian? Klo ada apa-apa bagaimana? Minta tolong teman, kost mereka lumayan jauh, aku tidak tega malam-malam begini menyuruhnya datang ke kost-an ku apalagi jalan menuju ke kost-anku agak ‘rawan’.

Aku mencoba berfikir keras, hampir saja kutemukan jawabannya, tiba-tiba gita mengingau,”gita gak mau pulang, gak mau ketemu bapak”
Kuraba keningnya, masyaAlloh, panas sekali, suhu badannya naik drastis. Bisa aku katakan, jika saat itu, sungguh aku panik. Terburu-buru aku mencari kain untuk mengompresnya. Untunglah ada sapu tanganku yang agak tebal dan masih bersih. Setelah kukompres, dia sudah tidak mengigau lagi, hanya panas badannya masih tinggi. Ops, kenapa gak aku hubungi ikhwan saja, siapa tahu mereka bisa menolong.

Aku cek satu-persatu nomor ikhwan yang aku punya, sepertinya aku minta tolong akh handi saja, kebetulan kost-annya tidak jauh dengan rumah gita. Setelah kuceritakan semuanya, akhirnya akh handi bersedia ke rumah orangtua Gita untuk menanyakan hal ini dan atau setidaknya mengabarkan bahwa gita sekarang bersamaku. Sedikit lega aku dibuatnya. Setidaknya aku bisa konsentrasi menjaga gita manisku ini, besok baru aku bilang sekalian mengantarkannya.

Kupandangi gadis kecil didepanku, sesekali dia mengerang mungkin karena rasa sakit luka-luka itu, aku mencoba mengingat kapan pertama kali aku mengenalnya. Kira-kira setahun yang lalu, saat aku bertemu denganya di gang menuju ke kost-anku. Kami langsung akrab, suaranya yang renyah membuatku selalu tersenyum saat bersamanya. Lalu aku mengajaknya mengaji, dan Alhamdulillah Gita mau, dia begitu antusias menanyakan setiap hari apa ngajinya, dan apakah harus menggunakan kerudung? Dan aku begitu terkesan saat sebuah statement jujur dan polos dilontarkannya, kenapa aku berjilbab sedang kakak dan ibunya tidak. Gita gadis kecil yang cerdas. Aku ingat saat dia menjuarai lomba hapalan Al-Quran di masjid kampus pada acara Miladnya. Padahal dia baru satu minggu mengaji denganku. Dan apa yang dialami gita sekarang sungguh membuatku terkejut, kenapa hal seperti ini bisa terjadi padanya, seorang gadis kecil yang masih polos.

Bapak juga pernah memukulku,dulu waktu masih kecil, berapa kali aku juga masih ingat. Waktu kecil, kata mama, aku memang bandel, badung, susah diatur, dan keras kepala. Ya, aku ingat, dulu aku memang bandel. Kesukaanku adalah bermain, dan dulu, saat Bapak dan mama mencari nafkah di Jakarta, aku punya teman-teman(bolehlah aku sebut gank) yang semuanya laki-laki. Kata mama, aku tidak pernah memakai rok waktu kecil seperti lazimnya anak perempuan, aku juga tidak suka bermain boneka. Dulu aku lebih suka permainan yang ramai, seperti bentengan, atau engrang, maen kelereng, atau gasing, dan satu lagi memanjat pohon. Semuanya itu jika aku ingat sangat menyenangkan. Suatu waktu, saat musim rambutan, pohon rambutan di kebun dekat komplek rumah kami juga sedang berbuah lebat. Kami semua bermaksud mengambil semua buah rambutan yang sudah matang dan membaginya bersama-sama. Kami memanjat pohon rambutan itu dan memetiknya dengan semangat. Saat sedang asyik-asyiknya diatas pohon, kakiku digigit semut, reflek aku bergerak-gerak, dan walhasil hilanglah keseimbangan, dan brukkk….aku jatuh di semak-semak. Badanku lecet semua waktu itu. Temanku langsung berlari memanggil orangtuaku, sebenarnya ingin kucegah, tapi aku sendiri tak kuat berdiri. Tak lama, Bapak datang, dan tanpa meminta penjelasan Bapak memukulku. Aku diam saja, tidak menangis, tapi aku tidak terima apa yang Bapak lakukan waktu itu, aku jatuh, tapi kan aku tidak menginginkannya(ini yang aku pikirkna waktu itu). Kubiarkan Bapak memukul pantatku. Sakit badanku, tapi lebih sakit hatiku. Tapi sesudahnya bapak menggendongku ke rumah. Mama yang melihatku penuh luka-luka (bahkan sampai dikepala, karena sebelum jatuh sempat membentur batang pohon rambutan terlebih dahulu) langsung menangis. Segera lukaku dibersihkan, dan aku masih saja tetap diam, apa yang Bapak lakukan betul-betul ada diingatanku, begitu membekas. Malamnya aku demam, mama panik karena aku sering mengigau. Yang aku ingat, Bapak langsung menggendongku dan membawaku ke dokter waktu itu. Selain kejadian itu, Bapak sering memukulku karena seringnya aku pulang dalam keadaan lecet-lecet dan kotor sekali. Dan setiap kali begitu, aku selalu diam saja. Tapi semuanya aku ingat, dan kucatat dalam memoriku, menjadi sebuah tanda tanya besar kenapa harus begitu?

Hingga saat aku sudah kelas 2 SD, pulang sekolah, mukaku lebam, dan tanganku lecet, baju sekolahku sangat kotor dan saku bajuku robek. Sebenernya aku malas pulang tapi aku lapar sekali. Sampai rumah orang yang aku jumpai pertama kali adalah Bapak. Dan begitu melihatku seperti itu, bapak langsung marah-marah,”badung sekali kamu”, dan bersiap hendak kembali memukulku. Tapi entah kenapa, saat itu aku reflek menghindar. Aku ingat(dan bapak juga ingat) apa yang aku katakan waktu itu, “ Pak, kenapa jika lihat aku seperti ini Bapak langsung memukulku, kenapa tidak ditanyakan kenapa aku sampai seperti ini? Salah ya pak jika berkelahi bela teman yang benar?” Dan jika biasanya aku diam saja, maka saat itu aku menangis. Aku merasa bahwa saat itu aku sudah mengeluarkan semua yang terpendam dalam dadaku. Sejak saat itu Bapak tidak pernah lagi memukulku. Mengenang itu, aku merasa menjadi anak yang begitu merepotkan, setiap kali aku dipukul, maka malamnya aku pasti demam. Bapak dan mama selalu langsung membawaku ke dokter. Aku tahu mereka sayang aku dan tidak pernah bermaksud menyakitiku, tapi apa yang mereka, khususnya Bapak lakukan padaku sungguh membekas, membuatku berazzam tidak akan melakukan itu pada anakku kelak.

Dan hal seperti itu terjadi pada gadis kecil nan ayu yang sekarang sedang berbaring didepanku saat ini, bahkan lebih parah(Bapak hanya memukul pantatku, tidak pernah punggung apalagi kepala). Gita memang bukan satu-satunya anak yang mengalami hal seperti ini, sering aku baca dimedia masa penganiayaan anak baik oleh orang lain ataupun oleh keluarganya sendiri(bahkan ada yang sampai meninggal). Haruskah seorang anak diajari dengan cara seperti ini? Jika mereka salah, apakah sebuah pukulan adalah hukuman yang mutlak mereka terima? Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda:

“ Jangan sekali-kali kamu mengacungkan tanganmu kepada anak-anakmu agar mereka takut kepadamu, tapi ajarilah agar mereka takut kepada Alloh semata”

Bahkan untuk hanya sekedar mengacung-acungkan tangan kita kepada anak kecil saja itu tidak boleh, apalagi memukulnya. Pernah kubaca dalam satu kajian ilmiah tentang dampak sikap keras orang tua terhadap anaknya(secara personal psychology) menjabarkan jika anak yang terbiasa dimarahi apalagi dipukuli orang tua agar mentaati suatu peraturan atau karena melakukan kesalahan, maka kebanyakan perkembangan mental dan jiwanya labil, timbul rasa takut yang kadang diluar kewajaran, kesadaran mentaati peraturan yang justru rendah, dan sikap dendam ingin menerapkan hal yang sama kelak”.

Nah lo, serem deh…
Apa yang disabdakan Rasulullah diatas pastilah benar. Ajarkanlah kepada anak-anak bahwa Alloh melihat semua yang dilakukan manusia, dimanapun berada. Ajarkan kepada mereka agar mengetahui dan membedakan mana yang hak dan mana yang bathil. Tumbuhkan dalam jiwa mereke sikap-sikap peduli dan ksih sayang terhadap sekitar. Jadikan mereka pribadi yang peka sosial.

Ups, handphoneku berdering, menyadarkan aku dari lamunan panjang (hampir tertidur sih). Ternyata Akh handi yang menelpon, mengabarkan kalau dia baru saja menyelesaikan urusan itu(afwan merepotkanmu, sampai jam setengah 2 malem pula). Gita memang dipukul oleh Bapaknya, saat itu beliau sedang mabuk, Pulang mencari kertas penting itu (perjanjian dg bank, tak tahu aku masalah apa…), ternyata sudah rusak oleh gita. Tanpa pikir panjang langsung main pukul. Istrinya tidak berani mencegah jika sang suami sedang kolaps. Walhasil gitalah yang jadi korban atas sebuah kesalahan yang sebetulnya bukan sepenuhnya dia yang berbuat(kenapa meletakkan kertas penting disembarang tempat, seorang anak mungkin akan melihatnya sebagai kertas tidak tidak terpakai sehingga digunakannya untuk bermain). Menurut akh handi pula, keluarga Gita sedang berada dalam proses perceraian. Mungkin, kata istrinya 2 minggu lagi mereka resmi bercerai. Shock aku mendengarnya. Bagaimana nasib Gitaku nantinya? Pening kepalaku memikirkan ini semuanya.

Dua minggu kemudian, mereka memang resmi bercerai, sedang hak mengurus Gita diserahkan kepada ibunya. (Sebelumnya aku takut jika hak perwalian jatuh ke tangan Bapaknya). Yang membuatku semakin sedih, ternyata gita harus pindah dari rumah kontrakannya, ke rumah neneknya di Sukabumi. Aku harus berpisah dengan bidadari kecilku ini.

Perpisahan dengannya sungguh mengharukan. Sebelum mereka pergi (sambil membawa semua barang2 rumah tangganya, menggunakan mobile pick up), aku gendong Gita. Kubiarkan dia bertingkah sedikit manja. Saat neneknya juga hendak menggendongnya, Gita tidak mau, hampir saja menangis jika tidak kutenangkan secepatnya. Akhirnya setelah ibunya membujuknya, dia mau juga lepas dari gendonganku. Kuucapkan sedikt kata sebagai tanda berpisah (semoga suatus aat ada masa aku bisa kembali melihatnya):”gita jaga mama ya, truss, gita juga gak boleh manja. Disana gita ntar ngaji juga ya, sama teteh-teteh disana. Ok?” Dia mengangguk-angguk. Dia bahkan meminta neneknya memberintahu nomor telepon di sana dan memintaku sekali waktu menelponnya. Aku mengangguk mantap. Kukecup kening dan pipinya untuk yang terakhir.

******

Jam delapan tadi, aku baru saja menelpon Gita kecilku. Suaranya sudah kembali ceria. Gita kecilku mengabarkan jika dia hendak masuk madrasah. Katanya, mengaji itu asyik.
Gita, mbak doakan kamu, Semoga Alloh memilihmu menjadi mujahidah tangguh-Nya kelak. Amien.

----<--@ Buat mas Hadie, yang baru selesai membaca ini,
Be a good Dad ya buat anak-anak mu kelak J@-->---

Tidak ada komentar: