Menyesakan dada selembar kisah hari ini. Aku terbawa dalam ruang tanya penyelidikan kehilangan barang di tempatku bekerja. Empat jam seperti duduk dalam dakwaan, walau istilahnya diperhalus menjadi DIINTROGASI!
Mengumpulkan data kata orang garda, perusahaan securty yang dikontrak siemen. Data yang mana, data yang akan dibuat sebagai bahan menunjukan jari, menduga, lebih halusnya mencurigai.
OK aku enek hari ini. Titik
Selasa, Mei 23, 2006
Rabu, Mei 03, 2006
Enambelas Purnama di Rumah Dunia

Beberapa waktu yang lalu ketika hujan di penghujung Desember 2004 belum reda, aku temukan tempat ini. Seorang teman dari sebuah komunitas jaringan perpustakaan anak telah berjasa mengantarkan aku. Sebenarnya sudah lama kudengar dan aku ingin berkunjung ke tempat ini, namun karena secara letak geografis yang lumayan jauh dari kosku dan waktu itu motor belum kupanyai maka urunglah niatku untuk menyambangi tempat ini.
Tempat ini bernama Rumah Dunia, sebuah madrasah kebudayaan dimana kita akan mendapat sebuah arti pengabdian dan cinta kasih yang diberi tanpa diminta. Tempat dimana buku menjadi sebuah surga yang tak terkata untuk dinikmati.Bukan sekedar buku ternyata yang ada disini, aku juga disuguhi sebuah tawaran untuk belajar menulis tentang fiksi, jurnalisttik dan skenario TV selam tiga bulan, gratis.
Awal pertemuan itulah yang mengikatkan aku dengan Rumah Dunia. Awalnya mungkin ketertarikanku lebih pada sosok seorang Gola Gong dan kelas manulis yang dibimbingnya. Tetapi setelah tiga bulan aku bergumul dengan kelas menulis rumah dunia, kutemukan banyak pencerahan. Ada beraneka ragam teman yang kujumpai di saat kelas menulis baru dimulai. Seleksi alam membuktikan bahwa hanya yang bersungguh-sungguhlah yang akan sampai tiga bulan kelas menulis digelar.
Bicara manfaat yang kudapat, jangan ditanya lagi berapa jumlahnya, banyak! Ilmu tentang kepenulisan, bacaan yang bermutu, pertemanan yang menyenangkan, bertemu penulis terkenal atau sekedar mencari ketenangan setelah sepekan digagahi kepenatan pekerjaan. Ini hanya sebagian kecil manfaat yang aku sebutkan ada di Rumah Dunia. Dan manfaat yang terpenting aku menemukan sebuah kalimat sakti, begini bunyinya;
”Menjadi terkenal tidaklah penting, menjadi berguna jauh lebih penting“
Ya, menjadi berguna memang jauh lebih penting dari pada sekedar sebuah nama besar atau terkenal yang tak memberikan sumbangsih dalam kehidupan. Betapa kerdil pikiran jika kita hanya mementingkan popularitas, dikenal orang, banyak pengemar namun kosong manfaat yang telah diabdikan bagi masyarakat.
Kini rumah dunia kusetubuhi jiwa dan raga selama enambelas purnama. Aku telah memutuskan untuk tetap menjadikan tempat ini, komunitas ini sebagai sarana pengabdianku agar benar-benar berguna. Langsung diterima masyarakat, tanpa perantara ikut andil dalam sebuah perubahan generasi di tanah Banten ini. Atau kata seorang ustad sebagai ladang amal kelak di dunia sebelum aku bertemu rumah akheratku nanti, semoga sorga yang kudapat.
Berkegiatan di Rumah Dunia
Aku menikmati keberadaan Rumah Dunia sebagai wadah sosialisasi diri. Di pabrik tempat aku bekerja semua berjalan seperti robot, yang ada hanya ya atau tidak, tanpa reserve. Pada gilirannya kebosanan akan rutinitas membutuhkan tempat untuk bermuara. Sebagai manusia aku butuh sebuah penyaluran rasa kejenuhan tersebut dan Rumah Dunia adalah tempatnya. Aku bisa berekspresi sesuka hatiku, menumpahkan kejenuhan lewat tulisan, bekegiatan setiap akhir pekan baik di kelas menulis atau acara lain yang rumah dunia adakan.
Setelah kelas menulis angkatan ke usai, ada sebuah pertanyaan di hati. Akan kemana selajutnya kegiatanku di Rumah Dunia? Cukup sampai di sini saja atau akan mengukir sebuah cerita lain yang memberikan sebuah kemanfaatan. Aku memilih pilihan ke dua. Muncullah ide untuk membuat writing camp sebagai penutupan kelas menulis angkatan ke 5. Bertempat di Kemah Mobil Cotage, Carita para peserta writing camp menimba ilmu tentang kepenulisan. Bagaimana memvisualisasikan apa yang rasakan oleh panca indra untuk kemudian dituangkan dalam tulisan. Di malam harinya kita membakar jagung dan saling bercerita tentang pengalaman. Ada cerita bahagia dan tupahan air mata haru dari para peserta writing camp. Semua berjalan begitu menyenangkan.
Di Rumah Dunia aku menjadi pelayan. Membagi undangan, menyebar leaflet, memasang spanduk, mengakat-angkat kursi sebelum dan seusai sebuah kegiatan hingga menjadi nara sumber di siaran radio pernah aku lakukan untuk Rumah Dunia. Semua kulakukan tanpa dibayar dengan uang. Cukup Alloh saja yang nanti memberi ganjaran di hari akhir.
Gramedia Book Fair banten adalah salah satu acara yang pernah dipercayakan kepadaku untuk menjadi ketua pelaksana. Acara bertema Menuju Banten Membaca, Cerdas dan Kritis tersebut berlangsung dari tanggal 6 – 11 September 2005. Menjadi ketua pelaksana cukup menguras tenaga, pikiran dan banyak waktu yang harus kukorbankan. Dan itu adalah hal yang biasa menurutku. Tergantung bagaimana menikmatinya. Sebuah pencapaian tentu harus ada pengorbanan. Lalu tentu pembaca bertanya “apa pencapai yang penulis inginkan?”. Menemukan nilai kemanusiaan jawabku. Ya nilai kemausian sesungguhya. Bukan cuma slogan-slogan kosong. Lewat berbagai media yang tak pernah lelah mambual tentang perubahan. Semua begitu pandai main sulap dengan kata-kata tanpa tindakan nyata, semua itu omong kosong.
Sikap kritis terhadap persoalan adalah barang langka dalam kerangka pemikiran generasi muda bangsa ini. Dimana kita begitu dilenakan dengan kemajuan teknologi, sementara kenyataan disekitar kita banyak rakyat lapar, miskin ilmu, lemah dalam lembah kebodohan. Semua yang pernah berinteraksi dengan Rumah Dunia, baik relawan, siswa kelas menulis akan merakan bagaimana sikap kritis kita diasah. Kita bisa saling mengkritik tentang untuk perbaikan. Karena kritik yang membangun akan dapat melihat akar permasalahan yang ada dan akhirnya akan memberikan sebuah solusi bagaimana menyelesaikannya.
Ode Kampung sebuah acara temu sastrawan se-kampung nusantara digelar awal februari 2006. Acara ini menurutku lebih tepat disebut sebagai temu keprihatinan para sastrawan. Kampung sebagai tempat lahir, bermukim dan bertumbuh kini semakin terpinggirkan. Jalanan yang rusak, harga gabah yang rendah, sembako tak terbeli, lampu penerangan jalan yang jarang jika pun ada nyalanya byar pet, dan budaya baca yang kurang adalah sekelumit keprihatinan kita juga. Ode Kampung adalah refleksi diri agar kita bisa lebih kritis terhadap kampung kita sendiri.
Rumah Dunia akan Hancur
Pagi ini euphorbia di halaman depan rumahku berbungga. Pernah ada seorang teman yang menghakimi bahwa bunga delapan dewa ku itu akan mati membusuk karena sering tesiram air hujan. Tak pernah kusangka memang, aku akan melihat empat kelopak merahnya merkah diantar duri-duri sepanjang batangnya. Sungguh aku tak pernah menyangka.
Rumah Dunia saat ini seperti euphorbiaku, merekah dan banyak tangan yang ingin melihat, menyentuh dan menjamahnya. Mediasi yang dilakukan gencar selama empat tahun keberadaanya telah terlihat hasilnya. Ini adalah kerja keras dari hati yang paling ikhlas. Sebenar-benarnya keiklasan untuk perubahan dari jiwa-jiwa yang merindukan perubahan di tanah Banten. Pantaslah Alloh memberikan kemudahan jalan selama perjalanan setengah windu ini.
Rumah Dunia baru selesai mengadakan hajatan ulang tahun ke empat yang cukup sukses. Meski tanpa Gola Gong dan relawan yang terpecah konsentrasinya karena mengirimkan duta untuk mengikuti World Book Day di Istora. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Lalu sampailah pada suatu sore di akhir minggu sebelas bulan maret 2006. Rencananya hari ini para dewan penasehat Rumah Dunia dan para donatur tetap akan berkumpul untuk berdiskusi. Karena sesuatu yang tak kutahu sebabnya pertuan itu urung. Aku, para relawan dan anak kelas menulis angkatan 7 duduk melingkar. Kami berdiskusi. Mengasah daya kritis kita akan segala persoalan, berbagi unek-unek semua cair di sore itu.
Jika suatu ketika rumah dunia akan hancur, biarlah kehancuran itu terjadi. Karena setiap yang tercipta pasti akan menemukan tiada. Itu adalah kalam Alloh yang tak bisa dilawan. Namun seperti kata Toto ST Radik, biarlah kehancuran itu kita perlama kedatangannya. Teruslah berkarya, berkegiatan dan bersinergi dengan kehidupan. Jika pun harus hancur, paling tidak magnetik virus perubahan itu telah menjalar ke jiwa-jiwa manusia yang pernah datang ke Rumah Dunia.
Aku ingin terus melihat Rumah Dunia merekah seperti euphorbia di depan rumahku. Meski waktu kadang tak adil keberpihakannya pada keinginanku.
damarati
www.rumahdunia.net
Senin, Mei 01, 2006
BUTA

Serapah tiada guna
Jika hati telah buta
Umpatan seperti kembang gula
Di lidah manis terasa
Mungkin
Itulah kamu yang melihat dengan mata raga
Jelas kamu melihatnya
Sungguh tak perlu indra jiwa kau pahami
Tentang danau di tengah jalan
Tentang cadas yang merontokan kandungan
Tentang aneka bentuk lubang
Di sepanjang setapak marga menuju pulang
Ketika kerontang sudah penghujung uzur
Aku masih menunggu matamu terbuka
Mengharap melihat
Debu yang semakin akrab dengan hidung dan mata
Hingga langkah semakin berat
Karena rata tak kunjung tiba
Kepada kamu yang dulu pernah memberi aku janji
Kutagih suara lantangmu dulu
Sebelum kamu duduk di kursi itu
Secuil kenyataan tentang setapak yang tak kunjung datar
damarati
Cilegon, Maret 2006
TENTANG SEBUAH CERUK
BUKU KEMATIANKU

Buku kematianku
Segera setelah pagi tiba kau menyapa
Menjuntai senyum simpul kepastian
Namun selalu kusambut pengingkaran
Mataku terpicing
segaris terang siluet
menuntun aku menemukan tanda
laron-laron bergelimpangan
disekitar lampu usang
seekor cicak gepeng
di ketiak pintu kamar mandi yang tergesa kubuka
rambut dan ketombe yang tanggal dari kulit kepala
ini adalah bahasa bijaksana
Buku kematianku
Selepas subuh sepenggal nama diumumkan telah berpulang
Sebuah kisah yang kudengar, perihnya laksana sayatan seribu pedang
Menyelami nurani
Aku menemukan tanya
Kapan buku kematianku dibuka?
damarati
Ciwaduk, Februari 2006
Kamis, April 27, 2006
TEMAN JIWA

untuk Khodijah
Seperti baru kemarin kita berpelukan
Dalam damai tak terkata
Menyatu tawa di taman rindu
Kita semai bersama
Tatap cakrawala
atas menara pemandu haluan
Hanya tuk mengungkap
Betapa gagu aku padamu
Tak setegas bagaskara itu
Semalam,
Seekor pari mengibaskan lecutnya
Membimbing aku menekan nomormu
Membangunkan jiwa dalam resah
Betapa gundah ini telah meluap
Mencuri ceruk untuk temukan muara
Ada doa tak terkata
Untukmu teman jiwa
Semoga tabah jalani kisahmu
Cukup disini saja (tanganku menunjuk dada)
kusimpan semua
Untukmu teman jiwaku
Cilegon, April 2006
damarati
PADA SESUNGGUHNYA
Kepada engkau yang menjauh
Tak tersentuh
Dalam mimpi atau rengkuh tubuh
Menutup, milihat gelap di balik
Kelopak mata sehabis menangis
Seusai terbang melintas di dunia
Dimana semua diam
Cuma desah terdengar
Entah iba, entah sesal
Kepada engkau yang menjauh
Tak tersentuh
Setelah berpeluh atau teriak mengaduh
Buta Cuma di mata lahir semata
Disingkap rimbun belukar cinta
Ada pesan setelah satu yang didamba tiada
Ketika relung hati bicara tentang kebenaran
Bukan nisbi, bukan mengagungkan diri
karena aku dan engkau pasti mati
Pada sesungguhnya
Hidup tak perlu disesali
Karena kita tak pernah memilih ini
sekedar dipaksa untuk menjalani
Cilegon, April, 2006
Damarati
Tak tersentuh
Dalam mimpi atau rengkuh tubuh
Menutup, milihat gelap di balik
Kelopak mata sehabis menangis
Seusai terbang melintas di dunia
Dimana semua diam
Cuma desah terdengar
Entah iba, entah sesal
Kepada engkau yang menjauh
Tak tersentuh
Setelah berpeluh atau teriak mengaduh
Buta Cuma di mata lahir semata
Disingkap rimbun belukar cinta
Ada pesan setelah satu yang didamba tiada
Ketika relung hati bicara tentang kebenaran
Bukan nisbi, bukan mengagungkan diri
karena aku dan engkau pasti mati
Pada sesungguhnya
Hidup tak perlu disesali
Karena kita tak pernah memilih ini
sekedar dipaksa untuk menjalani
Cilegon, April, 2006
Damarati
Senin, April 24, 2006
kali ini yang terakhir
Sesepinya hati
tak sesepi malam ini
diantup tawon
pelipis sebelah kiri
Habis magrib
selepas berbuka puasa tadi
Ya sudahlah
rejekiku pada antupan tawon
masih untung jauh dari leher
Nyawa tak tinggal meleler
tak sesepi malam ini
diantup tawon
pelipis sebelah kiri
Habis magrib
selepas berbuka puasa tadi
Ya sudahlah
rejekiku pada antupan tawon
masih untung jauh dari leher
Nyawa tak tinggal meleler
KETEMU
Aha.. aku seperti kembali dari perjalan buntu tak berujung.
Pass word blogger ku ketemu
Huah...
Pass word blogger ku ketemu
Huah...
Selasa, Agustus 16, 2005
Aku Merinding
nurani luluh
anak bangsa tercabik
tak kuasa mengaduh
Isak telah lama sesak
ruang kalbu buntu
Iring-iringan keranda
mengibarkarkan bendera
bertuliskan busung lapar
umbul-umbul lumpuh layu
pengusungnya berjamaah
memakai bendana
bertuliskan ”tidak lulus“
Di gedung beratap hijau
secuil jelma minta kenaikan tunjangan
mengeluh dua puluh juta tak cukup
Padahal mereka dahulu
mengajukan diri
untuk jadi wakil
yang busung lapar,
yang lumpuh layu,
yang tidak lulus,
yang ...masih banyak
yang menggigil dan merinding
hingga kering
untuk raih sekeping
penyambung nafas hingga hening
Aku merinding menyaksikan semua
telanjang di depan mata
anak bangsa tercabik
tak kuasa mengaduh
Isak telah lama sesak
ruang kalbu buntu
Iring-iringan keranda
mengibarkarkan bendera
bertuliskan busung lapar
umbul-umbul lumpuh layu
pengusungnya berjamaah
memakai bendana
bertuliskan ”tidak lulus“
Di gedung beratap hijau
secuil jelma minta kenaikan tunjangan
mengeluh dua puluh juta tak cukup
Padahal mereka dahulu
mengajukan diri
untuk jadi wakil
yang busung lapar,
yang lumpuh layu,
yang tidak lulus,
yang ...masih banyak
yang menggigil dan merinding
hingga kering
untuk raih sekeping
penyambung nafas hingga hening
Aku merinding menyaksikan semua
telanjang di depan mata
Nyanyian Sunyi
Mentari bisa menari
esok
ketika ayam berkokok
biarkan jendela terkatup
angin tak sepoi bertiup
Pergi adalah pasti
karena pengembara selalu sunyi
esok
ketika ayam berkokok
biarkan jendela terkatup
angin tak sepoi bertiup
Pergi adalah pasti
karena pengembara selalu sunyi
Tidurkan aku
Tuhan...
Dalam terjaga masih kusebut namaMu
Bila sayap mimpi membawaku
ingin kusebut pula namaMu
menunggu sebuah penantian
tiba utusanMu jemput aku
dalam keabadian yang Kau janjikan
Jangan panggil aku
ketika masih kusangsikan
damai berbaring di sisi-Mu
tanpa terganggu kenisbian waktu
Dalam terjaga masih kusebut namaMu
Bila sayap mimpi membawaku
ingin kusebut pula namaMu
menunggu sebuah penantian
tiba utusanMu jemput aku
dalam keabadian yang Kau janjikan
Jangan panggil aku
ketika masih kusangsikan
damai berbaring di sisi-Mu
tanpa terganggu kenisbian waktu
Aku Yang Tak Membumi
Pada kenyataan
Yang mendasari aku berpikir
Mengolah segala logika
bermuara pada pemahaman
Bahwa aku mencintaimu
Tanpa kecuali sisi terluar dirimu
Utuh tak runtuh oleh waktu
Bias muram gambaran
nyata di awal
cerita dirajut atas rasa suka
tanpa alasan
Keinginan keutuhan
Kesungguhan sebenarnya
Atas nama cinta
Yang mendasari aku berpikir
Mengolah segala logika
bermuara pada pemahaman
Bahwa aku mencintaimu
Tanpa kecuali sisi terluar dirimu
Utuh tak runtuh oleh waktu
Bias muram gambaran
nyata di awal
cerita dirajut atas rasa suka
tanpa alasan
Keinginan keutuhan
Kesungguhan sebenarnya
Atas nama cinta
Senin, Agustus 15, 2005
HIDANGAN TUBUH
Tayangan teve
menjual dada
Paha, payudara
kelamin busuk
dari jiwa dan tangan terkutuk
Sampah ini
terus meracuni
Setiap hari
Ruang ingatan
lubuk buaian
lenyap rentan
Aku yang memahat hari
Demi sekeping harapan
akan perbaikan
bukan racun yang terus jadi santapan
menjual dada
Paha, payudara
kelamin busuk
dari jiwa dan tangan terkutuk
Sampah ini
terus meracuni
Setiap hari
Ruang ingatan
lubuk buaian
lenyap rentan
Aku yang memahat hari
Demi sekeping harapan
akan perbaikan
bukan racun yang terus jadi santapan
Kamis, Juli 07, 2005
SESAAT DALAM PEKAT
SEMBUNYI DARI CAHAYA LANGIT SIMPANG TIGA
Berpendar lampu benderang
Terang ditengah kota yang
Telah terang meradang
Luka tersembunyi telah hilang rasa nyeri
Dari nurani yang hampir mati
Aku disuguhi cahaya ini
menjual gemerlap untuk saling melahap
entah niat atau hakikat yang ingin didapat
Dari Papan membentang dungu
Memotong atap langit Simpang Tiga
Berlari aku,
Cahaya lebih cepat dariku
kupejam mataku,
Pupilku TAK merontak terima paparannya
aku masih tersadar
dan ingin tetap
Sembunyi dari cahaya langit simpang tiga
Meja kerja, 6 juli 05
Terang ditengah kota yang
Telah terang meradang
Luka tersembunyi telah hilang rasa nyeri
Dari nurani yang hampir mati
Aku disuguhi cahaya ini
menjual gemerlap untuk saling melahap
entah niat atau hakikat yang ingin didapat
Dari Papan membentang dungu
Memotong atap langit Simpang Tiga
Berlari aku,
Cahaya lebih cepat dariku
kupejam mataku,
Pupilku TAK merontak terima paparannya
aku masih tersadar
dan ingin tetap
Sembunyi dari cahaya langit simpang tiga
Meja kerja, 6 juli 05
Sejenak Merangkai Yang Terserak
Akhir minggu, akhir bulan
Kita sibuk mengitung hasil pencarian
sebulan
Ada syukur meluncur
Banyak pula pusing tergelincir
dari jiwa jiwa ringkih tertindih beban
Ah.. hidup
hanya sekelebat mentari
dari timur ke barat
ditelan bagaskara yang resah
hingga lelap dalam selimut malam
Adakah arti menjadi diri
dari sekedar materi
besar gaji
menghitung bunga bank
besar modal ditanam
atau diam diam
membuat rendezvous
dengan selingkuhan
Kita pungut satu satu
makna, hakikat, tujuan
Yang terserak dari rongga tenggorokan kita yang telah serak
Bersyukur ketika nikmat menjemput
Bersabar saat musibah merenggut
damarati,
meja kerja,suatu jum'at siang di akhir Juni 2005
Kita sibuk mengitung hasil pencarian
sebulan
Ada syukur meluncur
Banyak pula pusing tergelincir
dari jiwa jiwa ringkih tertindih beban
Ah.. hidup
hanya sekelebat mentari
dari timur ke barat
ditelan bagaskara yang resah
hingga lelap dalam selimut malam
Adakah arti menjadi diri
dari sekedar materi
besar gaji
menghitung bunga bank
besar modal ditanam
atau diam diam
membuat rendezvous
dengan selingkuhan
Kita pungut satu satu
makna, hakikat, tujuan
Yang terserak dari rongga tenggorokan kita yang telah serak
Bersyukur ketika nikmat menjemput
Bersabar saat musibah merenggut
damarati,
meja kerja,suatu jum'at siang di akhir Juni 2005
Kamis, Juni 23, 2005
DUA RATUS RIBU
Oleh: Dinda Damarati
Tanggal dua puluh lima aku gajian. Setelah melewati sebulan masa penantian menjual tenaga di perusahaan ini. Sebagai seorang buruh kelas rendah menunggu tibanya tanggal dua puluh lima adalah masa penantian yang sangat berat. Karena gaji sebulan tak pernah cukup untuk menutup kebutuhan selama sebulan ke depan. Dipaksa dengan berhemat pun tak pernah pas menutup cukup menutup. Bahkan kadang jika ada kebutuhab mendadak semisal anak sakit, tak sampai satu minggu gaji sebulan tak bersisa. Terpaksa aku berhutang.
Sudah beberapa lubang hutang kubuat agar sampai menghidupi istri dan ketiga anakku hingga akhir bulan. Entah bagaimana nanti aku menutupnya. Yang jelas bagiku kebutuhan keluarga harus kupenuhi. Mereka adalah pengobar semangat hidup. Karena merekalah kuterima keberadaanku sampai sampai detik ini. Seorang buruh kasar.
Selepas bel pulang berbunyi, uang gajian dibagi. Di loket bagian administrasi para karyawan mengantri. Satu per satu karyawan menanti gilirannya maju ke depan loket. Walau tak rapi namun seperti ada kesepakatan untuk tidak saling dorong dan mendahului.
Loket berpembatas kaca itu tidak terlalu besar, kira-kira seukuran loket bioskop. Cuma ada lubang kecil yang menghubungkan antara kasir dan para karyawan. Dari balik kaca loket, kasir membagi hak karyawan bulan ini. Dan kini tiba giliranku menerima gaji.
“Pak Aksan?” kasir bertanya.
“Saya Bu”
“Ini gaji Bapak bulan ini, yang ini struk perhitungannya” Kasir menerangkan sambil menyerahkan amaplop dan selembar kecil kertas.
“Terima kasih Bu” Jawabku dengan mata berbinar, tanpa membaca stuk yang kuterima dan langsung kubuang. Apalah artinya kertas itu kubaca bila tak menambah nilai isi amplop yang kuterima.
Aku segera pulang karena ingin segera bertemu ketiga orang anak istriku. Kukayuh sepeda sepenuh semangat. Berharap cepat tiba di humaku. Ingin segera ketemui anak dan istriku untuk membagi sedikit kebahagiaan. Mengubur gundah yang menggantung di hati dengan uang gajian yang kupegang kini.
***
Malam ini setidaknya bisa teredam daftar tuntutan yang menggunung selama sebulan. Uang belanja yang tak cukup, listrik dan SPP si sulung yang telah menunggak sebulan lamanya, lubang hutang di warung sebelah yang membuatku tak nyenyak tidur, susu si bungsu yang tinggal satu seduhan dan badan anak keduaku yang panas semalam adalah tambahan tuntutan yang harus kutaklukan dengan uang di tangan ku kini.
“Ayah pulang, Ayah pulang” si bungsu berhambur menyambutku ketika aku sampai di rumah.
“Ayah, mana oleh-oleh buat adek?” tanya gadis keciku
“Iya, ayah bawa”
“Mana ayah? cepetan” rengek gadis kecilku tak sabar.
“Nanti di dalam ya”
Istriku telah menunggu di balik pintu. Dengan senyumnya yang teduh dan meneduhkan dia menyambutku. Seperti oase, menyejukan kala kerontang meradang.
Kuhempaskan tubuhku di kursi tamu yang telah mulai robek dan terkelupas di sana-sini. Kuberikan jeruk pesenan si bungsu. Aku puasa merokok hari ini, uangnya kubelikan jeruk itu.
”Capek Mas?“ sambil membawakan tas dan sepatu yanng telah kulepaskan.
”Lumayan dek, ya namanya kerja, mana ada yang ngak capek“ kulempar senyum termanis untuknya, kemudian kuminum seteguk teh pahit hangat yang telah dia sediakan untukku. Cukuplah untuk melepas dahagaku sesaat.
”Mas hari ini gajian kan?“
”Iya, Dek ini dibuka amplopnya?“
Kuserahkan amplop coklat masih bersegel itu pada istriku. Dirobek ujungnya. Dikeluarkan beberapa lembar uang dari dalam amplop tersebut. Lembar demi lembar dia hitung. Tiba di lembar terakhir, istriku tampat kurang yakin. Untuk menggenapkan keyakinannya dihitung ulang jumlah uang dalam amplop itu.
”Bulan ini mas pernah lembur ya?“
”Tidak tuh dek, memang kenapa?”
“Jumlah gajimu lebih dua ratus ribu dari biasanaya lho”
Aku ambil uang tersebut, kuhitung ulang dan memang benar jumlahnya lebih dua ratus ribu. Kucoba ingat darimana kelebihan itu. Bulan ini aku tidak pernah lembur, dalam hitunganku seharusnya gajiku pas, tidak lebih.
Aku tak tahu mesti bagaimana merasa senang atau gamang karena kelebihan gaji ini. Bagaimana tidak senang, uang dua ratus ribu bisa untuk menutup hutangku, menggores senyum di wajah si sulung karena tagihan SPP nya telah kulunasi. Alangkah senangnya.
Namun hati kecilku tak bisa kubohongi untuk sembunyikan rasa gamang dan tak tenang. Uang ini tidak jelas asal usulnya. Subhat kata pak ustad. Aku tak mau keluargaku makan barang yang tak jelas asalnya. Tidak berkah nantinya.
Kupandang wajah istriku. Seakan meminta pendapat, akan diapakan uang ini.
”Dek, bagaimana ini?“
”Ya dipakai mas, kebutuhan kita kan banyak, ini namanya rejeki“ jawab istriku pasti.
”Tapi mas merasa ngak tenang memakai uang yang tidak jelas ini“ aku mencoba membagi kegelisahanku.
”Coba Mas ingat-ingat lagi, mas pernah lembur tidak bulan ini“
”Kamu kan tahu, bulan ini mas selalu pulang tepat waktu karena orderan di pabrik lagi sepi, Mas ndak pernah lembur”
“Iya betul juga, terus rencana mas apa?”
“Duit ini dikembalikan”
“Jangan dikembalikan dulu sih Mas, kita pakai dulu, sekarang kita lagi butuh banyak uang” isriku merajuk.
“Tidak Dek, akan mas kembalikan uang ini, sebelumnya mas cari tahu dulu asal usulnya, siapa tahu ini kesalahan kasir, kasihan kan dia harus mengganti uang ini” jawabku tegas.
Istriku hanya diam lalu masuk kamar. Sepertinya dia marah. Ah wanita selalu disesak oleh perasaannya. Aku hanya bisa bersabar. Paling-paling nanti malam dia sudah minta baikan.
****
Siang seperti biasa selalu garang. Membakar bumi dengan panas yang memberkati. Menebar semangat kerja supaya manusia tak lupa akan fitrahnya. Khalifah di muka bumi.
Aku larut dalam debur peluh yang bukan lagi menganak sungai tapi telah menjadi selaksa samudra. Kubawa nikmatnya dalam setiap niat dan gerakku untuk bekerja.
Senin selalu menjadi hari tersibuk buatku. Apalagi hari senin di awal bulan. Ada saja mesin harus overhould setiap akhir bulan. Inilah rutinitas.
“Apa kabar Pak Aksan?” suara bariton terdengar akrab di belakangku.
Aku hentikan sejenak pekerjaanku. Kumenoleh ke belakang. Ah, menager safety rupanya.
“Alhamdulillah baik Pak, ada apa ya Pak? Ada yang salah dangan perlengkapan yang saya pakai?” tanyaku was-was.
Pria setengah baya ini tiba-tiba menyodorkan tangannya memintaku untuk bersalaman.
“Selamat Pak Aksan, saran anda Quesioner Safety Improvement tentang pemasangan tanda bahaya kebakaaran telah saya terima dan akan segera direalisasikan, semoga Pak Aksan sudah menerima hadiahnya bersama gajian bulan ini”
Aku terdiam. Mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Beberapa detik kemudian aku tersadar kakiku masih menginjak tanah. Seperti sebuah pencerahan, bianglala di siang yang garang.
*Untuk Mas Budi, sabar ya, kita belajar nrimo ing pandum*
Overhould: turun mesin, perbaikan total sebuah instalasi mesin
Safety: Keselamatan kerja
Quesioner Safety Improvement: Pooling saran untuk peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja
Tanggal dua puluh lima aku gajian. Setelah melewati sebulan masa penantian menjual tenaga di perusahaan ini. Sebagai seorang buruh kelas rendah menunggu tibanya tanggal dua puluh lima adalah masa penantian yang sangat berat. Karena gaji sebulan tak pernah cukup untuk menutup kebutuhan selama sebulan ke depan. Dipaksa dengan berhemat pun tak pernah pas menutup cukup menutup. Bahkan kadang jika ada kebutuhab mendadak semisal anak sakit, tak sampai satu minggu gaji sebulan tak bersisa. Terpaksa aku berhutang.
Sudah beberapa lubang hutang kubuat agar sampai menghidupi istri dan ketiga anakku hingga akhir bulan. Entah bagaimana nanti aku menutupnya. Yang jelas bagiku kebutuhan keluarga harus kupenuhi. Mereka adalah pengobar semangat hidup. Karena merekalah kuterima keberadaanku sampai sampai detik ini. Seorang buruh kasar.
Selepas bel pulang berbunyi, uang gajian dibagi. Di loket bagian administrasi para karyawan mengantri. Satu per satu karyawan menanti gilirannya maju ke depan loket. Walau tak rapi namun seperti ada kesepakatan untuk tidak saling dorong dan mendahului.
Loket berpembatas kaca itu tidak terlalu besar, kira-kira seukuran loket bioskop. Cuma ada lubang kecil yang menghubungkan antara kasir dan para karyawan. Dari balik kaca loket, kasir membagi hak karyawan bulan ini. Dan kini tiba giliranku menerima gaji.
“Pak Aksan?” kasir bertanya.
“Saya Bu”
“Ini gaji Bapak bulan ini, yang ini struk perhitungannya” Kasir menerangkan sambil menyerahkan amaplop dan selembar kecil kertas.
“Terima kasih Bu” Jawabku dengan mata berbinar, tanpa membaca stuk yang kuterima dan langsung kubuang. Apalah artinya kertas itu kubaca bila tak menambah nilai isi amplop yang kuterima.
Aku segera pulang karena ingin segera bertemu ketiga orang anak istriku. Kukayuh sepeda sepenuh semangat. Berharap cepat tiba di humaku. Ingin segera ketemui anak dan istriku untuk membagi sedikit kebahagiaan. Mengubur gundah yang menggantung di hati dengan uang gajian yang kupegang kini.
***
Malam ini setidaknya bisa teredam daftar tuntutan yang menggunung selama sebulan. Uang belanja yang tak cukup, listrik dan SPP si sulung yang telah menunggak sebulan lamanya, lubang hutang di warung sebelah yang membuatku tak nyenyak tidur, susu si bungsu yang tinggal satu seduhan dan badan anak keduaku yang panas semalam adalah tambahan tuntutan yang harus kutaklukan dengan uang di tangan ku kini.
“Ayah pulang, Ayah pulang” si bungsu berhambur menyambutku ketika aku sampai di rumah.
“Ayah, mana oleh-oleh buat adek?” tanya gadis keciku
“Iya, ayah bawa”
“Mana ayah? cepetan” rengek gadis kecilku tak sabar.
“Nanti di dalam ya”
Istriku telah menunggu di balik pintu. Dengan senyumnya yang teduh dan meneduhkan dia menyambutku. Seperti oase, menyejukan kala kerontang meradang.
Kuhempaskan tubuhku di kursi tamu yang telah mulai robek dan terkelupas di sana-sini. Kuberikan jeruk pesenan si bungsu. Aku puasa merokok hari ini, uangnya kubelikan jeruk itu.
”Capek Mas?“ sambil membawakan tas dan sepatu yanng telah kulepaskan.
”Lumayan dek, ya namanya kerja, mana ada yang ngak capek“ kulempar senyum termanis untuknya, kemudian kuminum seteguk teh pahit hangat yang telah dia sediakan untukku. Cukuplah untuk melepas dahagaku sesaat.
”Mas hari ini gajian kan?“
”Iya, Dek ini dibuka amplopnya?“
Kuserahkan amplop coklat masih bersegel itu pada istriku. Dirobek ujungnya. Dikeluarkan beberapa lembar uang dari dalam amplop tersebut. Lembar demi lembar dia hitung. Tiba di lembar terakhir, istriku tampat kurang yakin. Untuk menggenapkan keyakinannya dihitung ulang jumlah uang dalam amplop itu.
”Bulan ini mas pernah lembur ya?“
”Tidak tuh dek, memang kenapa?”
“Jumlah gajimu lebih dua ratus ribu dari biasanaya lho”
Aku ambil uang tersebut, kuhitung ulang dan memang benar jumlahnya lebih dua ratus ribu. Kucoba ingat darimana kelebihan itu. Bulan ini aku tidak pernah lembur, dalam hitunganku seharusnya gajiku pas, tidak lebih.
Aku tak tahu mesti bagaimana merasa senang atau gamang karena kelebihan gaji ini. Bagaimana tidak senang, uang dua ratus ribu bisa untuk menutup hutangku, menggores senyum di wajah si sulung karena tagihan SPP nya telah kulunasi. Alangkah senangnya.
Namun hati kecilku tak bisa kubohongi untuk sembunyikan rasa gamang dan tak tenang. Uang ini tidak jelas asal usulnya. Subhat kata pak ustad. Aku tak mau keluargaku makan barang yang tak jelas asalnya. Tidak berkah nantinya.
Kupandang wajah istriku. Seakan meminta pendapat, akan diapakan uang ini.
”Dek, bagaimana ini?“
”Ya dipakai mas, kebutuhan kita kan banyak, ini namanya rejeki“ jawab istriku pasti.
”Tapi mas merasa ngak tenang memakai uang yang tidak jelas ini“ aku mencoba membagi kegelisahanku.
”Coba Mas ingat-ingat lagi, mas pernah lembur tidak bulan ini“
”Kamu kan tahu, bulan ini mas selalu pulang tepat waktu karena orderan di pabrik lagi sepi, Mas ndak pernah lembur”
“Iya betul juga, terus rencana mas apa?”
“Duit ini dikembalikan”
“Jangan dikembalikan dulu sih Mas, kita pakai dulu, sekarang kita lagi butuh banyak uang” isriku merajuk.
“Tidak Dek, akan mas kembalikan uang ini, sebelumnya mas cari tahu dulu asal usulnya, siapa tahu ini kesalahan kasir, kasihan kan dia harus mengganti uang ini” jawabku tegas.
Istriku hanya diam lalu masuk kamar. Sepertinya dia marah. Ah wanita selalu disesak oleh perasaannya. Aku hanya bisa bersabar. Paling-paling nanti malam dia sudah minta baikan.
****
Siang seperti biasa selalu garang. Membakar bumi dengan panas yang memberkati. Menebar semangat kerja supaya manusia tak lupa akan fitrahnya. Khalifah di muka bumi.
Aku larut dalam debur peluh yang bukan lagi menganak sungai tapi telah menjadi selaksa samudra. Kubawa nikmatnya dalam setiap niat dan gerakku untuk bekerja.
Senin selalu menjadi hari tersibuk buatku. Apalagi hari senin di awal bulan. Ada saja mesin harus overhould setiap akhir bulan. Inilah rutinitas.
“Apa kabar Pak Aksan?” suara bariton terdengar akrab di belakangku.
Aku hentikan sejenak pekerjaanku. Kumenoleh ke belakang. Ah, menager safety rupanya.
“Alhamdulillah baik Pak, ada apa ya Pak? Ada yang salah dangan perlengkapan yang saya pakai?” tanyaku was-was.
Pria setengah baya ini tiba-tiba menyodorkan tangannya memintaku untuk bersalaman.
“Selamat Pak Aksan, saran anda Quesioner Safety Improvement tentang pemasangan tanda bahaya kebakaaran telah saya terima dan akan segera direalisasikan, semoga Pak Aksan sudah menerima hadiahnya bersama gajian bulan ini”
Aku terdiam. Mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Beberapa detik kemudian aku tersadar kakiku masih menginjak tanah. Seperti sebuah pencerahan, bianglala di siang yang garang.
*Untuk Mas Budi, sabar ya, kita belajar nrimo ing pandum*
Overhould: turun mesin, perbaikan total sebuah instalasi mesin
Safety: Keselamatan kerja
Quesioner Safety Improvement: Pooling saran untuk peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja
KOMEDI KEHIDUPAN
Lucu bila ku ingat jalan hidupku
Turun naik bak roda pedati
Mundur maju seperti torak mesin dua tak
Senang, bahagia, airmata
Cuma rona-rona
bak jerawat ketika masa kanak tlah lewat
Kusalahkan nasib bila tak mujur
kubenarkan langkah kala ku senang sekujur
Langganan:
Postingan (Atom)