Kamis, November 10, 2011

Pada Sebuah Cerpen

November hadir begitu kuyup setelah gersang begitu garang pada bilangan bulan sebelumnya tak pelak basah menjadi karunia terindah. Musim mulai purik karena tak mau dilirik aneka metode ramalan cuaca yang menurutku sudah tak lagi menarik. Sebagaimana semua mahfum nama bulan kini tak identik bergandengan dengan musim yang menyertainya. Tak terprediksi unpredictable dan untouchable.
Sama halnya dengan musim tak teramal, ada saja hal tak terduga menerpa. Seorang kawan memintaku sesuatu yang tak dinyana, kembali menulis, bukan tentang demand forecasting, inventory control, supply chain optimization management, warehouse  management atau SAP yang tiap hari kenyang dan nanar kupelototi. Pinta kawanku ini adalah kutulis cerita pendek Awalnya tema yang diangakat tentang pergantian tahun namun tak habis sejurus tema lokalitas menyeruak dari labirin yang entah tapi tetap sah. 
Jika saja bukan GolAgong yang meminta atas dasar cintanya pada Rumah Dunia yang menjadi tempat cintaku pula bersemi pada volunteerism, ringan akan kutolak permintaan ini Pada sudut latar lain cerpen ini akan jadi bagian dari antalogi penulis nusantara yang hasil penjualannya nanti akan disumbangkan untuk pembebasan tanah Rumah Dunia . Madrasah ini harus tetap ada dan berkembang menjadi bola salju harus terus menggelinding hingga bisa menjebol dinding ketidakpedulian, kesunyian pada lentara pengetahuan dan pengubur benih apatis pada keadaan yang kian pragmatis-oportunis. 
Mengutip dari kisah Gol A Gong, mimpi rumah dunia menjadi gelanggang remaja semoga menjadi nyata.

''Saat saya SMA, saya terkesan sekali dengan Taman Ismail Marzuki, Gelanggang Remaja Bulungan dan Gelanggang Remaja Merdeka Bandung. Anak-anak remaja difasilitasi; antara olahraga dan seni. Ini sejalan dengan ungkapan "Mens sana in corpore sano", kalimat sakti pujangga Romawi, Decimus Iunius Iuvenalis, yang ditafsirkan “di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat”. Saya ingin antara olahraga dan seni berdampingan. Para olahragawan memiliki cita rasa seni atau para seniman tubuhnya sehat.....
Kini, wujud gelanggang remaja itu mulai tampak; gedung perpustakaan, cafe baca, panggung, lapangan olahraga (futsal), bak lompat jauh, dan saung-saung untuk pameran buku atau lukisan. Tentu saya berharap, setelah tanah Rumah Dunia ini lunas - pada 1 Januari 2011 harus melunasi sejumlah Rp. 150 juta lagi - akan dibangun lapangan basket, ruang tertutup serba guna untuk pertunjukkan kesenian, seminar/diskusi, secretariat bersama untuk oranisaswi literasi, WC umum, dan toko buku.
Dananya dari mana? Hmm, saya selalu mengtatakan, “Allah akan bekerja dengan caranya yang mistreius!” Aku yakin, dana itu akan datang lewat perantara orang-orang baik yang bertebaran di muka bumi ini.
Ah, itu mimpi! Saya yakin, itu bukan mimpi, tapi itulah gagasan yang mengkristal menjadi cita-cita. Dan Allah sudah menjanjikan; jika kita memiliki cita-cita, maka berusaha dan berdoalah! Dan cita-cita saya ini adalah cita-cita semua, yang ingin melihat anak bangsa ini tumbuh sehat dan memiliki hati yang lembut, sehingga lahir generasi baru yang kuat, sehat, cerdas, berani, kritis, jujur, kreatif, inovatif, progresif, dan mandiri!
Kita sudah melakukannya bersama-sama sejak tahun 2000!
Itulah Rumah Dunia, rumah kita bersama. Warisan untuk masa depan! (*)"- Gol A Gong

OK, deadline 1 December 2011 tulisan masuk sudah ditentukan jadi let's keep posting cerpen :)

Selasa, Oktober 11, 2011

Menjadi Terluka Adalah Berharga

Karawang malam ini masih riuh seperti hari kemarin. Kemarin seperti baru saja terjadi. Terjadi seperti mimpi. Biasanya mimpi basah selalu cepat berlalu karena bukan mimpi bertemu hantu. Dalam banyak hal yang tak sama semua pilihan dapat saja hilang, entah diharapkan atau mengalir biasa saja karena harus jujur tak ada rasa tuk hadir apa pun, siapa pun di hati. Sendiri saat ini.
Sangat nyata waktu adalah misteri wajib diamini. Waktu menurut Bang Wikipedia dikutipnya dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian, atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian. Aku menolaknya! Jika kita diam atau tidur waktu juga tetap berjalan. Tak ada rangkaian, sama sekali tak berbuat, sedikit tepat dikatakan berlangsung. 
Sekarang balik lagi ke judul di atas apa korelasinya waktu dengan terluka? Koneksinya itu apa? Apalagi menjadi berharga, apa ada ini? Begini kawan, pada rentang jatah usia ku ada titik dan garis ketika terluka harus dinikmati. Seperti di jalan buntu menahan lebam memar akibat keadaan tak bisa tertolak. Keadaan yang tak bisa tertolak sekali lagi. Aku menyebutnya sebagai proses memeram benih kedewasaan dengan kata yang religius disebut sabar. 
Masa itu jika bisa melaluinya akan kita nikmati buah bahagia bisa berupa cinta bersama orang tersayang, membaui wangi bunga berbunga serta menggauli hangat matahari pagi. Saat itu tak ada yang ingin mati atau pergi. Menjadi luka akan dibawa waktu dengan kata lupa.

Menyambung titik lewat Ngeblog daripada illfill liat Timnas vs qatar





Rabu, September 09, 2009

Sekuntum Matahari Di Padang Mahsyar


Singgah di bumi Allah sudah dua puluh sembilan tahun lamanya. Menikmati segala karunia dari alam untuk menrentas hidup sambil menghabiskan jatah umur (dengan bersyukur tentunya). Hari ini almanak menunjukan tanggal 09.09.2009, yang bagi sebagian orang dianggap hoki, ajib, mistik atau keramat. Ah, aku tak mau membahas soal tanggal itu. Biarkan itu berlalu saja. Setidaknya hikmah yang aku ambil adalah bumi semakin tua.. aku semakin merugi jika menyiakan amanah umur dan kesempatan singgah di bumi.

Siang ini udara begitu panas, pagi tadi aku tak sahur.. teman hidup lagi cemberut. Perjalanan ke tempat kerja di luar kota menguras kesabaran fisik dan jiwa. Aku tak mau mengeluh, karena sempat aku menasehati seseorang tentang sabar dan syukur. Resep itu buatku sekaranga dan berkaca pada paragraph di atas, aku tak mau merugi lagi. Kuanggap ini akan jadi sekuntum matahari di padang Mahsyar nanti. Waállhualam.

Selasa, November 25, 2008

EINS TREND


Satu lagi hal yang menjadi rutinitas di Subang adalah kemacetan saat pulang kerja. Satu jam adalah waktu paling cepat bisa lolos dari jerat macet. Lokasi kemacetan sebenarnya adalah di depan PT Eins Trend, sebuah perusahaan garmen yang sebagian besar karyawannya adalah perempuan. Akar permasalahan dari kemacetan adalah banyaknya angkot yang berhenti di depan pintu gerbang PT. Eins Trend.

Jika manajemen Eins Trend mau sedikit bijaksana seharusnya masalah kemacetan ini tidak perlu terjadi. Caranya sederhana, angkot yang ngetem di depan pintu gerbang yang menghabiskan ruas badan jalan diatur untuk masuk ke kawasan pabrik. Ini akan menghilangkan penumpukan angkot dan jalan menjadi tertib. Cara lain adalah dengan menyediakan jemputan buat karyawan Eins Trend. Karena jujur harus diakui manajemen Eins Trend umlah karyawan sekitar seribuan tersebut berkontribusi pada kemacetan.

Masalah ini hendaknya segera disikapi dengan baik agar masyarakat pengguna jalan lainnya tidak terganggu dengan kondisi ini. Semoga ketidaknyamanan yang aku alami tidak terulang untuk orang lain.

Rabu, Agustus 27, 2008

PERKASA YANG SUDAH TAK LAGI PERKASA


Sudah menginjak bulan ke delapan aku supervisi di Perkasa Heavy Engineering (PHE) Subang. PHE menrupakan salah satu perusahaan group Texmaco. Nama besar Texmaco mungkin lebih akrab didengar masyarakat dibandingkan PHE. Seperti semua sudah mahfum Texmaco, perusahaan kolosal yang ambruk akibat deraan badai krisis moneter tahun 1998 dalam kondisi terseok, hidup segan mati tak mau.

Aku tak akan bercerita bagaimana rumitnya skandal Texmaco, aku hanya ingin mengali pengalaman yang kurasa dengan panca indra selama delapan bulan berinteraksi dengan PHE. Sederhana saja dimulai pada bus jemputan membawaku dari hotel.

Senin, Agustus 11, 2008

Aku adalah relawan?


Pertannyaan di atas mengusikku. Relawan, kuartikan bebas adalah orang yang rela, tanpa pamrih berbuat untuk orang lain untuk kebaikan. Di tepi pantai anyer, reuni kelas menulis kerelawananku, aku sangsikan. Jika menengok kebelakang saat masa bebas begitu jaya. Menjadi relawan di rumah dunia. Sering berkunjung bahkan menginap. Menggagas kegiatan, menjalankannya dengan penuh sukacita. Kini waktu sudah terasa kian sempit. Bagiku kerelawanan telah tergerus pekerjaan, menohok dan menyita kebebasan. Namun pastinya, semangat kerelawanan masih kujaga agar tak padam. Hingga nanti diwaktu yang tepat, ada obor yang siap dinyalakan. Kupercikan api semangat ini hingga nyala "damar"ku lagi.

SUBANG, AGUSTUS 2008


Saya sudah bekerja sejak delapan tahun yang lalu. Keputusan ini diambil salah satunya karena pilihan bekerja menjadi dominan dibanding melanjutkan sekolah. Ya, apalagi aku lulusan sekolah kejuruan. Sepengetahuan waktu itu, bekerja adalah pilihan yang lebih realistis dibandingkan sekolah, kursus atau nongkrong bahkan menganggur. Bekerja juga digenapkan menjadi putusan yang bulat karena kebutuhan merongrong tak memberi jeda untuk memalingkan arah. Hidupku untuk bekerja, mau tidak mau, tidak suka atau suka.

Saya meyakini dengan bekerja hidup akan bermakna lebih dalam. Bekerja memberi arti tersendiri dari sekian rentang kehidupan umur manusia. Dua kalimat tadi rasnya kini artinya mulai bergeser, tak seagung itu. Bermakna! Seperti apa? Bekerja mencari bendabenda, mengejar karier, strata sodial, lebih mantap di mata mertua, atau agar dipujapuja manusia lainnya. Arti bekerja kini tak lebih dari menjual waktu pada pemegang modal, kapitalisme menggurita, mencengkeram setiap sendi urat tulang serta organ ragawi diri ini. Terkadang mengeranyangi batin dan alam sadar. Celakanya, bekerja sekarang seperti memperbudak diri secara sukarela dalam masa produktif hidupku.

Lalu, aku nasehati diriku sendiri. Begini bunyi wejangannya "Kehidupan dunia adalah halte yang harus kamu singgahi, dia tidak membenamkan kamu selamanya. Dan bekerja adalah cemilan yang lezat kamu santap saat menunggu. Dengannya tujuan hakiki hidup dan penciptaan kurang lebih terlengkapi".

Jumat, Juli 18, 2008

My Heaven, My Family


Ternyata sorga ada di dunia. Tak perlu menunggu kita dipanggil oleh Sang Khalik, Dia telah membenamkan surga di dunia. Dalam hati para manusia yang telah menikah, menemukan pasangan hidup, membinanya dengan kasih maka surga itu hadir dengan sendirinya. Benar dan aku membenarkan itu.

Aral melintang, onak dan percikan tak menyenangkan membuat pemacu buatku untuk bertahan dan menghadirkan bahagia. Karena kini bukan pembenaran kesenangan diri yang aku kejar, ada tanggung jawab yang lebih besar mengikuti aku. Aku seorang ayah!

Kamis, Mei 01, 2008

KEMBALI KE SUBANG

Waktu memang bukan aku yang tahu kemana larinya. Sesekali dia mengeliat dalam pusaran hingga memilin jalan kehiupan tanpa ampun dengan derita. Tapi bila aku mau jujur sesungguhnya waktu yang diberikan Allah lebih banyak mengayunku dalam damai, hingga terlelap hening dan tenang seperti bunyi nafas Sabda anakku.
Waktu juga memberi pilihan, dengan tenggang terbatas atau tanpa batas. Saat ini ditentukan aku untuk memilih. Kembali ke Subang, memiling tali hingga menjadi sekat yang kuat pada langkah kehidupanku ke depan nanti.

Sabtu, April 05, 2008

Meruya Panas

Pertemuan ke dua di semester ini
membakar di panas tak terelakan lagi
Dua mata kuliah hari sabtu
Berangkat dari rumah
Sudah masuk lagi
Duduk mematung mendengarkan teori

Ya ini pilihan yang menyenagkan
Kawan sungguh menyenangkan
Sekali lagi menyenangkan
Salam

Sabtu, Maret 29, 2008

MENJADI AYAH

Setumpuk masalah, penat memadat seraga sesumsum
merambat liar dari sadar pertahankan hidup berbekal keberanian
sesumbar bahwa dunia akan bisa tunduk setiap hela nafas
teriak lantang pada pemegang kehidupan. AKU!

Sedetik waktu ketika erangan akibat manusia baru
menerobos yoni dari hibaan doa tak henti
merapal tiap kecap membasah genangan darah
lalu senyap dan bergantilah. ANAKKU!

Mendamba kebaikan dari amanah terindah
tentu tauladan tak datang sendirinya
dia bukan merayap dari kolong nan gelap
kemudian menjadi pusat tarian ramarama

Satu ditiru satu
biar telaga jernih dari matanya
menjadi pemusnah dahagaku akan cinta
karena aku kini menjadi ayah




Sabtu, Januari 12, 2008

SABDA DAMARA PARINGING GUSTIHADI

Semua jika dari nadi, hati
terpilih meraih fitrahku
Dinding rahim mematah ragu
"Pesembahan anugrah apalagi kusemai?"

Jika ruh menyeluruh
Aku seluruh, penuh tak hanya peluh
tak cukup memberi teduh
Menerima suka setimbang bahagia
itu hanya jika penyatuan pada Dia

Sabda Damara Paringing Gusti

Jumat, Juli 06, 2007

LAZY FRIDAY

Ya jumat memang waktu bergulir cepat. Menjadikan aku dalam putaran yang lugu dan tak pernah tahu kemana mesti melangkah. Maju dan itu yang mesti dilakukan agar tak tersungkur dan digusur waktu itu sendiri.

Kamis, Juni 21, 2007

SEKOLAH GRATIS


Menemukan sekolah ini seperti berjumpa dengan oase terduh di gurun hidup yang kerontang dan gempita merayakan imbalan sebagai sesaji. Materi menjadi penentu kelangsungan pendidikan di negeri ini. Bayangkan saja, negara yang seharusya bersuka menanggung tanggung jawab pendidikan seperti mandul. Entah karena nikotin yang terlalu akut mengendap lewat pajak dari cukai telah disadap. Mungkin sudah apatis dan hanya sibuk mengundi nasib pada setiap pergantian kursi pimpinan penyelengara negara. Sudahlah biar berdoa menjadi muara dan tiap diri menyelam pada relung nurani yang bening agar Yang Kuasa selalu menaungi rahmatnya.

Kembali kepada oase tadi, ada PENDIDKAN KHUSUS KEJURUAN TEKNIK di Cilegon yang menawarkan sekolah gratis. Biar lebih jelas syarat dan ketentuannya click gambar di atas.

Semoga kalian bersamaku menemukan oase itu.

Selasa, Juni 19, 2007

FOTO LAMA


Foto lama terlihat usang tanpa terasa waktu telah memekan jatah umur. Mengikuti putaran nasib seperti arus terbawa luncuran garis takdir. Dan aku mungkin manusia lain tak pernah sadar bahwa jatah umur terlalu cepat menurut ukuranku jika disiakan.

Seperti foto ini aku melihat sisi diriku yang lain, memainkan gitar dengan gagah. Waktu itu aku bermimpi menjadi gitaris, TOP. Selangit deh gayaku. Fender stratocaster di tangan.

Tapi pilihan antara realitas dan idealisme dalam hidupku tak selaras. Aku terdampar menjadi seorang karyawan sementara gitarku kini manis tergantung di dinding rumahku. Jika dahulu aku ngotot mungkin ada cerita lain. Bukan berasumsi aku akan bahagia jika pilihan hidup sebagai pemusik aku ambil, namun ada bayangan ada kebebasan disana. Entahlah.
Coba lihat foto aksiku di atas panggung, dan rayakan kebebasan itu kembali, saat ini!

Jumat, Juni 08, 2007

LINTASAN INGATAN


Sudah menjadi suatu rahasia lagi jika aku memang menjadi ga rasional ketika berhadapan dengan kondisi yang membuat aku panik. Tidak perlu sesuatu yang besar untuk membangkitkan perasaan panik itu. Cukup terlintas dalam pikirku lintasan ingatan entah apapun yang tiba-tiba teringat. Tak peduli sedang apa aku, saat ngobrol, buang hajat di kamar mandi sampai yang paling parah lintasan-lintasan itu muncul ketika aku sedang sholat.
Tanpa maksud berpura-pura seringkali bahkan sering membuat aku menjadi lupa akan apa yang sedang aku kerjakan saat ini. Seperti waktu sholat jumat tadi, andai saja ingatan tersebut tidak melintas mungkin sholatku akan menjadi lebih khusyuk. Dan mau tahu ingatan tentang apakah itu? Sebuah buku, sudah aku cari kemana-mana tapi tak kutemukan juga. Sholat jumat sudah sampai rakaat kedua seperti ada yang memberi tahu kalau buku itu dipinjam salah seorang temanku. Ah.. so, dan itu benar adanya.
Sebenarnya aku harus merubah ini. Mengikarinya kemudian lepas landas untuk mengilangkan lintasan yang tak aku inginkan ini. Mulai dari mana? Menelisik kedalam benak, mencari kebar tentang terapi yang tepat. Agar keseimbangan konsentrasiku tetap terjaga.
Apakah yang aku alami ini normal. Bisa ia bisa tidak. Jika intesitasnya terlalu sering mungkin aku bisa dikaragorikan schzoprenik. Mendapat kepuasan hanya dengan ilusi dan bayangan. Pada perenungan yang tak ngelantur menjadi melamun, ini sah saja bukan. Merenung mencari dalam sudut hati tentang keniscayaan kebenaran.

Kamis, Juni 07, 2007

Kebuka lagi


Akhirnya setelah lama berpuasa ngeblog akhirnya aku bisa ngeblog lagi.. he.. he..


Asal tahu aja aku sampai nanya budi Putra si tukang IT yang jago itu, eh malah komentnya suruh ditutup bloggerku ini, kacau. Yah udah saking keselnya aku tak utak utik neh blog. Senengnya sore ini akhirnya blogger kebuka juga, thanks God.


Semua cuma waktu yang tak pernah naif menjawab kebenaran. Mau seperti apapun kamu menanti kalau apa yang kamu inginkan belum untukmu maka jangan harap itu akan terjadi. Yang jelas aku belajar banyak dari kehilangan blogger ini.

Kamis, Januari 04, 2007

Sebuah Ide Di TOP FM Cilegon

Kembali menyambangi bloggerku ini...Tahun berganti, roda dunia berputar dan tahun 2006 meninggalkan kesan hitam putih ada abu abu dan merah saga. Putus patah resah berganti kehampaan. Merapal kembali doa doa telah lama lupa. Jengah menatap mentari 2007 " ada  hubungan aneh di penghujung fajarnya.
Sesekali mungkin perlu merapal kenangan dalam ingatan mesti suram dan buram, tapi bagiku itu harus. 
Bagai waktu pagi yang membuatku mesti berkaca sebelum berangkat kerja.

Malam ini aku dan Bang Aldi meramu diskusi sambil melipur penat akibat sepangjang hari berkerja. Diskusi yang tanpa sengaja menimbulkan kegairahan untul mengulik sebuah kegiatan. "Nonton bareng" sebuah konsep pemutaran film yang rencananya akan dijalanin akhir Januari 2007 ini. 
Sebuah wacana acara yang menarik untuk membangkitkan kegairahan berkarya. 
Sedikit diskusi lebih dahulu diadakan untuk merealisasikan acara ini.

Selintasan tadi aku keluar melihat-lihat halaman belakang radio TOP FM tempat akan diadakan nonton bareng.Sudah terbayang di kelapa acara nanti bagaimana, meski remang remang.
Pastinya ada film yang diputer, sedikit diskusi, makan cemilan dan harapannya akan ada sesuatu yang nyangkut setelah acara ini. Paling tidak ini adalah ajang testimoni bagi Scene10 sebelum mengadakan road show ke SMU di wilayah Banten.

 Bang Aldi juga nampak antusias, aku sangat berharap dan keras berusaha agar lecutan ide ini tak mubazir dan hambar dibelantara mimpi tidurku yang mulai aneh akhir akhir ini. Insya Alloh.

Minggu, November 05, 2006

AL MUNAWAR

Kampung Yang Menggigil
Suatu siang saat bentang meteran
Mematok sisa sejarah manusia
masih terserak di genangan
kemajuan, membinatangkan manusia

Perubahan seperti memburu waktu
Atau waktu itu sendiri diburu perubahan
Membentang keinginan di antara
Keruh comberan nafsu, fitnahfitnah
serapah sinis pada telaga nurani yang keruh

Perjalanan Ke Palembang


Aku meninggalkan Cilegon setelah sholat jumát di awal bulan Syawal 1427. Menuju Palembang, tanah Tsi Lee Fo tse atau Ha Nun, pembangkang dari negeri cina membangun kerajaan bajak laut di tanah ini (menurut kisah dalam perjalanan Cheng Ho, laksamana masyur dari Cina). Ada beberapa tujuan aku berada di tempat ini, hadir di pernikahan wanja dan menemui Aisyah, jiwa yang entah kenapa begitu dahsyat telah membuat aku sedikit sembuh dari cerabut luka karena percaya dibalas khianat.

Bunda melepasku dengan penuh haru. Bu Budi tetangga belakang rumah yang sangat baik padaku ikut repot melepasku, bahkan dimintanya aku menunggu Pak Budi, suaminya pulang dari masjid agar dapat diantar sampai halte bis. Waktu memburu aku dan membuatku dengan halus menolak tawaran baik itu. Naik ojek pilihan yang logis dan tepat agar berkompromi dengan jadwal keberangkatan, 17.30.

Dari Cengkareng, Boing 737 200 milik Sriwijaya Air membawaku terbang di atas ketinggian 26000 m dari permukaan laut. Dengan no penerbangan 084 burung raksasa udara ini melaju kecepatan tak kepalang tanggung, lebih dari 800 km/jam, 10 kali kecepatan vegaku jika dapur mesinnya kupacu mentok. Rasa pekak di telinga akibat deru pesawat bagian yang mesti diterima karena perbedaan tekanan di dalam dan luar kabin.

Gugusan awan dan hamparan mega membentang seperti menempatkan aku di tengah padang kapas tak bertepi. Sore ini bagaskara begitu berbeda dengan merah bersemu jingga saat kulihat telanjang mata di balik jendela pesawat. Kaki langit hanya seperti garis horisontal lurus tak bertepi, saat ilmu pengetahuan belum terbuka sempat diduga itulah tepi dunia. Sesekali cahaya matahari masih masuk ke dalam kabin pesawat. Penerbangan yang aku majukan satu jam dari rencana penerbangan awal ini cukup lancar walau cuaca tak begitu mendukung karena kabut asap pembakaran hutan tak kuasa masih tak terbendung mengapung di udara nusantara.

Setelah berada 50 menit di udara akhirnya Kapten Imran Siregar, pilot penerbangan ini memacu mulus landing pesawat di landasan Bandara Sultan Baharudin 2 Palembang. Aku hubungi Riko, kaka Aisyah untuk dapat menjemputku. Tak lama menunggu Riko datang dengan motor (ternyata di Palembang boleh juga motor masuk di bandara untuk menjemput penumpang, di Jakarta mana ada?). Melihat Rico adalah gambaran dalam pikiranku yang jadi kenyataan tentang tipe para lelaki Bumi Sriwijaya ini. Tak mudah cair saat pertama kali kenal & berjumpa, tapi bisa jadi teman yang baik setelah kenal lebih dekat. (Asumsi ini tak berlaku untuk Mang Rohim).

Rumah pertama yang aku sambangi adalah rumah Aisyah tentunya. Tak sampai lima menit dari bandara aku telah disambut senyum manis itu. Adalah fakta bahwa senyum itu lebih manis dari fotonya. Wajah itu lebih indah dari yang kubayangkan. Yang jelas kehangatan penerimaan kental aku rasakan sebagai nilai positif darinya.

Nenek Aisyah menyambutku (jadi tak enak aku, karena kedatanganku beliau hentikan acara berbuka puasa syawalannya)

“Nenek tinggal dulu ya, sama Aisyah dulu, nenek mo nerusin berbuka” kata beliau.

Segelas air putih dalam kemasan dan satu teh kotak sudah di meja tamu. Sedikit Aisyah bertanya tentang kabar dan cerita perjalanan ke Palembang. Aku jawab singkat-singkat saja. Ada pertanyaan lain sesudah itu, mau mandi? aku memilih mengiyakan tergerak karena lengket dan bau badan sudah tak tertahan.

Setelah membersihkan diri, sholat dan makan, aku ditunggu di ruang tamu. Nenek dan bibi Aisyah dari pihak ibu memperkenalkan anggota keluarga. Kami berbincang tentang banyak hal. Tentang aku, keluargaku, pekerjaan dan kegiatanku di Cilegon. Ah betapa bangganya perempuan sepuh ini pada putrinya, Drs. Titi Muliawati, ibunya Aisyah yang telah berpulang ke rahmattulloh. Ditunjukan foto putrinya meunjukan kebanggaan dan betapa sayang beliau padanya. Atau ini bahasa agar aku pun mengenal yang telah berpulang dan menghormatinya layaknya beliau masih ada.

Pukul 7.45 keluarga Wanja, teman yang menggundangku ke pernikahannya datang. Starlet merah kusam BG 485 AM membawaku ke rumahnya di tiga ilir. Om Jamal duduk di kursi kemudi. Aisyah, Hanny dan Fanny di kursi belakang ikut mengantar.

Selanjutnya cerita mengalir mulai malam itu. Menemukan hal baru. Kebiasaan setempat, cita rasa makanan, budaya yang harus aku junjung sebagai sebuah hukum. Akan ada cerita menarik lain dalam kisah berikutnya yang akan aku tulis pada bagian lain tulisanku.