
Rabu, September 09, 2009
Sekuntum Matahari Di Padang Mahsyar

Selasa, November 25, 2008
EINS TREND

Rabu, Agustus 27, 2008
PERKASA YANG SUDAH TAK LAGI PERKASA

Senin, Agustus 11, 2008
Aku adalah relawan?

SUBANG, AGUSTUS 2008

Jumat, Juli 18, 2008
My Heaven, My Family

Kamis, Mei 01, 2008
KEMBALI KE SUBANG
Sabtu, April 05, 2008
Meruya Panas
membakar di panas tak terelakan lagi
Dua mata kuliah hari sabtu
Berangkat dari rumah
Sudah masuk lagi
Duduk mematung mendengarkan teori
Ya ini pilihan yang menyenagkan
Kawan sungguh menyenangkan
Sekali lagi menyenangkan
Salam
Sabtu, Maret 29, 2008
MENJADI AYAH
merambat liar dari sadar pertahankan hidup berbekal keberanian
sesumbar bahwa dunia akan bisa tunduk setiap hela nafas
teriak lantang pada pemegang kehidupan. AKU!
Sedetik waktu ketika erangan akibat manusia baru
menerobos yoni dari hibaan doa tak henti
merapal tiap kecap membasah genangan darah
lalu senyap dan bergantilah. ANAKKU!
Mendamba kebaikan dari amanah terindah
tentu tauladan tak datang sendirinya
dia bukan merayap dari kolong nan gelap
kemudian menjadi pusat tarian ramarama
Satu ditiru satu
biar telaga jernih dari matanya
menjadi pemusnah dahagaku akan cinta
karena aku kini menjadi ayah
Sabtu, Januari 12, 2008
SABDA DAMARA PARINGING GUSTIHADI
terpilih meraih fitrahku
Dinding rahim mematah ragu
"Pesembahan anugrah apalagi kusemai?"
Jika ruh menyeluruh
Aku seluruh, penuh tak hanya peluh
tak cukup memberi teduh
Menerima suka setimbang bahagia
itu hanya jika penyatuan pada Dia
Sabda Damara Paringing Gusti
Jumat, Juli 06, 2007
LAZY FRIDAY
Kamis, Juni 21, 2007
SEKOLAH GRATIS
Selasa, Juni 19, 2007
FOTO LAMA

Jumat, Juni 08, 2007
LINTASAN INGATAN
Kamis, Juni 07, 2007
Kebuka lagi

Kamis, Januari 04, 2007
Sebuah Ide Di TOP FM Cilegon
Sesekali mungkin perlu merapal kenangan dalam ingatan mesti suram dan buram, tapi bagiku itu harus.
Bagai waktu pagi yang membuatku mesti berkaca sebelum berangkat kerja.
Malam ini aku dan Bang Aldi meramu diskusi sambil melipur penat akibat sepangjang hari berkerja. Diskusi yang tanpa sengaja menimbulkan kegairahan untul mengulik sebuah kegiatan. "Nonton bareng" sebuah konsep pemutaran film yang rencananya akan dijalanin akhir Januari 2007 ini.
Sebuah wacana acara yang menarik untuk membangkitkan kegairahan berkarya.
Sedikit diskusi lebih dahulu diadakan untuk merealisasikan acara ini.
Selintasan tadi aku keluar melihat-lihat halaman belakang radio TOP FM tempat akan diadakan nonton bareng.Sudah terbayang di kelapa acara nanti bagaimana, meski remang remang.
Pastinya ada film yang diputer, sedikit diskusi, makan cemilan dan harapannya akan ada sesuatu yang nyangkut setelah acara ini. Paling tidak ini adalah ajang testimoni bagi Scene10 sebelum mengadakan road show ke SMU di wilayah Banten.
Bang Aldi juga nampak antusias, aku sangat berharap dan keras berusaha agar lecutan ide ini tak mubazir dan hambar dibelantara mimpi tidurku yang mulai aneh akhir akhir ini. Insya Alloh.
Minggu, November 05, 2006
AL MUNAWAR

Suatu siang saat bentang meteran
Mematok sisa sejarah manusia
masih terserak di genangan
kemajuan, membinatangkan manusia
Perubahan seperti memburu waktu
Atau waktu itu sendiri diburu perubahan
Membentang keinginan di antara
Keruh comberan nafsu, fitnahfitnah
serapah sinis pada telaga nurani yang keruh
Perjalanan Ke Palembang

Aku meninggalkan Cilegon setelah sholat jumát di awal bulan Syawal 1427. Menuju Palembang, tanah Tsi Lee Fo tse atau Ha Nun, pembangkang dari negeri cina membangun kerajaan bajak laut di tanah ini (menurut kisah dalam perjalanan Cheng Ho, laksamana masyur dari Cina).
Bunda melepasku dengan penuh haru. Bu Budi tetangga belakang rumah yang sangat baik padaku ikut repot melepasku, bahkan dimintanya aku menunggu Pak Budi, suaminya pulang dari masjid agar dapat diantar sampai halte bis. Waktu memburu aku dan membuatku dengan halus menolak tawaran baik itu. Naik ojek pilihan yang logis dan tepat agar berkompromi dengan jadwal keberangkatan, 17.30.
Gugusan awan dan hamparan mega membentang seperti menempatkan aku di tengah padang kapas tak bertepi. Sore ini bagaskara begitu berbeda dengan merah bersemu jingga saat kulihat telanjang mata di balik jendela pesawat. Kaki langit hanya seperti garis horisontal lurus tak bertepi, saat ilmu pengetahuan belum terbuka sempat diduga itulah tepi dunia. Sesekali cahaya matahari masih masuk ke dalam kabin pesawat. Penerbangan yang aku majukan satu jam dari rencana penerbangan awal ini cukup lancar walau cuaca tak begitu mendukung karena kabut asap pembakaran hutan tak kuasa masih tak terbendung mengapung di udara nusantara.
Setelah berada 50 menit di udara akhirnya
Rumah pertama yang aku sambangi adalah rumah Aisyah tentunya. Tak sampai lima menit dari bandara aku telah disambut senyum manis itu. Adalah fakta bahwa senyum itu lebih manis dari fotonya. Wajah itu lebih indah dari yang kubayangkan. Yang jelas kehangatan penerimaan kental aku rasakan sebagai nilai positif darinya.
Nenek Aisyah menyambutku (jadi tak enak aku, karena kedatanganku beliau hentikan acara berbuka puasa syawalannya)
“Nenek tinggal dulu ya, sama Aisyah dulu, nenek mo nerusin berbuka” kata beliau.
Segelas air putih dalam kemasan dan satu teh kotak sudah di meja tamu. Sedikit Aisyah bertanya tentang kabar dan cerita perjalanan ke Palembang. Aku jawab singkat-singkat saja. Ada pertanyaan lain sesudah itu, mau mandi? aku memilih mengiyakan tergerak karena lengket dan bau badan sudah tak tertahan.
Setelah membersihkan diri, sholat dan makan, aku ditunggu di ruang tamu. Nenek dan bibi Aisyah dari pihak ibu memperkenalkan anggota keluarga. Kami berbincang tentang banyak hal. Tentang aku, keluargaku, pekerjaan dan kegiatanku
Pukul 7.45 keluarga Wanja, teman yang menggundangku ke pernikahannya datang. Starlet merah kusam BG 485 AM membawaku ke rumahnya di tiga ilir. Om Jamal duduk di kursi kemudi. Aisyah, Hanny dan
Selanjutnya cerita mengalir mulai malam itu. Menemukan hal baru. Kebiasaan setempat, cita rasa makanan, budaya yang harus aku junjung sebagai sebuah hukum. Akan ada cerita menarik lain dalam kisah berikutnya yang akan aku tulis pada bagian lain tulisanku.
Senin, Oktober 23, 2006
LEBARAN dan PEMBEBASAN DIRI
Lebaran dari tahun ke tahun semakin menunjukan bergesernya nilai makna yang aku rasakan berbeda. Sepertinya tiap tahun ada yang berkurang, greget semakin hilang. Dahulu saat masih anak-anak, lebaran menjadi waktu yang dinanti. Ada banyak makanan, kue-kue, angpao dari kerabat. Baju baru, minimal dua stel sudah bunda sedikan untuk kami. Manis sangat masa itu. Saudara dari luar kota berdatangan. Kebetulan kakek dan nenek adalah anak tertua dari mbah buyut, sehingga saudara yang lebih mudalah yang datang ke Tegal. Berkumpul dalam kehangatan membangun silaturahmi.
Selepas sholat ied biasanya aku tak langsung pulang ke rumah. Om Afie, adik lelaki ibu, mengajak aku untuk berziarah ke makam mbak buyut dan kerabat yang sudah mendahului berpulang ke Rahmatulloh. Hanya setahun sekali aku mendatangi pemakaman, saat Idul Fitri itu saja. Biasanya saat lebaran pemakaman menjadi ramai, banyak keluarga yang berziarah. Ada semacam kerinduan yang dibagi di waktu itu. Seakan ingatan dibangkitkan, tentang saudara telah berpulang, tak hadir lagi berlebaran bersama lagi.
Sekarang hari terakhir Ramadhan (menurut keyakinanku, karena adikku dan sebagian saudara muslimku sudah mengakhiri puasa dan berlebaran hari ini, ada perbedaan penentuan 1 Syawal antara pemerintah dan Muhammadiyah). Lebaran menjadi tak menarik lagi bagiku. Hanya untuk menetukan tanggal saja masihkah tak didapat kemufakatan. Ilmu dan pengetahuan yang selangit sepertinya sudah membuat hati semakin tinggi. Semua ingin diakui bahwa pendapatnya adalah benar. Jika memang semuanya benar, mengapa tidak diambil mufakat saja. Bukankah indah jika kebersamaan itu dijaga. Mungkin akan ada kompromi-kompromi, tapi anggaplah itu sebagai sebuah pengorbanan dan jalan untuk mencapai kebaikan yang lebih besar. Aku melihat sebagai orang yang awam agama, hal ini akan meningkatkan pencitraan kita sebagai Muslim. Mungkin.
Sengaja aku tak membeli baju baru tahun ini. Sudah sesak isi lemari pakaianku. Ada pemahaman baru bahwa lebaran tak mesti harus berpakaian baru. Menengok sebulan sebelumnya saat Ramadhan bukankah kesederhanaan yang seharusnya dikedepankan saat menyambut hari yang suci & fitri ini. Mencari nilai ketakwaan. Sebagian dari kita mungkin sudah lupa akan esensi sesungguhnya tentang tujuan puasa Ramadhan. Semua cenderung tersedot dalam ritual-ritual seremonial belaka. Kebutuhan penyucian jiwa telah terkotori dengan pesona ibadah berbau pesta. Buka puasa bersama seperti mengumbar liarnya nafsu perut, qiyamul lail dibalut nuansa pesta, Nuzulul Qurán mengalir dengan warna warni pesta tanpa esensi makna. Bahkan hingga lebaran nanti pesta belum berhenti, Halalbihalal menggenapkan pongahnya ritual berbingkai pesta pora. Aku ingin terbebas dari semua, bukankah ada yang lebih berguna untuk dibelanjakan selain menambah jumlah koleksi baju, membesarkan lambung, menari di bawah gemerlap lampu dan aneka seremoni itu. Ada tangan yang lebih punya hak atas harta itu.
Sepertinya diri belum terbebas dari tuhan-tuhan selain Dia. Ada tujuan lain yang tak kasat mata, melintas dalam hati dan seperti kerbau ditusuk hidungnya kita manut mengikuti. Nafsu kambing hitam yang jadi alasan semua yang dilakukan, padahal kita punya kendali untuk semua itu.
Sejenak aku menarik nafas panjang. Ingatan terbentang akan banyak kejadian tahun ini. Pribadi, keluarga, pekerjaan, komunitas dan bermasyarakat. Mencoba lewat tulisan ini aku mengorek diri sendiri. Apakah aku sudah memperoleh kemenangan Ramadhan sesungguhnya. Atau hanya penggemira dan sedang kebingungan menemukan keberadaan Alloh. Apakah aku sudah mengikuti Ibrahim ketika mencari tuhan. Kepada bintang, bulan dan matahari dia gantungkan keyakinan bahwa itulah tuhan. Semua bertepuk sebelah tangan, semuanya bisa hilang dan musnah digilas bergantinya waktu.
Di saat itulah Alloh menunjukan bahwa dialah sebenar-benarnya pencipta, “Kamu jangan menyembah matahari ataupu rembulan itu, tapi sembahlah Dia yang telah menciptakanmu.” (Q.S. Al-Fushilat ayat 37)
Sembari terpekur dalam renungan pencarian, masih aku mengharap dengan sangat agar dapat mengejawantahkan doa minimal lima kali sehari aku baca: “bahwasannya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Alloh, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya…” (Q.S. Al-Anám: 162-163)
Inilah sejatinya pembebasan diri sejati dari tuhan-tuhan palsu, pegangan diri dari liarnya rontaan nafsu. Ya Alloh pertemukan aku dengan Ramadhan tahun depan dalam iman, keyakinan dan diri yang telah telah mengenal utuh sejatinya diri-Mu.
DALAM GENANGAN NANAH
Menjadi bagian tak pernah kumengerti
Liar putarannya
Menyergap membuat tergagap
Memaling syukur dari amal terukur
Sebilah belati hujam menyanyikan nyeri
Sudah kulupa rasa sakit
walau koreng menggenangkan darah
setinggi lutut sebau busuk
Mimpiku hanyut, larut
tenggelam dalam genangan nanah
Temaram kembali direnda waktu
Penghianat sudah bebas menyanyikan madah
terdengar sendawa ganjil di penghujung sana
Entah bungah entah gundah
Yang pasti kutahu kini cuma resah