nurani luluh
anak bangsa tercabik
tak kuasa mengaduh
Isak telah lama sesak
ruang kalbu buntu
Iring-iringan keranda
mengibarkarkan bendera
bertuliskan busung lapar
umbul-umbul lumpuh layu
pengusungnya berjamaah
memakai bendana
bertuliskan ”tidak lulus“
Di gedung beratap hijau
secuil jelma minta kenaikan tunjangan
mengeluh dua puluh juta tak cukup
Padahal mereka dahulu
mengajukan diri
untuk jadi wakil
yang busung lapar,
yang lumpuh layu,
yang tidak lulus,
yang ...masih banyak
yang menggigil dan merinding
hingga kering
untuk raih sekeping
penyambung nafas hingga hening
Aku merinding menyaksikan semua
telanjang di depan mata
Selasa, Agustus 16, 2005
Nyanyian Sunyi
Mentari bisa menari
esok
ketika ayam berkokok
biarkan jendela terkatup
angin tak sepoi bertiup
Pergi adalah pasti
karena pengembara selalu sunyi
esok
ketika ayam berkokok
biarkan jendela terkatup
angin tak sepoi bertiup
Pergi adalah pasti
karena pengembara selalu sunyi
Tidurkan aku
Tuhan...
Dalam terjaga masih kusebut namaMu
Bila sayap mimpi membawaku
ingin kusebut pula namaMu
menunggu sebuah penantian
tiba utusanMu jemput aku
dalam keabadian yang Kau janjikan
Jangan panggil aku
ketika masih kusangsikan
damai berbaring di sisi-Mu
tanpa terganggu kenisbian waktu
Dalam terjaga masih kusebut namaMu
Bila sayap mimpi membawaku
ingin kusebut pula namaMu
menunggu sebuah penantian
tiba utusanMu jemput aku
dalam keabadian yang Kau janjikan
Jangan panggil aku
ketika masih kusangsikan
damai berbaring di sisi-Mu
tanpa terganggu kenisbian waktu
Aku Yang Tak Membumi
Pada kenyataan
Yang mendasari aku berpikir
Mengolah segala logika
bermuara pada pemahaman
Bahwa aku mencintaimu
Tanpa kecuali sisi terluar dirimu
Utuh tak runtuh oleh waktu
Bias muram gambaran
nyata di awal
cerita dirajut atas rasa suka
tanpa alasan
Keinginan keutuhan
Kesungguhan sebenarnya
Atas nama cinta
Yang mendasari aku berpikir
Mengolah segala logika
bermuara pada pemahaman
Bahwa aku mencintaimu
Tanpa kecuali sisi terluar dirimu
Utuh tak runtuh oleh waktu
Bias muram gambaran
nyata di awal
cerita dirajut atas rasa suka
tanpa alasan
Keinginan keutuhan
Kesungguhan sebenarnya
Atas nama cinta
Senin, Agustus 15, 2005
HIDANGAN TUBUH
Tayangan teve
menjual dada
Paha, payudara
kelamin busuk
dari jiwa dan tangan terkutuk
Sampah ini
terus meracuni
Setiap hari
Ruang ingatan
lubuk buaian
lenyap rentan
Aku yang memahat hari
Demi sekeping harapan
akan perbaikan
bukan racun yang terus jadi santapan
menjual dada
Paha, payudara
kelamin busuk
dari jiwa dan tangan terkutuk
Sampah ini
terus meracuni
Setiap hari
Ruang ingatan
lubuk buaian
lenyap rentan
Aku yang memahat hari
Demi sekeping harapan
akan perbaikan
bukan racun yang terus jadi santapan
Kamis, Juli 07, 2005
SESAAT DALAM PEKAT
SEMBUNYI DARI CAHAYA LANGIT SIMPANG TIGA
Berpendar lampu benderang
Terang ditengah kota yang
Telah terang meradang
Luka tersembunyi telah hilang rasa nyeri
Dari nurani yang hampir mati
Aku disuguhi cahaya ini
menjual gemerlap untuk saling melahap
entah niat atau hakikat yang ingin didapat
Dari Papan membentang dungu
Memotong atap langit Simpang Tiga
Berlari aku,
Cahaya lebih cepat dariku
kupejam mataku,
Pupilku TAK merontak terima paparannya
aku masih tersadar
dan ingin tetap
Sembunyi dari cahaya langit simpang tiga
Meja kerja, 6 juli 05
Terang ditengah kota yang
Telah terang meradang
Luka tersembunyi telah hilang rasa nyeri
Dari nurani yang hampir mati
Aku disuguhi cahaya ini
menjual gemerlap untuk saling melahap
entah niat atau hakikat yang ingin didapat
Dari Papan membentang dungu
Memotong atap langit Simpang Tiga
Berlari aku,
Cahaya lebih cepat dariku
kupejam mataku,
Pupilku TAK merontak terima paparannya
aku masih tersadar
dan ingin tetap
Sembunyi dari cahaya langit simpang tiga
Meja kerja, 6 juli 05
Sejenak Merangkai Yang Terserak
Akhir minggu, akhir bulan
Kita sibuk mengitung hasil pencarian
sebulan
Ada syukur meluncur
Banyak pula pusing tergelincir
dari jiwa jiwa ringkih tertindih beban
Ah.. hidup
hanya sekelebat mentari
dari timur ke barat
ditelan bagaskara yang resah
hingga lelap dalam selimut malam
Adakah arti menjadi diri
dari sekedar materi
besar gaji
menghitung bunga bank
besar modal ditanam
atau diam diam
membuat rendezvous
dengan selingkuhan
Kita pungut satu satu
makna, hakikat, tujuan
Yang terserak dari rongga tenggorokan kita yang telah serak
Bersyukur ketika nikmat menjemput
Bersabar saat musibah merenggut
damarati,
meja kerja,suatu jum'at siang di akhir Juni 2005
Kita sibuk mengitung hasil pencarian
sebulan
Ada syukur meluncur
Banyak pula pusing tergelincir
dari jiwa jiwa ringkih tertindih beban
Ah.. hidup
hanya sekelebat mentari
dari timur ke barat
ditelan bagaskara yang resah
hingga lelap dalam selimut malam
Adakah arti menjadi diri
dari sekedar materi
besar gaji
menghitung bunga bank
besar modal ditanam
atau diam diam
membuat rendezvous
dengan selingkuhan
Kita pungut satu satu
makna, hakikat, tujuan
Yang terserak dari rongga tenggorokan kita yang telah serak
Bersyukur ketika nikmat menjemput
Bersabar saat musibah merenggut
damarati,
meja kerja,suatu jum'at siang di akhir Juni 2005
Kamis, Juni 23, 2005
DUA RATUS RIBU
Oleh: Dinda Damarati
Tanggal dua puluh lima aku gajian. Setelah melewati sebulan masa penantian menjual tenaga di perusahaan ini. Sebagai seorang buruh kelas rendah menunggu tibanya tanggal dua puluh lima adalah masa penantian yang sangat berat. Karena gaji sebulan tak pernah cukup untuk menutup kebutuhan selama sebulan ke depan. Dipaksa dengan berhemat pun tak pernah pas menutup cukup menutup. Bahkan kadang jika ada kebutuhab mendadak semisal anak sakit, tak sampai satu minggu gaji sebulan tak bersisa. Terpaksa aku berhutang.
Sudah beberapa lubang hutang kubuat agar sampai menghidupi istri dan ketiga anakku hingga akhir bulan. Entah bagaimana nanti aku menutupnya. Yang jelas bagiku kebutuhan keluarga harus kupenuhi. Mereka adalah pengobar semangat hidup. Karena merekalah kuterima keberadaanku sampai sampai detik ini. Seorang buruh kasar.
Selepas bel pulang berbunyi, uang gajian dibagi. Di loket bagian administrasi para karyawan mengantri. Satu per satu karyawan menanti gilirannya maju ke depan loket. Walau tak rapi namun seperti ada kesepakatan untuk tidak saling dorong dan mendahului.
Loket berpembatas kaca itu tidak terlalu besar, kira-kira seukuran loket bioskop. Cuma ada lubang kecil yang menghubungkan antara kasir dan para karyawan. Dari balik kaca loket, kasir membagi hak karyawan bulan ini. Dan kini tiba giliranku menerima gaji.
“Pak Aksan?” kasir bertanya.
“Saya Bu”
“Ini gaji Bapak bulan ini, yang ini struk perhitungannya” Kasir menerangkan sambil menyerahkan amaplop dan selembar kecil kertas.
“Terima kasih Bu” Jawabku dengan mata berbinar, tanpa membaca stuk yang kuterima dan langsung kubuang. Apalah artinya kertas itu kubaca bila tak menambah nilai isi amplop yang kuterima.
Aku segera pulang karena ingin segera bertemu ketiga orang anak istriku. Kukayuh sepeda sepenuh semangat. Berharap cepat tiba di humaku. Ingin segera ketemui anak dan istriku untuk membagi sedikit kebahagiaan. Mengubur gundah yang menggantung di hati dengan uang gajian yang kupegang kini.
***
Malam ini setidaknya bisa teredam daftar tuntutan yang menggunung selama sebulan. Uang belanja yang tak cukup, listrik dan SPP si sulung yang telah menunggak sebulan lamanya, lubang hutang di warung sebelah yang membuatku tak nyenyak tidur, susu si bungsu yang tinggal satu seduhan dan badan anak keduaku yang panas semalam adalah tambahan tuntutan yang harus kutaklukan dengan uang di tangan ku kini.
“Ayah pulang, Ayah pulang” si bungsu berhambur menyambutku ketika aku sampai di rumah.
“Ayah, mana oleh-oleh buat adek?” tanya gadis keciku
“Iya, ayah bawa”
“Mana ayah? cepetan” rengek gadis kecilku tak sabar.
“Nanti di dalam ya”
Istriku telah menunggu di balik pintu. Dengan senyumnya yang teduh dan meneduhkan dia menyambutku. Seperti oase, menyejukan kala kerontang meradang.
Kuhempaskan tubuhku di kursi tamu yang telah mulai robek dan terkelupas di sana-sini. Kuberikan jeruk pesenan si bungsu. Aku puasa merokok hari ini, uangnya kubelikan jeruk itu.
”Capek Mas?“ sambil membawakan tas dan sepatu yanng telah kulepaskan.
”Lumayan dek, ya namanya kerja, mana ada yang ngak capek“ kulempar senyum termanis untuknya, kemudian kuminum seteguk teh pahit hangat yang telah dia sediakan untukku. Cukuplah untuk melepas dahagaku sesaat.
”Mas hari ini gajian kan?“
”Iya, Dek ini dibuka amplopnya?“
Kuserahkan amplop coklat masih bersegel itu pada istriku. Dirobek ujungnya. Dikeluarkan beberapa lembar uang dari dalam amplop tersebut. Lembar demi lembar dia hitung. Tiba di lembar terakhir, istriku tampat kurang yakin. Untuk menggenapkan keyakinannya dihitung ulang jumlah uang dalam amplop itu.
”Bulan ini mas pernah lembur ya?“
”Tidak tuh dek, memang kenapa?”
“Jumlah gajimu lebih dua ratus ribu dari biasanaya lho”
Aku ambil uang tersebut, kuhitung ulang dan memang benar jumlahnya lebih dua ratus ribu. Kucoba ingat darimana kelebihan itu. Bulan ini aku tidak pernah lembur, dalam hitunganku seharusnya gajiku pas, tidak lebih.
Aku tak tahu mesti bagaimana merasa senang atau gamang karena kelebihan gaji ini. Bagaimana tidak senang, uang dua ratus ribu bisa untuk menutup hutangku, menggores senyum di wajah si sulung karena tagihan SPP nya telah kulunasi. Alangkah senangnya.
Namun hati kecilku tak bisa kubohongi untuk sembunyikan rasa gamang dan tak tenang. Uang ini tidak jelas asal usulnya. Subhat kata pak ustad. Aku tak mau keluargaku makan barang yang tak jelas asalnya. Tidak berkah nantinya.
Kupandang wajah istriku. Seakan meminta pendapat, akan diapakan uang ini.
”Dek, bagaimana ini?“
”Ya dipakai mas, kebutuhan kita kan banyak, ini namanya rejeki“ jawab istriku pasti.
”Tapi mas merasa ngak tenang memakai uang yang tidak jelas ini“ aku mencoba membagi kegelisahanku.
”Coba Mas ingat-ingat lagi, mas pernah lembur tidak bulan ini“
”Kamu kan tahu, bulan ini mas selalu pulang tepat waktu karena orderan di pabrik lagi sepi, Mas ndak pernah lembur”
“Iya betul juga, terus rencana mas apa?”
“Duit ini dikembalikan”
“Jangan dikembalikan dulu sih Mas, kita pakai dulu, sekarang kita lagi butuh banyak uang” isriku merajuk.
“Tidak Dek, akan mas kembalikan uang ini, sebelumnya mas cari tahu dulu asal usulnya, siapa tahu ini kesalahan kasir, kasihan kan dia harus mengganti uang ini” jawabku tegas.
Istriku hanya diam lalu masuk kamar. Sepertinya dia marah. Ah wanita selalu disesak oleh perasaannya. Aku hanya bisa bersabar. Paling-paling nanti malam dia sudah minta baikan.
****
Siang seperti biasa selalu garang. Membakar bumi dengan panas yang memberkati. Menebar semangat kerja supaya manusia tak lupa akan fitrahnya. Khalifah di muka bumi.
Aku larut dalam debur peluh yang bukan lagi menganak sungai tapi telah menjadi selaksa samudra. Kubawa nikmatnya dalam setiap niat dan gerakku untuk bekerja.
Senin selalu menjadi hari tersibuk buatku. Apalagi hari senin di awal bulan. Ada saja mesin harus overhould setiap akhir bulan. Inilah rutinitas.
“Apa kabar Pak Aksan?” suara bariton terdengar akrab di belakangku.
Aku hentikan sejenak pekerjaanku. Kumenoleh ke belakang. Ah, menager safety rupanya.
“Alhamdulillah baik Pak, ada apa ya Pak? Ada yang salah dangan perlengkapan yang saya pakai?” tanyaku was-was.
Pria setengah baya ini tiba-tiba menyodorkan tangannya memintaku untuk bersalaman.
“Selamat Pak Aksan, saran anda Quesioner Safety Improvement tentang pemasangan tanda bahaya kebakaaran telah saya terima dan akan segera direalisasikan, semoga Pak Aksan sudah menerima hadiahnya bersama gajian bulan ini”
Aku terdiam. Mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Beberapa detik kemudian aku tersadar kakiku masih menginjak tanah. Seperti sebuah pencerahan, bianglala di siang yang garang.
*Untuk Mas Budi, sabar ya, kita belajar nrimo ing pandum*
Overhould: turun mesin, perbaikan total sebuah instalasi mesin
Safety: Keselamatan kerja
Quesioner Safety Improvement: Pooling saran untuk peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja
Tanggal dua puluh lima aku gajian. Setelah melewati sebulan masa penantian menjual tenaga di perusahaan ini. Sebagai seorang buruh kelas rendah menunggu tibanya tanggal dua puluh lima adalah masa penantian yang sangat berat. Karena gaji sebulan tak pernah cukup untuk menutup kebutuhan selama sebulan ke depan. Dipaksa dengan berhemat pun tak pernah pas menutup cukup menutup. Bahkan kadang jika ada kebutuhab mendadak semisal anak sakit, tak sampai satu minggu gaji sebulan tak bersisa. Terpaksa aku berhutang.
Sudah beberapa lubang hutang kubuat agar sampai menghidupi istri dan ketiga anakku hingga akhir bulan. Entah bagaimana nanti aku menutupnya. Yang jelas bagiku kebutuhan keluarga harus kupenuhi. Mereka adalah pengobar semangat hidup. Karena merekalah kuterima keberadaanku sampai sampai detik ini. Seorang buruh kasar.
Selepas bel pulang berbunyi, uang gajian dibagi. Di loket bagian administrasi para karyawan mengantri. Satu per satu karyawan menanti gilirannya maju ke depan loket. Walau tak rapi namun seperti ada kesepakatan untuk tidak saling dorong dan mendahului.
Loket berpembatas kaca itu tidak terlalu besar, kira-kira seukuran loket bioskop. Cuma ada lubang kecil yang menghubungkan antara kasir dan para karyawan. Dari balik kaca loket, kasir membagi hak karyawan bulan ini. Dan kini tiba giliranku menerima gaji.
“Pak Aksan?” kasir bertanya.
“Saya Bu”
“Ini gaji Bapak bulan ini, yang ini struk perhitungannya” Kasir menerangkan sambil menyerahkan amaplop dan selembar kecil kertas.
“Terima kasih Bu” Jawabku dengan mata berbinar, tanpa membaca stuk yang kuterima dan langsung kubuang. Apalah artinya kertas itu kubaca bila tak menambah nilai isi amplop yang kuterima.
Aku segera pulang karena ingin segera bertemu ketiga orang anak istriku. Kukayuh sepeda sepenuh semangat. Berharap cepat tiba di humaku. Ingin segera ketemui anak dan istriku untuk membagi sedikit kebahagiaan. Mengubur gundah yang menggantung di hati dengan uang gajian yang kupegang kini.
***
Malam ini setidaknya bisa teredam daftar tuntutan yang menggunung selama sebulan. Uang belanja yang tak cukup, listrik dan SPP si sulung yang telah menunggak sebulan lamanya, lubang hutang di warung sebelah yang membuatku tak nyenyak tidur, susu si bungsu yang tinggal satu seduhan dan badan anak keduaku yang panas semalam adalah tambahan tuntutan yang harus kutaklukan dengan uang di tangan ku kini.
“Ayah pulang, Ayah pulang” si bungsu berhambur menyambutku ketika aku sampai di rumah.
“Ayah, mana oleh-oleh buat adek?” tanya gadis keciku
“Iya, ayah bawa”
“Mana ayah? cepetan” rengek gadis kecilku tak sabar.
“Nanti di dalam ya”
Istriku telah menunggu di balik pintu. Dengan senyumnya yang teduh dan meneduhkan dia menyambutku. Seperti oase, menyejukan kala kerontang meradang.
Kuhempaskan tubuhku di kursi tamu yang telah mulai robek dan terkelupas di sana-sini. Kuberikan jeruk pesenan si bungsu. Aku puasa merokok hari ini, uangnya kubelikan jeruk itu.
”Capek Mas?“ sambil membawakan tas dan sepatu yanng telah kulepaskan.
”Lumayan dek, ya namanya kerja, mana ada yang ngak capek“ kulempar senyum termanis untuknya, kemudian kuminum seteguk teh pahit hangat yang telah dia sediakan untukku. Cukuplah untuk melepas dahagaku sesaat.
”Mas hari ini gajian kan?“
”Iya, Dek ini dibuka amplopnya?“
Kuserahkan amplop coklat masih bersegel itu pada istriku. Dirobek ujungnya. Dikeluarkan beberapa lembar uang dari dalam amplop tersebut. Lembar demi lembar dia hitung. Tiba di lembar terakhir, istriku tampat kurang yakin. Untuk menggenapkan keyakinannya dihitung ulang jumlah uang dalam amplop itu.
”Bulan ini mas pernah lembur ya?“
”Tidak tuh dek, memang kenapa?”
“Jumlah gajimu lebih dua ratus ribu dari biasanaya lho”
Aku ambil uang tersebut, kuhitung ulang dan memang benar jumlahnya lebih dua ratus ribu. Kucoba ingat darimana kelebihan itu. Bulan ini aku tidak pernah lembur, dalam hitunganku seharusnya gajiku pas, tidak lebih.
Aku tak tahu mesti bagaimana merasa senang atau gamang karena kelebihan gaji ini. Bagaimana tidak senang, uang dua ratus ribu bisa untuk menutup hutangku, menggores senyum di wajah si sulung karena tagihan SPP nya telah kulunasi. Alangkah senangnya.
Namun hati kecilku tak bisa kubohongi untuk sembunyikan rasa gamang dan tak tenang. Uang ini tidak jelas asal usulnya. Subhat kata pak ustad. Aku tak mau keluargaku makan barang yang tak jelas asalnya. Tidak berkah nantinya.
Kupandang wajah istriku. Seakan meminta pendapat, akan diapakan uang ini.
”Dek, bagaimana ini?“
”Ya dipakai mas, kebutuhan kita kan banyak, ini namanya rejeki“ jawab istriku pasti.
”Tapi mas merasa ngak tenang memakai uang yang tidak jelas ini“ aku mencoba membagi kegelisahanku.
”Coba Mas ingat-ingat lagi, mas pernah lembur tidak bulan ini“
”Kamu kan tahu, bulan ini mas selalu pulang tepat waktu karena orderan di pabrik lagi sepi, Mas ndak pernah lembur”
“Iya betul juga, terus rencana mas apa?”
“Duit ini dikembalikan”
“Jangan dikembalikan dulu sih Mas, kita pakai dulu, sekarang kita lagi butuh banyak uang” isriku merajuk.
“Tidak Dek, akan mas kembalikan uang ini, sebelumnya mas cari tahu dulu asal usulnya, siapa tahu ini kesalahan kasir, kasihan kan dia harus mengganti uang ini” jawabku tegas.
Istriku hanya diam lalu masuk kamar. Sepertinya dia marah. Ah wanita selalu disesak oleh perasaannya. Aku hanya bisa bersabar. Paling-paling nanti malam dia sudah minta baikan.
****
Siang seperti biasa selalu garang. Membakar bumi dengan panas yang memberkati. Menebar semangat kerja supaya manusia tak lupa akan fitrahnya. Khalifah di muka bumi.
Aku larut dalam debur peluh yang bukan lagi menganak sungai tapi telah menjadi selaksa samudra. Kubawa nikmatnya dalam setiap niat dan gerakku untuk bekerja.
Senin selalu menjadi hari tersibuk buatku. Apalagi hari senin di awal bulan. Ada saja mesin harus overhould setiap akhir bulan. Inilah rutinitas.
“Apa kabar Pak Aksan?” suara bariton terdengar akrab di belakangku.
Aku hentikan sejenak pekerjaanku. Kumenoleh ke belakang. Ah, menager safety rupanya.
“Alhamdulillah baik Pak, ada apa ya Pak? Ada yang salah dangan perlengkapan yang saya pakai?” tanyaku was-was.
Pria setengah baya ini tiba-tiba menyodorkan tangannya memintaku untuk bersalaman.
“Selamat Pak Aksan, saran anda Quesioner Safety Improvement tentang pemasangan tanda bahaya kebakaaran telah saya terima dan akan segera direalisasikan, semoga Pak Aksan sudah menerima hadiahnya bersama gajian bulan ini”
Aku terdiam. Mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Beberapa detik kemudian aku tersadar kakiku masih menginjak tanah. Seperti sebuah pencerahan, bianglala di siang yang garang.
*Untuk Mas Budi, sabar ya, kita belajar nrimo ing pandum*
Overhould: turun mesin, perbaikan total sebuah instalasi mesin
Safety: Keselamatan kerja
Quesioner Safety Improvement: Pooling saran untuk peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja
KOMEDI KEHIDUPAN
Lucu bila ku ingat jalan hidupku
Turun naik bak roda pedati
Mundur maju seperti torak mesin dua tak
Senang, bahagia, airmata
Cuma rona-rona
bak jerawat ketika masa kanak tlah lewat
Kusalahkan nasib bila tak mujur
kubenarkan langkah kala ku senang sekujur
TANAH YANG MERADANG
Tanah yang meradang
Hampar mata ku pandang hanya gersang
Tak pernah mengerti apa
tingkap masa selalu menyisakan dusta
Ada harap yang tak pernah tertangkap
di liang gendang telinga,
atau sedikit ngiang di relung jiwa
Sekap sebisa mungkin kau dekap
Hai para jiwa yang kan bergelut dalam kancah
Pegang kuasa warisan sultan tlah kehilangan trah
Terus bisakah kau lurus
Kembara mimpi negeri tak terurus
Retak, pecah, liang ranah
Meretas higga getas sampai kutemukan pantas
Di Sudut waktu kan kah terejawantah
mengerut sunggut menggigil lutut
Jadi patut
Hampar mata ku pandang hanya gersang
Tak pernah mengerti apa
tingkap masa selalu menyisakan dusta
Ada harap yang tak pernah tertangkap
di liang gendang telinga,
atau sedikit ngiang di relung jiwa
Sekap sebisa mungkin kau dekap
Hai para jiwa yang kan bergelut dalam kancah
Pegang kuasa warisan sultan tlah kehilangan trah
Terus bisakah kau lurus
Kembara mimpi negeri tak terurus
Retak, pecah, liang ranah
Meretas higga getas sampai kutemukan pantas
Di Sudut waktu kan kah terejawantah
mengerut sunggut menggigil lutut
Jadi patut
Cukuplah DIA Cintaku
-buat dinda
Berharap utuh dari mahluk
Adalah salah bila ku angap bahagia
kan ku reguk
Berharap cinta pada mahluk
mengantang asap mengukir langit
di sudut hati terpuruk
Dia telah menitipkan malaikat di kedua bahu
mambawa terbang dalam lautan penyatuan insan pada Khaliknya
Bebas dari kepentingan, keberpihakan, nafsu dan keinginan memiliki
Namun tiada pernah kita rasa
Padahal jika berjujur diri
lebih dekat bahasa Dia dibanding urat nadi
Hanya sedikit ku dapat
bila pada mahluk ku berharap
Cukuplah Dia cintaku
Cukuplah Dia cintaku
Cukuplah Dia cintaku
2005-05-23, damaratimeja kerja, setelah sukses hubungi dia
Berharap utuh dari mahluk
Adalah salah bila ku angap bahagia
kan ku reguk
Berharap cinta pada mahluk
mengantang asap mengukir langit
di sudut hati terpuruk
Dia telah menitipkan malaikat di kedua bahu
mambawa terbang dalam lautan penyatuan insan pada Khaliknya
Bebas dari kepentingan, keberpihakan, nafsu dan keinginan memiliki
Namun tiada pernah kita rasa
Padahal jika berjujur diri
lebih dekat bahasa Dia dibanding urat nadi
Hanya sedikit ku dapat
bila pada mahluk ku berharap
Cukuplah Dia cintaku
Cukuplah Dia cintaku
Cukuplah Dia cintaku
2005-05-23, damaratimeja kerja, setelah sukses hubungi dia
SEPI
Selisik angin delik hati
aura terwakili kesenyapam diri
kosong... Hampa...
dalam desah tak terkata
Episode tertunda
terkapar luka
daya tlah lama dirampas
bekas tinggal seutas
Persinggahan seperti istana pasir
indah dipandang ringkih dipegang
Interlude samar buatku takut
gamang dalam kalut
damarati, Mei 2005 Antara Rumah Dunia dan rumahku
MEMBACA MIMPI
Kegetiran menggelora
Rapuh ku punya sukma
Akal menggerang dalam paham ku dangkal
Penat berkuasa
Ragaku alpa
Malam aku terkekang
Dibawa arus jeram bawah sadar
Tamsil apa ini?
jauh terang dari lubuk kelam
Tersesat masuk pusaran
Geblek!!!
damarati, Mei 2005
Selasa, Juni 21, 2005
MERENTAS MIMPI
Sebuah jalan kini dilalui
Kanan kirinya
Tumbuh pohon ilmu pengetahuan, cinta
dan penghargaan pada sesama
Rimbun oleh ide, ejawantah karya
Hijau segar mewarna masa perlintasan
Kita kini tlah sampai di ujung jalan
Lima purnama berbilang
Kini waktunya untuk mengucap salam
Mungkin perpisahan, ode selamat tinggal
Hanya segelintir tersisa
Dari segumpal benih ingin dilatih
Dikayak waktu
Alam memilih kehendaknya
merentas mimpi nyata adanya
Benih kebajikan=20
Mulai semi tunasnya
Hanya dan hanya
Kerja keras dan kesabaran
Nanti kan lihat hasil nyata
Sungguh dan hanya sungguh
Seluruh rasa syukur
Akan luruh bersama hati kami yang tulus
Padamu Robbi yang mempertemukan jiwa-jiwa kami
Dalam ikatan Rumah Dunia ini
dari damarati, tulus dari hati
Meja kerja, 8:29 AM
Kanan kirinya
Tumbuh pohon ilmu pengetahuan, cinta
dan penghargaan pada sesama
Rimbun oleh ide, ejawantah karya
Hijau segar mewarna masa perlintasan
Kita kini tlah sampai di ujung jalan
Lima purnama berbilang
Kini waktunya untuk mengucap salam
Mungkin perpisahan, ode selamat tinggal
Hanya segelintir tersisa
Dari segumpal benih ingin dilatih
Dikayak waktu
Alam memilih kehendaknya
merentas mimpi nyata adanya
Benih kebajikan=20
Mulai semi tunasnya
Hanya dan hanya
Kerja keras dan kesabaran
Nanti kan lihat hasil nyata
Sungguh dan hanya sungguh
Seluruh rasa syukur
Akan luruh bersama hati kami yang tulus
Padamu Robbi yang mempertemukan jiwa-jiwa kami
Dalam ikatan Rumah Dunia ini
dari damarati, tulus dari hati
Meja kerja, 8:29 AM
Rabu, April 13, 2005
PRAHARA DI BUKIT TIDAR (Reload)
Oleh: Damarati
Matahari mulai mengintip dari timur. Merayap naik di antara sela pertemuan lereng Merapi dan Merbabu. Cahayanya kuning keemasan. Menghangatkan pagi yang masih basah oleh embun semalam.
Slamet belum terbangun dari peraduan. Sinar matahari tanpa permisi masuk dari jendela kamar Slamet yang telah terbuka. Hangatnya membuat Slamet terjaga. Pertanda bagi dia untuk segera pergi ke ladang. Tanaman palawija dan umbi-umbian yang dia tanam telah menunggu tangan telatennya.
Sementara di dapur, Ratmi sudah bergelut dengan asap dan jelaga. Wanita itu menyiapkan sarapan dan bekal bagi Slamet ke ladang. Rutinitas ini sudah mulai akrab dia lakon sebagai wujud bakti seorang istri.
“Mas Slamet, ayo bangun” sembil mengoncangkan perlahan tubuh Slamet yang mulai terjaga. Nyawanya masih setengah memasuki raga.
“Jam piro saiki?” tanya Slamet.
“Wis awan, ayo adus terus age-age budal menyang kebon”
Tanpa menjawab Slamet beranjak pergi meninggalkan kamar. Beberapa saat kemudian dia telah selesai dengan aktifitas paginya. Kini dia siap membuka hari dengan kerja.
Lereng Tidar yang membentang dari selatan ke utara. Sebagian lereng masih ditumbuhi pohon pinus dan cemara gunung. Jika naik ke atas lagi ada hutan kecil. Tempat taruna AKABRI berlatih perang perangan. Sisi utara lereng Tidar menyimpan mitos tersendiri. Dua makam tanpa nama di batu nisan. Penduduk sekitar menamakan tempat itu Petirasan Kyai Sepanjang. Menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, di dalam makam tertanam pusaka peninggalan kerajaan Mataram. Karena mitos pulalah banyak yang mencari tuah dengan tirakat di tempat itu.
Sementara di bagian lereng Selatan terlihat area pertanian. Ada juga petak pemeliharan ikan mas dan nila. Tampak pula rumpun padi tertanam baik di sengkedan. Menghampar laksana anak tangga berlapis karpet hijau.
Di lahan yang tidak terlalu luas Slamet menanam harapannya. Palawija dan kacang kacangan tumbuh dengan subur sebagian dari mimpi itu yang mulai terwujud.
Bagi Slamet tanah ini adalah karunia. Begitulah Tuhan merahmatinya. Permohonan untuk menyewa tanah negara ini dikabulkan oleh Perhutani. Mungkin karena krisis ekonomi yang begitu menjerat rakyat hingga akhirnya pemerintah sedikit bijak. Lahan ini disewakan dengan sistem bagi hasil. Slamet sangat terbantu dengan kebijakan ini.
Meskipun pendidikannya tidak tinggi Slamet sangat teguh dalam memegang pendiriannya. Terutama soal pilihan hidupnya sebagai petani. Bertani adalah warisan dari ayah yang tetap dipertahankan. Sementara banyak saudaranya memilih merantau ke Jakarta, Slamet tetap memilih tinggal di Magelang. Untuk bertani, pilihannya pasti.
Hari ini suasana hati Slamet pun sedang cerah. Ratmi istri yang baru dinikahinya dua bulan yang lalu telah memberikan kebahagian yang belum pernah dia rasakan dalam hidupnya. Lukisan tentang keluarga behagia yang dia bayangkan selama ini telah tertoreh dalam masa bulan madu ini. Ratmi istri yang cantik. Alam Kopeng yang sejuk memberi rahmat bagi rupa Ratmi. Wajah elok tanpa poles make up. Kulit putih mulus. Tubuh sekel berisi membangkitkan imaji liar kala mata kaum Adam memandang. Pantaslah jika dia menjadi bunga desa di kampungnya.
Sebuah anugrah lagi bagi slamet karena berhasil menyunting Ratmi. Bagi Ratmi sendiri sebuah tanda tanya besar mengapa berkenan menerima Slamet yang sederhana. Mungkin inilah anehnya cinta. Bermain di hati, membutakan pertimbangan akal dan nurani. Mungkin karena hanya rasa dan naluri yang bermain di sini. Cinta tak perlu alasan.
Seperti biasa, hari ini slamet mengarap lahannya. Peluh telah menggenangi tubuh Slamet ketiak matahari telah sampai sepenggalah. Dia berhenti sejenak. Kemudian dia berteduh di gubug gribig untuk melepas lelah. Dibukanya bekal yang disiapkan oleh istrinya tercinta.
“Ah indah betul hari ini” gumamnya.
“Sebentar lagi panen tiba. Tingggal menhitung hari saja. Semoga semuanya lancar” sambungnya.
Meski hitungan pasaran wetonku dan Ratmi kurang bagus menurut betal jemur. Senen legi bertemu sabtu paing. Alamat kisruh ketika memulai usaha. Namun hamparan ladang ini menghanguskan semua ramalan itu. Semoga hitungan itu salah. Semoga.
∂
Manusia diciptakan Tuhan beragam watak dan tabiat. Ada manusia berbudi luhur dan ada pula yang bermoral hancur. Seperti Pak Ramon, pengusaha mebel dari Bandung. Lelaki bermata biru. Diwarisi dari ayahnya yang Belanda. Ibunya orang Sunda. Wajah blasteran ini memang terbukti berhasil menaklukan banyak wanita. Dia beristri satu namun tak terhitung berapa gundik dan istri simpanannya. Bisa jadi hal ini yang membuat dia terlihat muda di usianya yang menginjak lima puluh lima.
Di dunia perkayuan dia terkenal handal dalam memainkan trik dan siasat bisnis. Mungkin lebih dekat dengan intrik dan licik. Prinsip hidup Pak Ramon adalah berusahalah menjadi pemenang, bagaimana pun caranya..
Usaha Pak Ramon bisa dibilang sukses. Dia telah memiliki beberapa toko mebel di berbagai kota. Otak bisnisnya tidak pernah mengenal kata cukup dalam melebarkan sayap usaha. Tidak jauh dari bisnis kayu tentunya. Saat ini bisnis kayu olahan mulai dia lirik. Prospeknya cukup cerah, terutama kayu olahan sengon dan albasia. Dia telah melihat bukti keberhasilan beberapa perusahaan Salatiga yang sukses di bidang ini. Ingin sekali dia mengeruk rupiah dari bongkahan log kayu.
Magelang, kota dingin yang menjanjian, pikir Pak Ramon. Bukit Tidar adalah target salah satu lokasi yang diincarnya sejak dulu. Bukit Tidar bukan hanya subur menjajikan. Lebih dari itu mimpinya untuk menggali harta terpendam di tanah itu akan segera menjadi kenyataan.
Pak Ramon sedang menikmati suara burung perkutut kesayangannya. Sambil duduk di kursi malas di teras rumahnya yang luas. Tentu saja luas sebab rumah tersebut terletak di kawasan elit perumahan Kyai Langgeng.
“Narto!” Panggil Pak Ramon pada centengnya.
“Dalem Ndoro” Bergegas sang centeng menghapiri seruan majikannya.
“Ah, kamu ini lama sekali dipanggil! Dari mana saja kamu?”
“Anu Ndoro, anu, saya baru selesai mengerjakan tugas yang Ndoro suruh”
“Tugas yang mana? Masalah tanah maksudmu?” Pak Ramon menebak
“Leres Ndoro” jawab Narto Mantap
“Berarti bulan depan akau sudah bisa mulai membangun. Betul?”
“Maaf Ndoro. Masih ada satu orang yang belum bersedia menyerahkan tanahnya. Padahal dia cuma menyewa dari perhutani”
“Cepat urus dia. Cuma cerurut kecil saja kamu kewalahan.” Pak Ramon kesal
”Saya akan segera kerjakan seperti perintah Ndoro. Saya beri dia pelajaran. Biar kapok dan bersedia menjual sawahnya ke Ndoro“
“Bagus, bagus, biar jera dia. Berani sekali cerurut itu melawanku. Urus cerurut itu agar bersedia melepas tanahnya“
“Punten Ndoro, kalau dia masih ngeyel”
“Goblok kamu! Berarti kamu tidak becus menjalankan perintahku. Kalo tidak bisa maen kasar kamu main halus. Mengerti kamu?” Masih tak hilang roman marah di wajah Pak Ramon.
“Halus gimana Ndoro?”
“Sekarang dengarkan aku baik-baik. Ini Rencana halusnya. Ganggu istri Slamet. Buat dia tidak nyaman. Umpan Slamet dengan wanita. Bikin goncang keluarganya. Biar dia tidak tenang tinggal di lereng Tidar. Paham?” Tanya Ramon meminta jawab
“Baik Ndoro”
Narto pergi meninggalkan rumah mewah itu. Hatinya geram. Gara-gara Slamet dia kena damprat Pak Ramon. Narto geram. Ingin sekali dai menghajar Slamet jika bertemu nanti. Tapi hatinya masih gamang. Bagaimana pun dia harus berperan perlahan lahan, dengan cara halus. Itu yang dipesankan Pan Ramon. Dia menyungging senyum licik. Nampak pikiran lacur telah bermain di otak kerdil Narto.
∂∂
Arus sungai Elo mengalir dengan deras. Airnya berkejaran menuju muara di laut Selatan. Gemaricik suara air bertabrakan dengan bebatuan menambah syahdu suasana kali Elo. Air Sungai Elo masih cukup jernih, maka pantaslah jika banyak penduduk sepanjang pinggir kali memanfaatkannya untuk mandi dan mencuci. Ada pula yang sedang memandikan kerbau. Suasana ramai biasanya dijumpai ketika pagi dan sore hari.
Sore itu Ratmi berjalan menuju sungai Elo untuk mandi. Dia menyusuri jalan setapak yang masih licin karena hujan siang tadi. Ratmi harus berhati hati-hati melangkahkan kakinya agar tak terpeleset jatuh ke bawah karena jalan setapak yang menurun cukup curam. Suasana sepanjang jalan sudah sepi karena hari menjelang malam. Azan magrib sebentar lagi berkumandang.
Ratmi tidak menyadari dirinya sedang diawasi. Sepasang mata jalang mengikuti setiap geraknya. Dari gelagat yang mencurigakan nampak niat yang tidak baik pada Ratmi. Kurang beberapa meter lagi Ratmi sampai di kali. Tiba-tiba sosok yang mengendap-endap muncul menghadang Ratmi.
”Mau kemana wong ayu?“ Lelaki berambut gondrong dan bergigi tongos itu genit menggoda Ratmi.
”Sopo kowe? aku ra kenal kowe“ tanya Ratmi marah.
”Walah, walah, ayu ayu kok galak tapi tambah ayu loh“ tangannya mulai nakal mencolek tubuh Ratmi.
”Hei jangan kurang ajar kamu“ sambil menampik tangan jail orang itu.
”Ayo sini sama mas, mas temenin sore-sore mandi, he..he..“kini tangan jail itu mencoba memegang tangan Ratmi.
“Lepaskan, lepaskan atau aku berteriak”
”Silahkan berteriak tidak akan ada yang dengar“
”Tolong... tolong... tolong...“ Ratmi berteriak sekuatnya. Histeris.
Suasana Suara teriakan Ratmi nyaring terdengar. Slamet yang kebetulan sedang berjalan pulang mendengar teriakan itu. Dia sangat mengenali suara itu. Suasana hatinya tidak menentu, antara khawatir, cemas dan geram. Itu suara isteriku Slamet menduga dalam hati. Slamet berlari secepatnya menuju asal suara. Betapa terkejut Slamet ternyata dugaannya bernar.
“Hei lepaskan istriku” bentak Slamet
Tanpa ba bi bu orang berambut gonrong dan bergigi tongos itu lari tunggang langgang. Seperti pencuri yang ketahuan. Slamet tidak mencoba mengejar, dia lebih mengkhawatirkan keselamatan istrinya.
“Ratmi, kowe ra po po toh?” tanya Slamet cemas.
“Ndak po po Mas Cuma kaget wae”
“Ya sudah syukur kalau begitu. Sekarang pulang saja ya?”
“Nanti dulu Mas aku kan belum mandi”
“Ooo gitu mas tunggu sampai kamu selesai mandi” sambil tersenyum Slamet mengawasi Ratmi yang sedang mandi. Suara azan berkumandang, waktu kembali berputar. Seperti tali alam bergelora kentara di tatap mata mereka. Slamet dan Ratmi.
∂∂∂
Siang yang garang membakar bumi. Suara buldoser dan eskalator terdengar lantang meratakan lahan Slamet. Narto dengan pongah mengomandoi proses penggusuran tersebut. Meski tanpa seizin Slamet penggusuran itu mesti dilakukan. Soal Slamet urusan belakangan. Hal terpenting sekarang adalah bagaimana pabrik Pak Ramon segera berdiri secepatnya. Narto tidak mau lagi keholangan muka di hadapan Pak Ramon.
Dari kejauhan seseorang berlari menghampiri lahan yang sedang diratakan itu. Dia berlari secepat-cepatnya menghampiri kumpulan orang yang sedang meratakan lahannya. Dari wajahnya nampak sekam yang sedang tertahan, tinggal tunggu dimuntahkan. Dia adalah Slamet sang pemilik lahan.
Seharusnya hari ini Slamet menuai hasil ladangnya. Tanamannya telah siap panen. Tinggal menhitung untung saja. Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan yang membelalak mata. Lahannya telah rata, hancur bersama harapannya yang terkubur.
Kenyataan itu membuat Slamet murka. Senuan ini karena ulah Narto. Dihunusnya sabit yang sedianya untuk menyiangi rumput. Setan rupanya telah bertengger di benak dan pikirannya. Dirinya telah dikuasai amarah. Membara seperti lahar. Siap membakar semua yang dilaluinya.
“Hei To!” matanya tajam menatap Narto.
“Sekarang baru kutahu biang keladinya itu kamu, jangkrik!”hujat slamet menusuk
“Terus sekarang apa maumu, hah..” Jawab Narto meremehkan
“Kurang ajar, jangan disangka aku takut sama kamu To!”
“Tak perduli kamu punya banyak tukang pukul. Kamu telah menginjak injak martabatku” tak dinyana sabit yang sedari tadi digenggamnya kini menayambar dan berkelebat cepat mengarah ke leher Narto.
Menghadapi serangan tiba-tiba itu secara reflek Narto menghindar. Dengan membungkukan badannya serangan itu dapat dilekan. Sebagai mantan bromocorah yang cukup disegani dia telah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
Sambil berkelit dia pegang tangan Slamet untuk kemudian mengunci pergelangannya hingga sabit yang dipegang Slamet lepas. Gerakan yang praktis.
“Celaka kamu met!” tanpa babibu lagi anak buah Narto langsung menyambut samsak hidup yang telah dilumpuhkan majikannya.
Habislah badan Slamet menjadi bulan bulanan anak buah Narto. Pukulan dan tendangan mengarah tubuh Slamet. Tangannya mencoba melindungi kepala agar tak terkena pukulan yang bertubi-tubi itu.
“Cukup!!” teriak Narto menhentikan pesta anak buahnya
“Jangan dihabisi sekarang, pak Ramon masih perlu tanda tanagannya” Perintah itu langsung dilaksakan.
“Bos bagaimana kalo dia lapor polisi?” Tanya salah seorang anak buah Narto yang berambut gondrong dan bergigi tongos.
“Tidak mungkin! Dia lapor polisi, istrinya kita habisin. Ha…ha…ha...” Narto puas. Kini tabiat buasnya telah terlampiaskan.
Narto dan anak buahnya berlalu meninggalkan Slamet yang terkulai tak berdaya. Mereka kembali meneruskan pekerjaan meratakan tanah yang terhenti karena insiden kecil tadi.
Sambil merintih kesakitan Slamet mencoba bangkit berdiri. Namun luka di tubuhnya terlalu parah. Wajahnya lebam. Pelipisnya bengkak. Dia memegang dadanya yang membiru. Bibirnya robek. Tampak cairan merah keluar dari hidungnya.
Terus mencoba dia bangkit. Mencoba berjalan meski terhuyung. Baru beberapa langkah dia berjalan, tubuhnya roboh. Pingsan.
∂∂∂∂
Slamet tersadar dari pingsan. Pandangannya masih kabur. Dimana aku sekarang, gumamnya dalam hati. Samar-samar dilihat seraut wajah. Wanita. Ya wajah itu sangat akrab dalam memori otaknya. Ratmi istrinya.
“Sudah sadar toh mas?” sapa Ratmi hangat.
“Iya tapi masih pusing kepalaku Rat” jawab Slamet sambil mencoba untuk duduk.
“Jangan banyak bergerak dulu Mas”
”Aku sudah baikan Rat, pegel semua badan kalau terus-terusan tidur“
”Hampir seharian mas pingsan, aku sangat khawatir, takut Mas kenapa-napa“
”Mas ngerti, mas minta kamu juga ngerti keadaan kita saat ini, tentang tanah kita“
”Aku ga mau Mas kenapa napa, kita relakan saja ya mas tanah kita buat Pak Ramon, aku sudah capek diteror terus Mas “
”Tidak Rat, bagaimana pun juga tanah itu akan mas pertahankan, ya sampai masa sewa nya selesai, mas mau pindah bila Pak Ramon secara baik-baik meminta tanah kita”
”Ingat Mas, tanah kita sudah digusur, sudah ancur”
”Mas mau ke rumah Pak Ramon sekarang“
”Eling Mas, sampeyan belum sehat betul“
”Rat mas pengin cepet tuntas masalah ini, mas sudah capet mikirnya“
”Kenapa tidak lapor polisi saja“
“Ah percuma, biar aku tangani sendiri saja, sekarang aku pergi dulu”
Marni menatap suaminya yang telah beranjak pergi. Tinggal sepotong galau yang masih menggantung di sudut hatinya yang rapuh. Ada rasa tidak enak, entah kenapa. Sebuah firasat burukakah. Tiba-tiba di bawah kakinya seekor kucing telah menggeserkan tubuhnya ke kaki Ratmi.
”Eh tobil, eh tobil” Marni keluar latahnya
Terbang semua kegalauan tinggal jikrak dan sapu yang melayang untuk mengusir kucing itu keluar rumahnya.
∂∂∂∂∂
Matahari telah di atas kepala. Slamet telah berdiri di rumah Pak Ramon yang megah. Nuansa angkuh teranpancar dari rumah itu. Makin lengkap sudah rasa tidak nyaman buat Slamet ketika dia mendapat penerimaan yang tak hangat. Hingga sempat pula dia bersitegang dengan penjaga rumah. Jawaban yang dia dapat dari penjaga bahwa pak Ramon sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu. Akhirnya dengan terpaksa Slamet menunggu.
Pagi hari sebelum dia mendatangi rumah pak Ramon dia lebih dulu datang ke lokasi pabrik. Namun karena tidak puas dengan jawaban satpam pabrik akhirnya dia memutuskan untuk datang langsung ke rumah pak Ramon. Harapannya dia bisa bertemu pak Ramon dan segera menyelesaikan kemelut yang terjadi.
Tiga jam sudah Slamet duduk di pos jaga rumah Pak Ramon. Kering sudah tenggorokannya. Jika tidak karena masalah tanah itu sudah dari tadi dia pergi meninggalkan rumah itu. Dalam benaknya dia bertanya, apakah benar sudah disampaikan kedatangannya pada Pak Ramon.
“Maaf ya Pak, sebenarnya Pak Ramon ada tidak?”
“Kamu tidak percaya ya sama saya?” mata penjaga itu melotot seperti mau keluar.
“Saya bukan tidak percaya sama bapak, tapi sudah tiga jam lebih disini saya mununggu, tapi Pak Ramon tidak juga keluar, sebenarnya dia ada atau tidak pak?”
“Saya tidak pernah menyuruk kamu menunggu disini, itu kan mau kamu sendiri, kalo tidak mau menunggu ya sudah silahkan pergi”
“Baik, saya pergi, sebab percuma saya menghadapi orang seperti kalian” tanpa pamit Slamet bergegas meninggalkan rumah itu.
Penjaga memandang kepergian Slamet dengan tatapan penuh amarah.
Slamet sampai di pusat kota, tepatnya di pasar Gotong Royong ketika hari menjelang senja. Dengan gundah dihati dia susuri pasar.
Gotong Royong sudah lenggang. Keramaian telah digantikan kesenyapan. Kontras suasana di kala pagi dan senja. Waktu mengalir tanpa kuasa dikekang lajunya. Pagi, siang hingga petang adalah perputaran yang semestinya. Masa sujud pada kehendak Sang Kuasa.
Para pedagang telah mengemasi barang-barangnya, hanya tinggal satu dua penjual minuman masih menggelar dagangannya. Pembeli pun sudah mulai jarang. Tukang becak dan tukang ojek masih setia berharap menunggu rejeki yang datang menghampiri. Buruh panggul beristirahat melepas penat di depan kios yang telah ditutup pemiliknya. Memberi kesempatan pada tubuh untuk kembali dapatkan kesegaran yang telah tersita karena peluh telah tertumpah memandikan tubuh.
Memang masih ada satu dua pedangang yang masih mengais rejeki di senja yang telah sepi ini. Mereka adalah pedagang makanan dan minuman. Ada yang benar-benar berdagang makanan dan minuman, ada pula yang punya profesi sambilan. Melayani pembeli sekaligus menawarkan jasa kencan.
Salah satu penjual minuman yang berprofesi ganda tersebut adalah Saritem. Wanita berpakaian menantang setiap pandang mata lelaki yang memandang. Sesekali dia memanggil orang yang lewat di depan warungnya dengan kemayu. Mungkin lebih tepatnya menggoda dengan lirikan mata nakal. Mudah ditebak bahwa dia bukan wanita baik-baik.
“Monggo mampir Mas” sapa genit Saritem dengan kerlingan mata.
Lelaki muda itu tak acuh menanggapi penjual yang genit itu. Namun rasa lapar mengundang hasratnya untuk sekedar singgah. Sedari pagi perutnya belum diisi. Perjalanan yang jauh, cukup melelahkan membuat aku Slamet ingin beristirahat.
Slamet tidak tahu ada bahaya yang sedang mengincar. Dibalik keramahan saritem yang manis tersimpan bisa ular nan bengis. Saritem memberi pelayanan yang ekstra daripada pembeli lainnya. Warung sudah sepi, tinggal dia berdua dengan Slamet.
Tanpa sepengetahuan Slamet, Saritem menyimpan niat jahat untuk mencelakakan Slamet. Makanan dan minuman yang diberikan kepada Slamet telah dibubuhi racun. Meski tidak mematikan namun bisa membuat hialnag kesadaran.
Slamet makan dengan lahap. Namaun selang beberapa suap makanan masuk ke dalam mulutnya kepalanya mendadak pusing. Matanya berkunang kunang dan dalam hitungan detik tubuhnya jatuh tertelungkup di atas meja makan. Dia cuma bisa bergumama dan mendesis pelan.
“Kamu meracuniku.. eghh.. eggh”
“Kamu cuma korban Slamet”
Saritem melihat keadaan sekitar dengan waspada. Setelah dirasa cukup aman dipapah tubuh Slamet berjalan ke bagian belakang biliknya. Kemudian dia menutup warung agar tidak ada orang yang mengetahui rencan jahat yang dilakukan.
Dibaringkan tubuh itu di amben. Ditatapnya tubuh yang lemah tak berdaya.
”Huh.. sukses juga akhirnya rencanaku. Tinggal tunggu kang Narto. Semuanya beres.“ bibirnya menyunggingkan senyum sinis menyimpan dendam.
Pintu belakang warung Saritem diketuk orang. Saritem segera bergegas menuju pintu. Dia ragu untuk segera membuka pintu itu. Sejenak dia berdiri termangu untuk memastikan siapa gerangan di balik pintu.
”Yu, buka pintu yu..., cepat buka yu” suara berat laki laki memanggil di luar.
“Kang Narto ya?” Saritem langgsung menebak oorang dibalik pintu tersebut.
“Ya, cepet buka”
Narto masuk lewat pintu belakang. Mungkin agar lebih aman dan tidak terlihat kehadirannya oleh orang lain. Suasana petang yang mulai remang membuat Narto lebih nyaman menyembunyikan jati dirinya.
“Sudah beres toh semua toh yu?”
“Lihat sendiri kang siapa yang di dipan itu”
Senyum puas merekah dari bibir Narto yang hitam karena rokok.
“Tinggal selangkah lagi rencana kita sukses, yu. Roh adikmu akan segera tenang karena dendamnya akan segera terbalaskan” mata Narto menatap genit ke arah Saritem.
“Iya kang” sambil meraih tangan Narto untuk dibimbingnya masuk ke kamar. Entah apa nanti yang akan terjadi. Namun jika dua insan berlainan jenis telah terjerat oleh tali setan hanya buah dosa yang akan dipetik kemudian.
∂∂∂∂∂∂
Ratmi gundah menunggu suaminya datang. Sudah satu hari Slamet tidak pulang ke rumah. Mondar mandir dia di depan pintu. Banyak tak enak berkecamuk dalam benaknya. Ada kekhawatiran yang sangat akan keselamatan suaminya. Tiba tiba pintu diketuk membuyarkan kegundahannya.
Ratmi segera membuka pintu. Semoga tamu itu suaminya. sudah meluap rasa kangen. Tapi tak seperti biasanya, suaminya selalu mengucapkan salam sebelum masuk ke rumah.
“Pak RT” agak terkejut aku melihat lelaki ini di depan pintu.
“Ada berita kurang menyenangkan tentang suamimu Ratmi” sambil tangannya menyerahkan koran daerah edisi hari ini.
Magelang- Ramon Ramosta, warga Perumahan Taman Kyai Langgeng, Kota Magelang ditemukan tewas dengan tubuh tergantung diatap kamarnya, Selasa (22/3) sekitar pukul 16.00. Ironisnya kejadian ini baru dilporkan ke polisi pukul 20.00.
Dugaan sementara korban tewas karena dibunuh akibat sengketa tanah. Tersangaka utama dalam kasus ini adalah Sl (28), warga lereng tidar. Informasi yang diterima Suara Merdeka dari Narto, penjaga rumah Ramon, Sl telah lama berselisih dengan Ramon karena sengketa tanah....
Ratmi terduduk lemas di kursi. Dari matanya mengalir air menganak sungai. Bayangan kekhawatiran yang selama ini ada dalam pikiranya telah menjelma menjadi nyata. Entah bagaimana lagi kisah ini dibentangkan. Cukup doa yang dia panjatkan kepada yang kuasa. Semoga dia bisa tabah menghadapi ujian ini.
*******
damarati, awal Maret – tengah Juni 2005
Matahari mulai mengintip dari timur. Merayap naik di antara sela pertemuan lereng Merapi dan Merbabu. Cahayanya kuning keemasan. Menghangatkan pagi yang masih basah oleh embun semalam.
Slamet belum terbangun dari peraduan. Sinar matahari tanpa permisi masuk dari jendela kamar Slamet yang telah terbuka. Hangatnya membuat Slamet terjaga. Pertanda bagi dia untuk segera pergi ke ladang. Tanaman palawija dan umbi-umbian yang dia tanam telah menunggu tangan telatennya.
Sementara di dapur, Ratmi sudah bergelut dengan asap dan jelaga. Wanita itu menyiapkan sarapan dan bekal bagi Slamet ke ladang. Rutinitas ini sudah mulai akrab dia lakon sebagai wujud bakti seorang istri.
“Mas Slamet, ayo bangun” sembil mengoncangkan perlahan tubuh Slamet yang mulai terjaga. Nyawanya masih setengah memasuki raga.
“Jam piro saiki?” tanya Slamet.
“Wis awan, ayo adus terus age-age budal menyang kebon”
Tanpa menjawab Slamet beranjak pergi meninggalkan kamar. Beberapa saat kemudian dia telah selesai dengan aktifitas paginya. Kini dia siap membuka hari dengan kerja.
Lereng Tidar yang membentang dari selatan ke utara. Sebagian lereng masih ditumbuhi pohon pinus dan cemara gunung. Jika naik ke atas lagi ada hutan kecil. Tempat taruna AKABRI berlatih perang perangan. Sisi utara lereng Tidar menyimpan mitos tersendiri. Dua makam tanpa nama di batu nisan. Penduduk sekitar menamakan tempat itu Petirasan Kyai Sepanjang. Menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, di dalam makam tertanam pusaka peninggalan kerajaan Mataram. Karena mitos pulalah banyak yang mencari tuah dengan tirakat di tempat itu.
Sementara di bagian lereng Selatan terlihat area pertanian. Ada juga petak pemeliharan ikan mas dan nila. Tampak pula rumpun padi tertanam baik di sengkedan. Menghampar laksana anak tangga berlapis karpet hijau.
Di lahan yang tidak terlalu luas Slamet menanam harapannya. Palawija dan kacang kacangan tumbuh dengan subur sebagian dari mimpi itu yang mulai terwujud.
Bagi Slamet tanah ini adalah karunia. Begitulah Tuhan merahmatinya. Permohonan untuk menyewa tanah negara ini dikabulkan oleh Perhutani. Mungkin karena krisis ekonomi yang begitu menjerat rakyat hingga akhirnya pemerintah sedikit bijak. Lahan ini disewakan dengan sistem bagi hasil. Slamet sangat terbantu dengan kebijakan ini.
Meskipun pendidikannya tidak tinggi Slamet sangat teguh dalam memegang pendiriannya. Terutama soal pilihan hidupnya sebagai petani. Bertani adalah warisan dari ayah yang tetap dipertahankan. Sementara banyak saudaranya memilih merantau ke Jakarta, Slamet tetap memilih tinggal di Magelang. Untuk bertani, pilihannya pasti.
Hari ini suasana hati Slamet pun sedang cerah. Ratmi istri yang baru dinikahinya dua bulan yang lalu telah memberikan kebahagian yang belum pernah dia rasakan dalam hidupnya. Lukisan tentang keluarga behagia yang dia bayangkan selama ini telah tertoreh dalam masa bulan madu ini. Ratmi istri yang cantik. Alam Kopeng yang sejuk memberi rahmat bagi rupa Ratmi. Wajah elok tanpa poles make up. Kulit putih mulus. Tubuh sekel berisi membangkitkan imaji liar kala mata kaum Adam memandang. Pantaslah jika dia menjadi bunga desa di kampungnya.
Sebuah anugrah lagi bagi slamet karena berhasil menyunting Ratmi. Bagi Ratmi sendiri sebuah tanda tanya besar mengapa berkenan menerima Slamet yang sederhana. Mungkin inilah anehnya cinta. Bermain di hati, membutakan pertimbangan akal dan nurani. Mungkin karena hanya rasa dan naluri yang bermain di sini. Cinta tak perlu alasan.
Seperti biasa, hari ini slamet mengarap lahannya. Peluh telah menggenangi tubuh Slamet ketiak matahari telah sampai sepenggalah. Dia berhenti sejenak. Kemudian dia berteduh di gubug gribig untuk melepas lelah. Dibukanya bekal yang disiapkan oleh istrinya tercinta.
“Ah indah betul hari ini” gumamnya.
“Sebentar lagi panen tiba. Tingggal menhitung hari saja. Semoga semuanya lancar” sambungnya.
Meski hitungan pasaran wetonku dan Ratmi kurang bagus menurut betal jemur. Senen legi bertemu sabtu paing. Alamat kisruh ketika memulai usaha. Namun hamparan ladang ini menghanguskan semua ramalan itu. Semoga hitungan itu salah. Semoga.
∂
Manusia diciptakan Tuhan beragam watak dan tabiat. Ada manusia berbudi luhur dan ada pula yang bermoral hancur. Seperti Pak Ramon, pengusaha mebel dari Bandung. Lelaki bermata biru. Diwarisi dari ayahnya yang Belanda. Ibunya orang Sunda. Wajah blasteran ini memang terbukti berhasil menaklukan banyak wanita. Dia beristri satu namun tak terhitung berapa gundik dan istri simpanannya. Bisa jadi hal ini yang membuat dia terlihat muda di usianya yang menginjak lima puluh lima.
Di dunia perkayuan dia terkenal handal dalam memainkan trik dan siasat bisnis. Mungkin lebih dekat dengan intrik dan licik. Prinsip hidup Pak Ramon adalah berusahalah menjadi pemenang, bagaimana pun caranya..
Usaha Pak Ramon bisa dibilang sukses. Dia telah memiliki beberapa toko mebel di berbagai kota. Otak bisnisnya tidak pernah mengenal kata cukup dalam melebarkan sayap usaha. Tidak jauh dari bisnis kayu tentunya. Saat ini bisnis kayu olahan mulai dia lirik. Prospeknya cukup cerah, terutama kayu olahan sengon dan albasia. Dia telah melihat bukti keberhasilan beberapa perusahaan Salatiga yang sukses di bidang ini. Ingin sekali dia mengeruk rupiah dari bongkahan log kayu.
Magelang, kota dingin yang menjanjian, pikir Pak Ramon. Bukit Tidar adalah target salah satu lokasi yang diincarnya sejak dulu. Bukit Tidar bukan hanya subur menjajikan. Lebih dari itu mimpinya untuk menggali harta terpendam di tanah itu akan segera menjadi kenyataan.
Pak Ramon sedang menikmati suara burung perkutut kesayangannya. Sambil duduk di kursi malas di teras rumahnya yang luas. Tentu saja luas sebab rumah tersebut terletak di kawasan elit perumahan Kyai Langgeng.
“Narto!” Panggil Pak Ramon pada centengnya.
“Dalem Ndoro” Bergegas sang centeng menghapiri seruan majikannya.
“Ah, kamu ini lama sekali dipanggil! Dari mana saja kamu?”
“Anu Ndoro, anu, saya baru selesai mengerjakan tugas yang Ndoro suruh”
“Tugas yang mana? Masalah tanah maksudmu?” Pak Ramon menebak
“Leres Ndoro” jawab Narto Mantap
“Berarti bulan depan akau sudah bisa mulai membangun. Betul?”
“Maaf Ndoro. Masih ada satu orang yang belum bersedia menyerahkan tanahnya. Padahal dia cuma menyewa dari perhutani”
“Cepat urus dia. Cuma cerurut kecil saja kamu kewalahan.” Pak Ramon kesal
”Saya akan segera kerjakan seperti perintah Ndoro. Saya beri dia pelajaran. Biar kapok dan bersedia menjual sawahnya ke Ndoro“
“Bagus, bagus, biar jera dia. Berani sekali cerurut itu melawanku. Urus cerurut itu agar bersedia melepas tanahnya“
“Punten Ndoro, kalau dia masih ngeyel”
“Goblok kamu! Berarti kamu tidak becus menjalankan perintahku. Kalo tidak bisa maen kasar kamu main halus. Mengerti kamu?” Masih tak hilang roman marah di wajah Pak Ramon.
“Halus gimana Ndoro?”
“Sekarang dengarkan aku baik-baik. Ini Rencana halusnya. Ganggu istri Slamet. Buat dia tidak nyaman. Umpan Slamet dengan wanita. Bikin goncang keluarganya. Biar dia tidak tenang tinggal di lereng Tidar. Paham?” Tanya Ramon meminta jawab
“Baik Ndoro”
Narto pergi meninggalkan rumah mewah itu. Hatinya geram. Gara-gara Slamet dia kena damprat Pak Ramon. Narto geram. Ingin sekali dai menghajar Slamet jika bertemu nanti. Tapi hatinya masih gamang. Bagaimana pun dia harus berperan perlahan lahan, dengan cara halus. Itu yang dipesankan Pan Ramon. Dia menyungging senyum licik. Nampak pikiran lacur telah bermain di otak kerdil Narto.
∂∂
Arus sungai Elo mengalir dengan deras. Airnya berkejaran menuju muara di laut Selatan. Gemaricik suara air bertabrakan dengan bebatuan menambah syahdu suasana kali Elo. Air Sungai Elo masih cukup jernih, maka pantaslah jika banyak penduduk sepanjang pinggir kali memanfaatkannya untuk mandi dan mencuci. Ada pula yang sedang memandikan kerbau. Suasana ramai biasanya dijumpai ketika pagi dan sore hari.
Sore itu Ratmi berjalan menuju sungai Elo untuk mandi. Dia menyusuri jalan setapak yang masih licin karena hujan siang tadi. Ratmi harus berhati hati-hati melangkahkan kakinya agar tak terpeleset jatuh ke bawah karena jalan setapak yang menurun cukup curam. Suasana sepanjang jalan sudah sepi karena hari menjelang malam. Azan magrib sebentar lagi berkumandang.
Ratmi tidak menyadari dirinya sedang diawasi. Sepasang mata jalang mengikuti setiap geraknya. Dari gelagat yang mencurigakan nampak niat yang tidak baik pada Ratmi. Kurang beberapa meter lagi Ratmi sampai di kali. Tiba-tiba sosok yang mengendap-endap muncul menghadang Ratmi.
”Mau kemana wong ayu?“ Lelaki berambut gondrong dan bergigi tongos itu genit menggoda Ratmi.
”Sopo kowe? aku ra kenal kowe“ tanya Ratmi marah.
”Walah, walah, ayu ayu kok galak tapi tambah ayu loh“ tangannya mulai nakal mencolek tubuh Ratmi.
”Hei jangan kurang ajar kamu“ sambil menampik tangan jail orang itu.
”Ayo sini sama mas, mas temenin sore-sore mandi, he..he..“kini tangan jail itu mencoba memegang tangan Ratmi.
“Lepaskan, lepaskan atau aku berteriak”
”Silahkan berteriak tidak akan ada yang dengar“
”Tolong... tolong... tolong...“ Ratmi berteriak sekuatnya. Histeris.
Suasana Suara teriakan Ratmi nyaring terdengar. Slamet yang kebetulan sedang berjalan pulang mendengar teriakan itu. Dia sangat mengenali suara itu. Suasana hatinya tidak menentu, antara khawatir, cemas dan geram. Itu suara isteriku Slamet menduga dalam hati. Slamet berlari secepatnya menuju asal suara. Betapa terkejut Slamet ternyata dugaannya bernar.
“Hei lepaskan istriku” bentak Slamet
Tanpa ba bi bu orang berambut gonrong dan bergigi tongos itu lari tunggang langgang. Seperti pencuri yang ketahuan. Slamet tidak mencoba mengejar, dia lebih mengkhawatirkan keselamatan istrinya.
“Ratmi, kowe ra po po toh?” tanya Slamet cemas.
“Ndak po po Mas Cuma kaget wae”
“Ya sudah syukur kalau begitu. Sekarang pulang saja ya?”
“Nanti dulu Mas aku kan belum mandi”
“Ooo gitu mas tunggu sampai kamu selesai mandi” sambil tersenyum Slamet mengawasi Ratmi yang sedang mandi. Suara azan berkumandang, waktu kembali berputar. Seperti tali alam bergelora kentara di tatap mata mereka. Slamet dan Ratmi.
∂∂∂
Siang yang garang membakar bumi. Suara buldoser dan eskalator terdengar lantang meratakan lahan Slamet. Narto dengan pongah mengomandoi proses penggusuran tersebut. Meski tanpa seizin Slamet penggusuran itu mesti dilakukan. Soal Slamet urusan belakangan. Hal terpenting sekarang adalah bagaimana pabrik Pak Ramon segera berdiri secepatnya. Narto tidak mau lagi keholangan muka di hadapan Pak Ramon.
Dari kejauhan seseorang berlari menghampiri lahan yang sedang diratakan itu. Dia berlari secepat-cepatnya menghampiri kumpulan orang yang sedang meratakan lahannya. Dari wajahnya nampak sekam yang sedang tertahan, tinggal tunggu dimuntahkan. Dia adalah Slamet sang pemilik lahan.
Seharusnya hari ini Slamet menuai hasil ladangnya. Tanamannya telah siap panen. Tinggal menhitung untung saja. Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan yang membelalak mata. Lahannya telah rata, hancur bersama harapannya yang terkubur.
Kenyataan itu membuat Slamet murka. Senuan ini karena ulah Narto. Dihunusnya sabit yang sedianya untuk menyiangi rumput. Setan rupanya telah bertengger di benak dan pikirannya. Dirinya telah dikuasai amarah. Membara seperti lahar. Siap membakar semua yang dilaluinya.
“Hei To!” matanya tajam menatap Narto.
“Sekarang baru kutahu biang keladinya itu kamu, jangkrik!”hujat slamet menusuk
“Terus sekarang apa maumu, hah..” Jawab Narto meremehkan
“Kurang ajar, jangan disangka aku takut sama kamu To!”
“Tak perduli kamu punya banyak tukang pukul. Kamu telah menginjak injak martabatku” tak dinyana sabit yang sedari tadi digenggamnya kini menayambar dan berkelebat cepat mengarah ke leher Narto.
Menghadapi serangan tiba-tiba itu secara reflek Narto menghindar. Dengan membungkukan badannya serangan itu dapat dilekan. Sebagai mantan bromocorah yang cukup disegani dia telah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
Sambil berkelit dia pegang tangan Slamet untuk kemudian mengunci pergelangannya hingga sabit yang dipegang Slamet lepas. Gerakan yang praktis.
“Celaka kamu met!” tanpa babibu lagi anak buah Narto langsung menyambut samsak hidup yang telah dilumpuhkan majikannya.
Habislah badan Slamet menjadi bulan bulanan anak buah Narto. Pukulan dan tendangan mengarah tubuh Slamet. Tangannya mencoba melindungi kepala agar tak terkena pukulan yang bertubi-tubi itu.
“Cukup!!” teriak Narto menhentikan pesta anak buahnya
“Jangan dihabisi sekarang, pak Ramon masih perlu tanda tanagannya” Perintah itu langsung dilaksakan.
“Bos bagaimana kalo dia lapor polisi?” Tanya salah seorang anak buah Narto yang berambut gondrong dan bergigi tongos.
“Tidak mungkin! Dia lapor polisi, istrinya kita habisin. Ha…ha…ha...” Narto puas. Kini tabiat buasnya telah terlampiaskan.
Narto dan anak buahnya berlalu meninggalkan Slamet yang terkulai tak berdaya. Mereka kembali meneruskan pekerjaan meratakan tanah yang terhenti karena insiden kecil tadi.
Sambil merintih kesakitan Slamet mencoba bangkit berdiri. Namun luka di tubuhnya terlalu parah. Wajahnya lebam. Pelipisnya bengkak. Dia memegang dadanya yang membiru. Bibirnya robek. Tampak cairan merah keluar dari hidungnya.
Terus mencoba dia bangkit. Mencoba berjalan meski terhuyung. Baru beberapa langkah dia berjalan, tubuhnya roboh. Pingsan.
∂∂∂∂
Slamet tersadar dari pingsan. Pandangannya masih kabur. Dimana aku sekarang, gumamnya dalam hati. Samar-samar dilihat seraut wajah. Wanita. Ya wajah itu sangat akrab dalam memori otaknya. Ratmi istrinya.
“Sudah sadar toh mas?” sapa Ratmi hangat.
“Iya tapi masih pusing kepalaku Rat” jawab Slamet sambil mencoba untuk duduk.
“Jangan banyak bergerak dulu Mas”
”Aku sudah baikan Rat, pegel semua badan kalau terus-terusan tidur“
”Hampir seharian mas pingsan, aku sangat khawatir, takut Mas kenapa-napa“
”Mas ngerti, mas minta kamu juga ngerti keadaan kita saat ini, tentang tanah kita“
”Aku ga mau Mas kenapa napa, kita relakan saja ya mas tanah kita buat Pak Ramon, aku sudah capek diteror terus Mas “
”Tidak Rat, bagaimana pun juga tanah itu akan mas pertahankan, ya sampai masa sewa nya selesai, mas mau pindah bila Pak Ramon secara baik-baik meminta tanah kita”
”Ingat Mas, tanah kita sudah digusur, sudah ancur”
”Mas mau ke rumah Pak Ramon sekarang“
”Eling Mas, sampeyan belum sehat betul“
”Rat mas pengin cepet tuntas masalah ini, mas sudah capet mikirnya“
”Kenapa tidak lapor polisi saja“
“Ah percuma, biar aku tangani sendiri saja, sekarang aku pergi dulu”
Marni menatap suaminya yang telah beranjak pergi. Tinggal sepotong galau yang masih menggantung di sudut hatinya yang rapuh. Ada rasa tidak enak, entah kenapa. Sebuah firasat burukakah. Tiba-tiba di bawah kakinya seekor kucing telah menggeserkan tubuhnya ke kaki Ratmi.
”Eh tobil, eh tobil” Marni keluar latahnya
Terbang semua kegalauan tinggal jikrak dan sapu yang melayang untuk mengusir kucing itu keluar rumahnya.
∂∂∂∂∂
Matahari telah di atas kepala. Slamet telah berdiri di rumah Pak Ramon yang megah. Nuansa angkuh teranpancar dari rumah itu. Makin lengkap sudah rasa tidak nyaman buat Slamet ketika dia mendapat penerimaan yang tak hangat. Hingga sempat pula dia bersitegang dengan penjaga rumah. Jawaban yang dia dapat dari penjaga bahwa pak Ramon sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu. Akhirnya dengan terpaksa Slamet menunggu.
Pagi hari sebelum dia mendatangi rumah pak Ramon dia lebih dulu datang ke lokasi pabrik. Namun karena tidak puas dengan jawaban satpam pabrik akhirnya dia memutuskan untuk datang langsung ke rumah pak Ramon. Harapannya dia bisa bertemu pak Ramon dan segera menyelesaikan kemelut yang terjadi.
Tiga jam sudah Slamet duduk di pos jaga rumah Pak Ramon. Kering sudah tenggorokannya. Jika tidak karena masalah tanah itu sudah dari tadi dia pergi meninggalkan rumah itu. Dalam benaknya dia bertanya, apakah benar sudah disampaikan kedatangannya pada Pak Ramon.
“Maaf ya Pak, sebenarnya Pak Ramon ada tidak?”
“Kamu tidak percaya ya sama saya?” mata penjaga itu melotot seperti mau keluar.
“Saya bukan tidak percaya sama bapak, tapi sudah tiga jam lebih disini saya mununggu, tapi Pak Ramon tidak juga keluar, sebenarnya dia ada atau tidak pak?”
“Saya tidak pernah menyuruk kamu menunggu disini, itu kan mau kamu sendiri, kalo tidak mau menunggu ya sudah silahkan pergi”
“Baik, saya pergi, sebab percuma saya menghadapi orang seperti kalian” tanpa pamit Slamet bergegas meninggalkan rumah itu.
Penjaga memandang kepergian Slamet dengan tatapan penuh amarah.
Slamet sampai di pusat kota, tepatnya di pasar Gotong Royong ketika hari menjelang senja. Dengan gundah dihati dia susuri pasar.
Gotong Royong sudah lenggang. Keramaian telah digantikan kesenyapan. Kontras suasana di kala pagi dan senja. Waktu mengalir tanpa kuasa dikekang lajunya. Pagi, siang hingga petang adalah perputaran yang semestinya. Masa sujud pada kehendak Sang Kuasa.
Para pedagang telah mengemasi barang-barangnya, hanya tinggal satu dua penjual minuman masih menggelar dagangannya. Pembeli pun sudah mulai jarang. Tukang becak dan tukang ojek masih setia berharap menunggu rejeki yang datang menghampiri. Buruh panggul beristirahat melepas penat di depan kios yang telah ditutup pemiliknya. Memberi kesempatan pada tubuh untuk kembali dapatkan kesegaran yang telah tersita karena peluh telah tertumpah memandikan tubuh.
Memang masih ada satu dua pedangang yang masih mengais rejeki di senja yang telah sepi ini. Mereka adalah pedagang makanan dan minuman. Ada yang benar-benar berdagang makanan dan minuman, ada pula yang punya profesi sambilan. Melayani pembeli sekaligus menawarkan jasa kencan.
Salah satu penjual minuman yang berprofesi ganda tersebut adalah Saritem. Wanita berpakaian menantang setiap pandang mata lelaki yang memandang. Sesekali dia memanggil orang yang lewat di depan warungnya dengan kemayu. Mungkin lebih tepatnya menggoda dengan lirikan mata nakal. Mudah ditebak bahwa dia bukan wanita baik-baik.
“Monggo mampir Mas” sapa genit Saritem dengan kerlingan mata.
Lelaki muda itu tak acuh menanggapi penjual yang genit itu. Namun rasa lapar mengundang hasratnya untuk sekedar singgah. Sedari pagi perutnya belum diisi. Perjalanan yang jauh, cukup melelahkan membuat aku Slamet ingin beristirahat.
Slamet tidak tahu ada bahaya yang sedang mengincar. Dibalik keramahan saritem yang manis tersimpan bisa ular nan bengis. Saritem memberi pelayanan yang ekstra daripada pembeli lainnya. Warung sudah sepi, tinggal dia berdua dengan Slamet.
Tanpa sepengetahuan Slamet, Saritem menyimpan niat jahat untuk mencelakakan Slamet. Makanan dan minuman yang diberikan kepada Slamet telah dibubuhi racun. Meski tidak mematikan namun bisa membuat hialnag kesadaran.
Slamet makan dengan lahap. Namaun selang beberapa suap makanan masuk ke dalam mulutnya kepalanya mendadak pusing. Matanya berkunang kunang dan dalam hitungan detik tubuhnya jatuh tertelungkup di atas meja makan. Dia cuma bisa bergumama dan mendesis pelan.
“Kamu meracuniku.. eghh.. eggh”
“Kamu cuma korban Slamet”
Saritem melihat keadaan sekitar dengan waspada. Setelah dirasa cukup aman dipapah tubuh Slamet berjalan ke bagian belakang biliknya. Kemudian dia menutup warung agar tidak ada orang yang mengetahui rencan jahat yang dilakukan.
Dibaringkan tubuh itu di amben. Ditatapnya tubuh yang lemah tak berdaya.
”Huh.. sukses juga akhirnya rencanaku. Tinggal tunggu kang Narto. Semuanya beres.“ bibirnya menyunggingkan senyum sinis menyimpan dendam.
Pintu belakang warung Saritem diketuk orang. Saritem segera bergegas menuju pintu. Dia ragu untuk segera membuka pintu itu. Sejenak dia berdiri termangu untuk memastikan siapa gerangan di balik pintu.
”Yu, buka pintu yu..., cepat buka yu” suara berat laki laki memanggil di luar.
“Kang Narto ya?” Saritem langgsung menebak oorang dibalik pintu tersebut.
“Ya, cepet buka”
Narto masuk lewat pintu belakang. Mungkin agar lebih aman dan tidak terlihat kehadirannya oleh orang lain. Suasana petang yang mulai remang membuat Narto lebih nyaman menyembunyikan jati dirinya.
“Sudah beres toh semua toh yu?”
“Lihat sendiri kang siapa yang di dipan itu”
Senyum puas merekah dari bibir Narto yang hitam karena rokok.
“Tinggal selangkah lagi rencana kita sukses, yu. Roh adikmu akan segera tenang karena dendamnya akan segera terbalaskan” mata Narto menatap genit ke arah Saritem.
“Iya kang” sambil meraih tangan Narto untuk dibimbingnya masuk ke kamar. Entah apa nanti yang akan terjadi. Namun jika dua insan berlainan jenis telah terjerat oleh tali setan hanya buah dosa yang akan dipetik kemudian.
∂∂∂∂∂∂
Ratmi gundah menunggu suaminya datang. Sudah satu hari Slamet tidak pulang ke rumah. Mondar mandir dia di depan pintu. Banyak tak enak berkecamuk dalam benaknya. Ada kekhawatiran yang sangat akan keselamatan suaminya. Tiba tiba pintu diketuk membuyarkan kegundahannya.
Ratmi segera membuka pintu. Semoga tamu itu suaminya. sudah meluap rasa kangen. Tapi tak seperti biasanya, suaminya selalu mengucapkan salam sebelum masuk ke rumah.
“Pak RT” agak terkejut aku melihat lelaki ini di depan pintu.
“Ada berita kurang menyenangkan tentang suamimu Ratmi” sambil tangannya menyerahkan koran daerah edisi hari ini.
Magelang- Ramon Ramosta, warga Perumahan Taman Kyai Langgeng, Kota Magelang ditemukan tewas dengan tubuh tergantung diatap kamarnya, Selasa (22/3) sekitar pukul 16.00. Ironisnya kejadian ini baru dilporkan ke polisi pukul 20.00.
Dugaan sementara korban tewas karena dibunuh akibat sengketa tanah. Tersangaka utama dalam kasus ini adalah Sl (28), warga lereng tidar. Informasi yang diterima Suara Merdeka dari Narto, penjaga rumah Ramon, Sl telah lama berselisih dengan Ramon karena sengketa tanah....
Ratmi terduduk lemas di kursi. Dari matanya mengalir air menganak sungai. Bayangan kekhawatiran yang selama ini ada dalam pikiranya telah menjelma menjadi nyata. Entah bagaimana lagi kisah ini dibentangkan. Cukup doa yang dia panjatkan kepada yang kuasa. Semoga dia bisa tabah menghadapi ujian ini.
*******
damarati, awal Maret – tengah Juni 2005
Selasa, April 05, 2005
Seseorang Dari Masa Lalu
Seseorang dari masa lalu datang lagi. Dia seperti menawarkan harapanbuatku. Semoga anggapanku salah tentang ini. Sungguh aku ingin setiapada satu jiwa yang telah membumikan hatiku karena Nya. Ketika merahjambu yang telah redup kembali dibuatnya merona. Sanggupkah akau menolakpesonanya. Dan ketita kesempatan itu tiba hari ini, masih kuasa akumenolak. Dengan halus. Aku tetap tulus. Menempatkan sewajarnyakeberadaan kepentingan dan keinginan. Selalu berharap agar bisa adasetia meski seadanya.Adalah sebuah pembelajaran diri tentang berbuat tuk saling menghargai.Pada batas pengawasan yang begitu longgar. Atau sama sekali tanpa. Mamputidaknya diri berbuat terbaik. Karena keprcayaan adalah sebuahpenghargaan peda si pemberi. Menghianatinya berarti merusak keindahan,membakar kedamaian. Dan jangan pernah berharap banyak akan kembalinyakercayaan itu. Kebanyakan musnah menjadi abu, atau tetap ada meski arang saja.
damaratiNasihat buat diri sendiri
damaratiNasihat buat diri sendiri
Jumat, Maret 18, 2005
SUATU KETIKA DI RUMAH DUNIA
SUATU KETIKA DI RUMAH DUNIA
Oleh Damarati
Dari tanah merah kami datang
Meneguk air ilmu
Menenun rasa ingi tahu
Menghamparkan pandang pada dunia
Kemana menti kami berlabuh
Jika haluan task pernah satu bersauh
Atau…
Dibiarkan arah angin bawa kami
Telanjang dalam tatap mata terawang
Di sebuah persinggahan
Perahu berlabuh
Kepada guru..., Sahabat..., yang tulus
Dituang ilmu pada bejana ras ingin tahu
Lukisan diri dia pampangkan
Beri kami arti, makna, hakikat
Pencapaian sesungguhnya
Berbagi dengan sesama
Oleh Damarati
Dari tanah merah kami datang
Meneguk air ilmu
Menenun rasa ingi tahu
Menghamparkan pandang pada dunia
Kemana menti kami berlabuh
Jika haluan task pernah satu bersauh
Atau…
Dibiarkan arah angin bawa kami
Telanjang dalam tatap mata terawang
Di sebuah persinggahan
Perahu berlabuh
Kepada guru..., Sahabat..., yang tulus
Dituang ilmu pada bejana ras ingin tahu
Lukisan diri dia pampangkan
Beri kami arti, makna, hakikat
Pencapaian sesungguhnya
Berbagi dengan sesama
KEPADA BUNDA, ATAS NAMA CINTA
Dini hari ini kembali kuingat dirimu. Ingat tentang segala cinta tulus kau berikan untuk ku. Tanpa pamrih. Hanya kasih meski perih sering tertoreh di kulit, hati dan setiap penyadaranmu tuk bahagiakan aku. Kau wanita perkasa. Membesarkanku dalam genangan cinta yang tak pernah kering meski kemarau dan teriknya hidup telah menguapkan banyak cinta yang pernah kutemui. Cintamu abadi. Pantaslah Alloh nisbatkan bahwa surga ada di bawah telapak kakimu.
Bunda….
Masih kuingat dulu ketika kau ditinggal sendirian. Menjalini biduk kehidupan tanpa nahkoda. Sang nahkoda telah lupa akan janjinya. Bersandar dipelabuhan lain., ketika bidukmu diterpa badai di samudra bernama rumah tangga. Waktu itu aku hanya penumpang yang tak tahu kemana sebenarnya perahu ini berlayar. Sang nahkoda tak banyak bercerita tentang haluan yang ingin di singgahinya. Sampai suatu ketika kulihat dia pergi tinggalkan biduk. Melupakan dirimu. Sampai kini belum juga kumengerti jawabnya. Dan aku tak ingin tahu mengapa.
Sejak saat itu kau layari samudra kehidupan sendirian. Membawa aku dan adiku mengarunginya (sering kau sebut kami buah hatimu, buah cinta yang Alloh titipkan padamu). Bukan hanya badai yang kini kau temui. Batu karang pun tak membuatmu berpantang mengayuhkan sauh menuju pulau harapan. Karena sendiri, banyak perompak atau bajak laut yang mengganggu perjalanan kami. Dengan berbagai cara mereka coba memperdaya. Ada juga pangeran dan saudagar menawarkan diri tuk bersama mencapai haluan. Tapi bunda tak mudah percaya lagi. Takut tertipu kembali. Yang ada di benaknya waktu itu hanya bagaimana antarkan aku dan adikku agar bisa mandiri mengarungi samudra kehidupan. Bunda sadar tak selamanya beliau kan kuat berlayar. Maka dia bekali aku dengan ilmu dan pengetahuan. Cinta dan kasih sayang pada sesama. Karena itu modal untuk gapai bahagia sejati.
Perjalanan Bunda telah mengantarku ke pengembaraan ku sendiri. Di Tanah para sultan aku mencari arti kehidupan sesungguhnya. Mengamalkan semua ilmu hidup yang kau ajarkan. Menuai cinta dan kasih yang telah kau semaikan.
Satu pesan beliau yang sangat kuingat hingga kini.
“Laki-laki dihargai karena kata-katanya”
Kuartikan, besar harapanmu agar aku selalu memegang janji dan jujur dalam kehidupan. Karena apalah nilai seorang manusia jika tanpa kejujuran. Jika aku mengingkari setiap kata yang keluar dari mulutku berarti aku telah mengingkari penciptaanku. Mengingkari karunia Alloh yang telah menghembuskan ruhku dalam rahimnya. Ruhku berhutang pada tubuhnya.
Bunda aku rindu padamu. Kangen petuahmu. Aku ingin pulang. Barang sebentar ingin berjumpa denganmu. Mencium tanganmu. Karena kutemukan damai di situ.
Damarati, yang lagi kangen Bundanya
Bunda….
Masih kuingat dulu ketika kau ditinggal sendirian. Menjalini biduk kehidupan tanpa nahkoda. Sang nahkoda telah lupa akan janjinya. Bersandar dipelabuhan lain., ketika bidukmu diterpa badai di samudra bernama rumah tangga. Waktu itu aku hanya penumpang yang tak tahu kemana sebenarnya perahu ini berlayar. Sang nahkoda tak banyak bercerita tentang haluan yang ingin di singgahinya. Sampai suatu ketika kulihat dia pergi tinggalkan biduk. Melupakan dirimu. Sampai kini belum juga kumengerti jawabnya. Dan aku tak ingin tahu mengapa.
Sejak saat itu kau layari samudra kehidupan sendirian. Membawa aku dan adiku mengarunginya (sering kau sebut kami buah hatimu, buah cinta yang Alloh titipkan padamu). Bukan hanya badai yang kini kau temui. Batu karang pun tak membuatmu berpantang mengayuhkan sauh menuju pulau harapan. Karena sendiri, banyak perompak atau bajak laut yang mengganggu perjalanan kami. Dengan berbagai cara mereka coba memperdaya. Ada juga pangeran dan saudagar menawarkan diri tuk bersama mencapai haluan. Tapi bunda tak mudah percaya lagi. Takut tertipu kembali. Yang ada di benaknya waktu itu hanya bagaimana antarkan aku dan adikku agar bisa mandiri mengarungi samudra kehidupan. Bunda sadar tak selamanya beliau kan kuat berlayar. Maka dia bekali aku dengan ilmu dan pengetahuan. Cinta dan kasih sayang pada sesama. Karena itu modal untuk gapai bahagia sejati.
Perjalanan Bunda telah mengantarku ke pengembaraan ku sendiri. Di Tanah para sultan aku mencari arti kehidupan sesungguhnya. Mengamalkan semua ilmu hidup yang kau ajarkan. Menuai cinta dan kasih yang telah kau semaikan.
Satu pesan beliau yang sangat kuingat hingga kini.
“Laki-laki dihargai karena kata-katanya”
Kuartikan, besar harapanmu agar aku selalu memegang janji dan jujur dalam kehidupan. Karena apalah nilai seorang manusia jika tanpa kejujuran. Jika aku mengingkari setiap kata yang keluar dari mulutku berarti aku telah mengingkari penciptaanku. Mengingkari karunia Alloh yang telah menghembuskan ruhku dalam rahimnya. Ruhku berhutang pada tubuhnya.
Bunda aku rindu padamu. Kangen petuahmu. Aku ingin pulang. Barang sebentar ingin berjumpa denganmu. Mencium tanganmu. Karena kutemukan damai di situ.
Damarati, yang lagi kangen Bundanya
Langganan:
Postingan (Atom)
